Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Skandal dana PT Timor Putra Nasional di Bank Mandiri menyudutkan kita hanya pada dua alternatif kesimpulan: para pejabat yang terlibat amat inkompeten atau mereka merupakan jaringan kolusi yang supercanggih.
Kesimpulan ini diperoleh setelah mencermati kronologi asal-muasal dana yang kini jumlahnya sekitar Rp 1,3 triliun itu. Awalnya rekening atas nama PT Timor itu dibekukan oleh Direktorat Pajak karena pemiliknya dianggap lalai membayar bea masuk. Karena dianggap telah disita, ketika hak tagih terhadap perusahaan yang didirikan putra bungsu Presiden Soeharto ini dijual oleh BPPN, dana itu oleh para pejabat pemerintah dianggap tak lagi berada di PT Timor. Itu sebabnya PT Vista Bella Pratama berhasil membeli cessie senilai Rp 4,6 triliun ini dengan harga amat murah, hanya Rp 445 miliar.
Para pengurus PT Vista rupanya berpendapat lain dengan BPPN. Mereka menganggap uang yang disita pajak itu masih belum berkedudukan hukum tetap dan masih milik PT Timor. Karena hak tagih Rp 4,6 triliun terhadap perusahaan milik Tommy Soeharto ini telah mereka miliki, uang itu jadi milik mereka.
Perbedaan pendapat ini akhirnya masuk ke pengadilan setelah gugatan PT Timor ke Direktorat Pajak dimenangkan pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung. Penyitaan oleh Direktorat Pajak dianggap tak sah karena itu uang harus dikembalikan ke PT Timor. Dengan begitu PT Vista Bella pun menganggap uang itu menjadi milik mereka, tapi Departemen Keuangan tak sependapat. Menurut pemerintah, dan ini sangat masuk akal, dana itu tidak masuk ke bagian yang hak tagihnya telah dijual BPPN dan dibeli PT Vista.
Alasannya sederhana saja. Jika tidak disita Direktorat Pajak, uang di rekening itu seharusnya sudah diambil oleh para kreditor orisinal PT Timor. Mereka, dari sisi jumlah kreditnya, mayoritas berasal dari bank milik pemerintah yang kini digabung menjadi Bank Mandiri. Itu sebabnya, jika penyitaan oleh Direktorat Pajak dianggap tak sah, uang itu adalah hak para kreditor orisinal PT Timor.
Namun, tak ada pihak yang melakukan gugatan untuk meraih uang ini ketika penyitaan Direktorat Pajak dinyatakan tak sah. Mungkin karena para kreditor orisinal ini sudah berganti pengurus, atau karena banknya sudah dilebur menjadi Bank Mandiri—atau jangan-jangan karena alasan lain yang melawan hukum. Maka, ketika Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 24 November lalu, mengeluarkan keputusan agar Bank Mandiri mengembalikan dana ke PT Timor, timbul kesan bahwa pengadilan memerintahkan dana itu diberikan kepada PT Vista.
Kesan keliru ini harus segera diluruskan. Bahwa dana yang sempat disita Direktorat Pajak itu milik PT Timor memang tak perlu diragukan. Namun, perusahaan ini berutang Rp 4,6 triliun kepada para kreditor ketika penyitaan itu terjadi. Sementara hak tagih terhadap PT Timor yang kemudian dijual BPPN ke PT Vista dilakukan dengan asumsi dana itu sudah diambil negara. Karena itu, Bank Mandiri seharusnya memberikan uang ini kepada para kreditor orisinal PT Timor. Itu sebabnya Bank Mandiri sepatutnya lekas-lekas mencari tahu siapa saja kreditor orisinal ini dan mengontak mereka agar segera mengambil kembali dana yang sempat diutangkan kepada PT Timor itu. Ini seharusnya tak sulit dilakukan karena sebagian dari kreditor itu adalah bank pemerintah yang kini telah dilebur menjadi Bank Mandiri.
Kenyataan bahwa hal ini tak dilakukan ketika MA memenangkan gugatan PT Timor kepada Direktorat Pajak pada 2004 tentu meruapkan bau tak sedap. Apalagi Direktur Utama Bank Mandiri pada masa itu, ECW Neloe, kini menjadi tersangka berbagai dugaan korupsi, termasuk pemilikan uang tak jelas sebanyak US$ 5 juta di Swiss. Majelis hakim pun mengalahkan pemerintah dengan alasan yang cukup mengenaskan: perwakilan hukumnya tak dapat menyajikan dokumen asli yang diminta di pengadilan. Ini menyiratkan kecurigaan terhadap keseriusan pejabat pemerintah dalam memenangkan kasus ini di meja hijau. Jangan-jangan mereka ”pura-pura serius”.
Kecurigaan ini tidaklah berlebihan. Nyatanya wartawan Tempo hanya butuh waktu kurang dari tiga jam untuk membuktikan terjadinya cacat hukum dalam penjualan hak tagih terhadap utang PT Timor Putra Nasional oleh BPPN kepada PT Vista Bella Pratama. Itulah waktu yang dihabiskan untuk berangkat dari kantor redaksi ke alamat resmi PT Vista dan mendapatkan bukti bahwa alamat itu palsu.
Begitulah, tanpa usaha serius, perebutan dana Rp 1,3 triliun milik rakyat ini jelas kemana ujungnya. Bila skenarionya seperti ini, tak heran banyak pejabat tiba-tiba terlihat tidak kompeten. Jangan-jangan, memang inilah peran mereka di jaringan kolusi yang supercanggih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo