Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELAKANGAN, istilah studi tiru cukup populer diucapkan dan ditulis orang. Penutur terbanyak frasa ini adalah elite pemerintah atau birokrat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepertinya istilah tersebut merupakan upaya koreksi terhadap frasa studi banding. Sebagai kata atau gabungan kata baru, studi tiru belum menjadi lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Berbeda halnya studi banding, yang sudah terdaftar dalam entri kamus resmi tersebut, yakni sebuah konsep belajar yang dilakukan di lokasi dan lingkungan berbeda dengan tujuan peningkatan mutu, perluasan usaha, perbaikan sistem, penentuan kebijakan baru, perbaikan peraturan perundangan, dan lain-lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mungkin istilah studi tiru lahir sebagai respons terhadap kekecewaan banyak kalangan yang menilai kegiatan studi banding ke luar negeri yang kerap dilakukan lembaga legislatif tidak menghasilkan sesuatu yang nyata dan terukur, selama ini. Studi banding kerap dianggap sebagai istilah penghalusan dari "jalan-jalan ke luar negeri" atas nama tugas negara.
Sesungguhnya kegiatan yang lebih-kurang sama dan tak kalah menyedot kocek uang rakyat (bila ditotal dalam skala negara) juga dilakukan lembaga-lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah. Namun, dibanding para wakil rakyat, kaum birokrat dianggap dapat membuktikan hasil kerja nyata mereka setelah "jalan-jalan" ke luar negeri. Karena itu, kunjungan studi banding oleh para pejabat (menteri, gubernur, wali kota, dan bupati serta jajaran di bawahnya) dianggap wajar.
Bisa jadi, lantaran tidak ingin mendapat sorotan negatif, para pejabat birokrat menggunakan istilah studi tiru untuk menyebut kegiatan studi banding mereka. Frasa studi tiru diciptakan untuk melahirkan kesan bahwa pembelajaran ke luar negeri tak boleh hanya membawa pulang kisah sukses obyek belajar, tapi harus konkret dan jelas ukurannya. Apa lagi jika bukan dengan meniru dan langsung mempraktikkannyadengan harapan menghasilkan keluaran yang nyata.
Pengalaman kebahasaan semacam itu tidaklah asing. Dulu, masih dalam cakupan istilah yang mirip dengan studi banding dan studi tiru, kita mengenal istilah replikasi untuk mewakili kata bahasa Inggris, replica. Ketika itu, sebagian penuturnya memaknai replikasi sama dengan arti studi tiru pada hari ini. Namun persepsi kala itu cenderung searti dengan studi banding. Makna replikasi adalah duplikasi atau tiruan (lihat Kamus Besar).
Bahasa memang bukan ilmu pasti, melainkan kesepakatan. Pada awalnya, kata sebagai unsur bahasa tercipta dari hasil kategorisasi-kategorisasi penuturnya untuk merujuk pada obyek atau realitas tertentu. Dalam proses itu, mereka juga melakukan identifikasi dan internalisasi nilai-nilai di lingkungannya. Bahasa sebagai salah satu media penyampaian pesan dalam kegiatan komunikasi merupakan eksternalisasi diri penuturnya agar dipahami komunikan.
Kesepakatan dalam berbahasa juga bersifat dinamis dalam proses interaksi sosial kompleks. Dalam keseharian, kita terlibat dalam upaya kategorisasi terhadap suatu obyek. Kesadaran bahasa kita dipengaruhi proses tersebut, apakah akan menyetujui arti kata yang sudah ada, membuat pergeseran-pergeseran makna, atau melahirkan kata baru. Sebab, dalam linguistik, satu kata tercipta untuk satu realitas. Dan kata bukan realitas itu sendiri.
Kreasi kebahasaan muncul bila suatu kata dianggap tidak mewakili realitas tertentu. Itulah mengapa, lantaran persepsi dan interpretasi serta pengalaman subyektif para penuturnya, suatu kata kadang bersifat ambigu, bahkan parsial.
Sepertinya frasa studi tiru lahir sebagai ekspresi kebahasaan lembaga pemerintah yang ingin membuktikan slogan "kerja, kerja, kerja". Studi tiru mewakili makna tentang tingkat kecepatan pembuktian nyata dari suatu kegiatan pembelajaran ke suatu tempat.
Sah-sah saja. Hanya, menurut saya, kandungan makna studi tiru terasa menyepelekan proses kreatif kategorisasi dalam dinamika berbahasa. Atau imajinasi kebahasaan kita memang hanya segitu?
Bayangkan, melalui studi tiru, para birokrat kita hendak menduplikasi kesuksesan dari negeri-negeri lain, sementara variabel-variabel yang mereka miliki jelas berbeda dibanding realitas kita di sini. Dikhawatirkan terjadi lompatan logika yang kurang wajar di sana.
Seperti terminologi replikasi, yang hanya ingin memindahkan kisah sukses di negeri orang ke negara kitahal yang sulit dimengerti sebagai tindakan bergunastudi tiru, selain merupakan bukti daya imajinasi kebahasaan yang tumpul, seperti hendak menegaskan bahwa kita adalah bangsa kelas dua, bahkan pengekor. Jangan-jangan mereka yang suka jalan-jalan ke luar negeri dengan uang rakyat atas nama studi banding atau dan studi tiru gagal membuat kategorisasi terhadap realitas kesuksesan di sana. Jika demikian, lupakan (dulu) studi tiru karena bangsa ini masih memerlukan banyak studi banding yang benar.
Agung Y. Achmad
Wartawan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo