Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungguh miris mendengar anak-anak kecil meneriakkan ”banting”, ”tonjok”, ”piting”. Lebih ngeri lagi melihat mereka mempraktekkannya. Seorang bocah memiting tangan sang teman, lalu membantingnya ke tanah. Ketika bocah ”jagoan” tadi berteriak, ”Smackdown!” baru kita sadar betapa merasuknya permainan banting-bantingan di televisi itu di kepala mereka.
Drama mengerikan tengah terjadi. Bocah-bocah ingusan menirukan semua adegan kekerasan dari tayangan SmackDown yang mereka tonton di stasiun Lativi. Anak-anak itu tiba-tiba saja merasa menjadi John Cena atau Edge atau Batista, para juara gulat bebas Amerika dalam tayangan televisi dan game PlayStation 2 SmackDown2006 yang dijual bebas tak jauh dari lingkungan sekolah. Tayangan TV dan game itu memang penuh hajar, sikat, tendang, sepak, gasak.…
Korban sudah jatuh. Reza Ikhsan Fadillah, 9 tahun, siswa SD Cincin 1 Katapang, Kabupaten Bandung, meninggal pada 16 November lalu. Sebelas anak lain yang tersebar di Jakarta, Banten, Sukabumi, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Jambi, dan Balikpapan mengalami luka-luka.
Protes masyarakat merebak. Komisi Penyiaran Indonesia meminta Lativi menghentikan tayangan SmackDown. Pada mulanya, stasiun ini cuma memundurkan waktu penayangan dari pukul 21.00 ke pukul 22.00, dan mengubahnya lagi menjadi pukul 23.00. Tapi pekan lalu akhirnya Lativi menghentikan tayangan produksi World Wrestling Entertainment itu.
Kesalahan Lativi adalah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia pada 2004 yang merupakan penjabaran Undang-Undang Penyiaran 2002. Pasal 39 pedoman ini menyebutkan program siaran yang berisi tayangan permainan atau pertandingan didominasi kekerasan hanya dapat disiarkan pukul 22.00-03.00.
Namun, stasiun ini menayangkannya pada pukul 21.00 setiap hari, kecuali Minggu. Tayangan promosi acara SmackDown pun muncul berkali-kali jauh sebelum jam tayangnya. Patut diduga promo ini adalah bagian dari upaya untuk menjaring penonton lebih luas, dan tentu saja pengiklan. Dengan intensitas yang tinggi itu, tak mengherankan jika kemudian tayangan ini pernah mendapat rating 5,2, mengalahkan acara kuis Superdeal ANTV. SmackDown pun menjadi acara primadona Lativi.
Tak ada yang salah jika Lativi berniat mempertahankan acara yang menguntungkan itu. Televisi tak bisa hidup tanpa iklan. Tapi apakah nyawa anak-anak kita mesti dikorbankan demi ”beriman” pada rating?
Kunci utama laku-tidaknya sebuah tayangan sebenarnya tergantung pada kreativitas menggarap acara. Lativi pernah sukses menjala iklan dengan tayangan kartun Spongebob dan Dora. Film The X-File dan Charmed di SCTV yang berperingkat rendah toh meraup banyak iklan. Contoh terbaru adalah serial televisi Dunia Tanpa Koma. Dengan kata lain, rating tak selalu relevan dipakai sebagai ukuran suksesnya sebuah acara.
Belajar dari kasus SmackDown, perlindungan terhadap publik, dalam hal ini anak-anak, semestinya lebih dikedepankan oleh pengelola stasiun televisi. Apalagi, mengutip Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, 80 persen tayangan dianggap tak berpihak pada anak dan tak konstruktif bagi perkembangan jiwa anak.
SmackDown jelas-jelas adalah tayangan untuk orang dewasa—di Amerika berkategori PG (dengan bimbingan orang tua). Orang tua tak boleh membiarkan anak-anak mereka menontonnya secara leluasa. Tanpa pengawasan dan pendampingan orang tua, bukan mustahil anak-anak akan terjun bebas ke kancah pergaulan penuh kekerasan. Korban akan berjatuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo