DI negeri Cina, konon petani ialah sokoguru revolusi. Di negeri Jepang atau Amerika petani dimanja dengan subsidi. Di negeri kita slogannya petani yang tangguh menjadi penyangga perkembangan industri. Pendek kata, di mana-mana petani disanjung dan dipuja. Ia menjadi tema banyak pidato. Menjadi renungan sejumlah sarjana Politisi pun selalu mengais masalah, di sela nestapa petani yang selalu dirundung gundah. Badan PBB pun memekik dengan banyak istilah. Karena itu jangan takut kesulitan terjemah buat sebutan aneh sektor petani. Petani gurem, FAO sebut dengan nearly landless. Buruh tani, disebut landless farmer. Untuk istilah kesrakat mereka pun punya destitute. Masalahnya, biarpun segala sebutan telah tepat ditemukan, segala slogan sudah banyak diteriakkan, masih terlalu sedikit yang dapat dikerjakan, bahkan masih simpang siur kita punya pengetahuan. Makin banyak statistik petani diungkap, makin dibikin kita lebih terperanjat. Makin ramai angka produksi disajikan, makin besar kemungkinan disengketakan. Karena masing-masing orang punya harapan. Tiap pejabat punya target, tetapi juga beban dan kewajiban. Makin dekat angka pada impian, makin elok buat berandai-andai. Perkara cermat tidaknya informasi, biarlah jadi beban statistisi. * * * Apakah Anda petani? Sayang bila bukan. Berarti Anda golongan minoritas. Karena 55 dari 100 keluarga Indonesia ialah wong tani. Itu berarti hampir 30 juta keluarga Indonesia menggantungkan periuk nasinya pada pengolahan tanah, atau nelayan. Sebelas juta di antaranya petani gurem tadi. Artinya garapannya setengah hektar atau kurang. Tujuh juta lebih lagi malah kuli kenceng alias buruh tani. Bagaimana mereka dapat hidup, dengan tanah garapan sebesar itu, atau memburuh pada sektor yang bagian cukup besar telah begitu kesrakat? Itulah letak soalnya. Di situ pula yang membuat tambah banyak pasalnya. Karena statistik juga bilang, angka produksi terus naik. Beras berlimpah di gudang-gudang. Dua puluh tiga juta ton hasil tahun 1982 sudah di tangan. Itu berarti pendapatan petani juga tambah lumayan. Keadaan konsumsi mereka konon menjadi mendingan. Bagaimana dengan kesenjangan, itu soal yang belum ingin dibicarakan. Karena itu, selalu berabe membuat angka taksiran, biarpun oleh statistisi jempolan. Karena rahasianya bukan pada angka, tetapi lebih cenderung berat berbobot prasangka. Biar kita punya statistik obyektif, mengabarkannya harus dengan cara yang arif. Supaya semua pihak sudi membahas atas dasar penilaian yang lugas. Sulitnya angka-angka itu bukan merupakan dagangan yang menarik. Karena itu, TEMPO pun bersemboyan, menyaji berita ekonomi, bukan statistik. Karena statistik tidak selalu enak dibaca. Dan mungkin juga tidak perlu. Perkara yang pertama saya setuju. Yang kedua yang saya mesti bilang nanti dulu. Sebab statistik kadang-kadang juga perlu. Itu kata saya. Coba kita dengar, apa kata orang yang bukan statistisi. Statistics is likes a girl in bikini. It reveals a lot but still conceals the most essentials. Statistik itu ibarat gadis yang hanya berbusana a la bikini. Membikin semua segi dan sudutnya jelas. Namun masih tersimpan rahasia yang paling khas. Wah, ini memang gawat. Statistik memang tidak mampu mengungkap segala-galanya. Tetapi perkara khas yang tersisa itu, tentulah tidak segawat kiasan tadi. Karena tafsir dan telaah dipersilakan untuk dinikmati para pemakai data. Statistik hanyalah pembuka rahasia. Itu pun sebagian saja. Sebagai statistisi berkepribadian nasional, saya tidak suka berandai-andai dengan bikini. Bukankah lebih mempesona wanita dalam kebaya? Statistics is likes a lady in kebaya, misalnya, apa salahnya? It fits figures and shapes curves nicely but also contains a handful of mistery. Toh statistik berurusan dengan angka dan kurva juga mengandung rahasia. Statistik, seperti kebaya, memperjelas lekuk liku telaah. Perkara kurva yang tergambar itu tulen atau palsu, itu urusan pemakai untuk menafsirkannya. Makin tulus dan makin dewasa peneliti, makin pintar ia membuat perkiraan, apa arti data dan angka statistik yang disajikan. *** Nah, setelah selesai berumpama kata, sampailah saya pada hajat kenduri. Mau membangun, pantasnya perlu rencana. Bila bikin rencana, lebih afdol pakai angka-angka. Perkara mimpi dan firasat lebih berperan dalam keputusan akhir suatu rencana, itu soal lain. Rencana berdasar wangsit pun aman sekarang mesti didukung data. Apalagi mau membuat Repelita benaran. Mesti sarat data, kaya analisa, dan berpijak pada tekad bijaksana. Mau tahu keadaan petani sebagai sisi amat penting dari pembangunan, pantaslah bila dibikin Sensus Pertanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini