Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIALA Dunia terasa berbeda kali ini. Fokus masyarakat dunia tidak hanya pada tim dan megabintang sepak bola seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, dan Neymar, tapi juga pada demokrasi dan hak asasi manusia. Semua itu terjadi karena event akbar ini berlangsung di Qatar, negara yang memperlakukan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) sebagai kriminal. Di sana juga hak perempuan dibatasi dan HAM tak sepenuhnya dihargai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Image pemerintah Qatar sebagai rezim otoritarian anti-HAM bertambah buruk setelah tahun lalu koran Inggris, The Guardian, memberitakan lebih dari 6.500 pekerja migran tewas sejak negara tersebut terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia pada 2010. Kematian-kematian tersebut diduga berhubungan dengan kondisi kerja yang jelek saat pembangunan stadion dan infrastruktur lain untuk perhelatan akbar ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amnesty International dan sejumlah lembaga lain menanggapi kondisi tersebut dengan menggelar kampanye #PayUpFIFA. Mereka menuntut Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) dan pemerintah Qatar memberikan tunjangan bagi pekerja migran yang menjadi korban dan keluarganya. Targetnya US$ 440 juta, sama dengan jumlah hadiah yang disiapkan di Piala Dunia.
Dua pekan lalu Sepp Blatter, mantan Presiden FIFA, menyatakan pemilihan Qatar sebuah kesalahan. “Negara itu terlalu kecil bagi event sebesar Piala Dunia,” katanya memberi alasan. Tapi apa gunanya pernyataan yang terlambat.
Korupsi kronis di tubuh FIFA ditengarai memuluskan jalan Qatar menjadi tuan rumah dan itu menodai Piala Dunia. Presiden FIFA saat itu, Michel Platini, konon atas permintaan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, mempengaruhi empat suara dari Eropa untuk memenangkan Qatar dalam voting. Meski Platini sempat ditahan, dugaan suap tak bisa dibuktikan. Tapi kecurigaan menguat tatkala, setahun seusai pemilihan, investor Qatar (QSI) membeli klub Paris Saint-German yang didukung Sarkozy. Lalu, pada 2012, putra Platini direkrut menjadi direktur utama sebuah perusahaan pakaian olahraga milik QSI.
Kelompok optimistis mengatakan event akbar ini akan menjadi dorongan bagi Qatar untuk berubah. Piala Dunia 1978 di Argentina, contohnya. Rezim militer di sana kala itu disorot karena “menghilangkan” banyak tahanan. Tapi kejuaraan tetap berlangsung. Bahkan Amnesty International tidak memboikotnya. Yang terjadi kemudian, pemberitaan Piala Dunia membuka mata dunia terhadap persoalan HAM di Argentina dan negara itu mulai berubah.
Qatar tentu saja berharap Piala Dunia memperbaiki reputasi mereka di mata dunia dan negara-negara Barat. Namun, seperti Argentina, mereka malah mendapat sorotan buruk. Sejumlah kapten kesebelasan, termasuk Harry Kane dari Inggris, hendak mengenakan sabuk lengan pelangi sebagai pesan solidaritas bagi komunitas LGBT selama pertandingan. Juga tim Denmark akan mengenakan kostum latihan dengan simbol dukungan bagi penegakan HAM di negara itu.
Kita berharap, dengan gencarnya sorotan masyarakat internasional, kondisi HAM di Qatar membaik seusai Piala Dunia. Dan, bagi FIFA, perhelatan ini semestinya menjadi pelajaran penting untuk kembali menyadari bahwa Piala Dunia bukanlah sekadar pertandingan. Ini kompetisi di mana bangsa-bangsa bergelut tapi setelah itu berjabat tangan; event di mana kemanusiaan semestinya dipromosikan dengan lantang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo