Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tangan kartel politik, pemilihan kepala daerah bisa bersalin rupa dari pesta menjadi bencana demokrasi. Joko Widodo, di akhir kekuasaannya, bersama sejumlah partai politik melakukan transaksi dan intimidasi guna menjegal Anies Baswedan maju dalam perebutan kursi Gubernur Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sempat berjanji tidak akan cawe-cawe pada pilkada 2024, Jokowi dan Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang mendukung Prabowo Subianto, berakrobat menjadikan Ridwan Kamil Gubernur Jakarta 2024-2029. Langkah awal yang mereka lakukan adalah membajak tiga partai politik yang bersiap mengusung Anies: Partai Keadilan Sejahtera, Partai NasDem, dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Tak hanya menawarkan kompensasi politik dan ekonomi, komplotan itu kabarnya menekan petinggi partai memakai kasus hukum. Tujuannya: Ridwan Kamil melawan kotak kosong atau berhadapan dengan kandidat boneka sehingga bisa menang mudah.
Jokowi berambisi memenangkan Ridwan Kamil karena ingin anak bungsunya, Kaesang Pangarep, menjadi calon wakil gubernur. Anies menjadi batu sandungan karena dalam banyak sigi menang telak atas Ridwan. Menghadang Anies dengan menyiapkan kotak kosong atau kandidat abal-abal dari jalur independen merupakan cara terlicik untuk menang.
Hasrat Jokowi mencarikan pekerjaan anak-anaknya bertemu dengan kepentingan presiden terpilih Prabowo Subianto. Berlaganya Ridwan Kamil dalam pilkada Jakarta akan memuluskan jalan Dedi Mulyadi, kader Partai Gerindra, menuju kursi Gubernur Jawa Barat. Saat ini Ridwan adalah kandidat terkuat di provinsi itu. Manfaat lain: menghadang Anies akan mengurangi kandidat yang berpotensi menjadi kompetitor Prabowo jika kembali maju untuk periode kedua pemilihan presiden pada 2029.
Bertautnya dua kepentingan itu membuat Jokowi dan kartel politiknya leluasa bermanuver. Lewat kekuatan politik mereka, satu per satu partai politik pendukung Anies dirgergaji. Tak sukar bagi Jokowi memakai strategi yang sama dengan pemilihan presiden lalu: menggertak lawan politik dengan kriminalisasi hukum dan merayu mereka dengan iming-iming uang.
PKS, pemilik jumlah kursi terbesar di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, dijanjikan kompensasi dan kursi wakil gubernur jika Kaesang batal menjadi calon pendamping Ridwan Kamil. Adapun Partai NasDem diancam akan dipersoalkan secara hukum. Wakil Bendahara Umum Partai NasDem Hanan Supangkat tersangkut kasus korupsi mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, yang tengah diusut Komisi Pemberantasan Korupsi.
PKB juga dikunci. Ketua Umum Muhaimin Iskandar sedang berseteru dengan pimpinan Nahdlatul Ulama. Kursi ketua umum bisa melayang jika PKB tidak bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus, nama koalisi yang akan mengusung Ridwan Kamil. Dengan demikian, Anies hampir pasti ditinggalkan ketiga partai itu. Adapun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, jikapun ingin mengusung Anies, tak bisa bergerak sendirian karena tak memiliki cukup kursi di DPRD Jakarta.
Modus memborong partai dengan tujuan melahirkan calon tunggal untuk melawan kotak kosong terus meningkat dari pilkada ke pilkada. Pada 2020, sebanyak 25 pasangan berkontestasi melawan kotak kosong dan menyapu kemenangan. Pada pilkada tahun ini jumlahnya naik. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, jika kesepakatan politik yang sudah diumumkan tidak berubah, ada 34 pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon.
Strategi merampas hak rakyat lewat pemilihan kotak kosong itu harus dilawan. Pilkada abal-abal akan menghilangkan esensi pemilu sebagai cara demokratis menyemai dan memilih pemimpin. Skenario kotak kosong akan membuat kepala daerah terpilih menjadi jongos juragan partai, tanpa pernah merasa berutang budi kepada para konstituen.
Untuk melawan kartel kotak kosong, publik harus memilih kotak melompong itu di bilik suara nanti. Jika kotak kosong menang, pilkada harus diulang. Proses politik memang jadi lebih panjang. Tapi itu cara melawan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, mereka yang merusak demokrasi.