Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPEREMPAT abad sudah virus HIV diketahui hidup di sekitar kita. Obat pembasmi virus perontok keke-balan tubuh ini belum juga ditemukan. Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan ada 40 juta penduduk bumi saat ini yang terinfeksi HIV/AIDS.
Buat kita, yang mencemaskan adalah fakta bahwa Indonesia termasuk salah satu titik panas penyebaran virus mematikan ini. Ada 170 ribu orang kita yang diduga mengidap HIV/AIDS. Angka pesimistis malah menyebut jumlahnya mencapai 290 ribu jiwa.
Benar, serangkaian gerak maju telah dicapai. Metode pengobatan antiretroviral telah sanggup mengerem keganasan virus. Walhasil, mereka yang positif HIV tidak serta-merta memasuki periode AIDS, ketika berbagai macam sindrom runtuhnya kekebalan berkolaborasi menggerogoti setiap jengkal tubuh.
Harus pula diakui, diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS cenderung berkurang, meskipun belum sepenuhnya hilang. Masyarakat mulai paham bahwa pergaulan biasa, dengan sopan santun wajar, tidak membikin seseorang tertular virus. Situasi ini berbeda dengan yang terjadi beberapa tahun lalu (baca: Bangkit dari Titik Nadir) ketika kuburan seorang pengidap HIV pun terpaksa dibongkar paksa karena penduduk takut ketularan.
Namun, masih ada segunung problem di sini. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional mengakui bahwa kampanye yang digelar selama ini masih jauh dari efektif. Berbagai program yang digelar selama ini belum mampu menjangkau, apalagi mengubah perilaku, kelompok masyarakat yang berisiko tinggi tertular virus maut itu.
Ini bukan hanya masalah di Indonesia, di belahan dunia lain juga sama saja. Itulah sebabnya peringatan Hari AIDS Sedunia kali ini bertema ”Akuntabilitas”. Lebih dari separuh dana Global Fund putaran terakhir, total US$ 846 juta atau setara dengan Rp 7,6 triliun, difokuskan untuk memerangi HIV/AIDS di seluruh dunia. Dana ini wajib digunakan dengan komitmen penuh.
Akuntabilitas pun bukan cuma soal keuangan. Penyusunan prioritas program, pengerahan sumber daya yang berdedikasi, juga termasuk di dalamnya. Kampanye penyadaran, misalnya, seharusnya menjangkau 80 persen populasi yang berisiko tinggi. Sebuah target yang pasti menuntut dedikasi dan kerja keras.
Di Indonesia, tantangan terberat adalah menjangkau pecandu narkoba jarum suntik yang di negeri ini mencapai 190-240 ribu orang. Sebagian besar mereka suka ”arisan” mencucuk urat nadi dengan jarum yang sama. Kebiasaan sembrono ini ikut mempercepat laju penyebaran HIV. Namun, program KPA Nasional baru mampu menjangkau 15 persen dari populasi pecandu narkoba jarum suntik.
Penikmat seks komersial merupakan masalah lain. Departemen Kesehatan memperkirakan ada 7 juta sampai 10 juta laki-laki Indonesia yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial dalam rentang satu tahun. Program KPA hanya mampu menjangkau kurang dari satu juta laki-laki yang doyan ”jajan” ini. Bisa dibayangkan betapa panjang dan berbahaya rantai risiko penularan virus HIV yang bisa terjadi—pada istri, pacar, dan anak-anak para lelaki itu.
Akuntabilitas memang tak bisa diabaikan dalam jurus perang melawan HIV/AIDS. Tanpa akuntabilitas, pada 2010 nanti diperkirakan paling sedikit ada satu juta orang Indonesia yang tertular HIV.
Dan, mesti juga diingat, Indonesia punya segunung persoalan kesehatan lain. Tuberkulosis, malaria, busung lapar, pneumonia, hanya empat dari daftar panjang yang luput dari perhatian donor internasional. Itu semua juga perlu kita atasi karena telah makan korban lebih banyak daripada HIV/AIDS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo