Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas: SOP Densus Tidak Jelas

PENGURUS Pusat Muhammadiyah sering bersuara lantang menyoroti kinerja Detasemen Khusus 88 Antiteror, yang menjadi barisan terdepan pemberantasan terorisme.

14 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGURUS Pusat Muhammadiyah sering bersuara lantang menyoroti kinerja Detasemen Khusus 88 Antiteror, yang menjadi barisan terdepan pemberantasan terorisme. Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas, yang kerap terjun langsung mendampingi terduga teroris dan keluarganya, menilai masih sering terjadi pelanggaran dalam penanganan kasus terorisme. Kepada wartawan Tempo, Pito Agustin Rudiana, yang menemuinya di kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Kamis pekan lalu, mantan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi ini membeberkan sebagian riset organisasinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Detasemen Khusus 88 makin gencar menangkap terduga teroris. Sebagian di antaranya tewas….

Mengapa banyak terduga teroris harus tewas? Seharusnya bisa dilumpuhkan. Densus itu pintar teori melumpuhkan. Tindakan Densus cenderung represif, melanggar hak asasi manusia berat, karena dilakukan secara sistematis.

Dari hasil kajian Anda, ada pelanggaran oleh Densus?

Pelanggarannya ya prosedur. Penangkapan dan penggeledahan tanpa surat. Begitu juga proses-proses setelah itu. Kalau terduganya langsung mati, ya, selesai. Kalau ada sidang, biasanya tertutup untuk umum.

Anda menganggap prosedur operasi standar atau SOP Densus tidak jelas?

SOP-nya memang enggak jelas. Di mana kantor Densus itu juga tidak jelas. Di Mabes Polri apa ada? Banyak sisi yang tidak diketahui media dan masyarakat, sehingga sulit melakukan fungsi kontrol.

Muhammadiyah pernah menemukan penyiksaan terhadap terduga teroris?

Fakta yang kami temukan kuat mengindikasikan adanya standar penyiksaan itu. Fakta lho ini. Pertama, kasus Siyono. Tidak ada gegar otak. Dia meninggal akibat tekanan benda keras pada dada kirinya. (Hasil autopsi juga menunjukkan Siyono tidak melakukan perlawanan.) Kedua, ada pengakuan dari terdakwa teroris yang kami advokasi, namanya saya lupa, memang dilakukan penyiksaan. Pada 2017, kami juga mewawancarai seorang janda di Poso, Sulawesi Tengah, yang suaminya mati di tangan Densus. Dia menunjukkan foto suaminya sebelum dan sesudah disiksa. (Busyro menunjukkan foto jenazah seorang terduga teroris di telepon selulernya. Wajahnya menghitam dan lebam.)

Dari hasil riset Muhammadiyah, sejak kapan penyiksaan dilakukan?

Sejak penangkapan. Ada yang dibawa ke hotel, diinterogasi. Enggak ngaku, kepalanya dimasukkan ke kloset. Itu di Solo, berdasarkan pengakuan keluarganya. Waktu dibesuk ke Mako Brimob, tak bisa berjalan.

Muhammadiyah pernah menanyakan soal ini kepada polisi?

Saya berikan catatan dalam suatu forum agar Polri terbuka soal praktik penyiksaan, kekerasan brutal, yang mengakibatkan terduga teroris meninggal dengan cara tragis. Itu membuat kami bertanya: kurikulum pendidikan Densus itu yang menyusun siapa, lalu mentornya siapa, dari negara mana? Enggak pernah ada penjelasan. Ini bagian gelap tata kelola sumber daya manusia.

Dalam kasus Siyono, bagaimana Anda melihat perkembangannya?

Saya pernah bertemu dengan seorang petinggi Densus dan menanyakan anak buahnya yang menganiaya Siyono. Katanya, sudah diberi sanksi dengan ditarik ke Mabes Polri. Oh… ditarik ke Mabes itu sanksi, to. Padahal ini kasus dugaan pidana dan pelanggaran etika, prosedur. Ini berbeda dengan kasus Cebongan pada 2013. Ada sidang, meski banyak kejanggalan. Kalau kasus Siyono ini, sama sekali tidak ada.

Bagaimana cara memperbaiki penanganan teroris?

Advokasi dari hulunya. Presiden membentuk tim evaluasi independen dengan memasukkan unsur Polri. Kan, banyak intelektual Polri dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, lalu masyarakat sipil, dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kalau mau memperbaiki Densus, Presiden masih memiliki waktu. Tapi, untuk yang lebih sederhana, lihat kasus Novel Baswedan (penyidik KPK yang diserang orang tak dikenal). Untuk kasus ini saja, Presiden angkat tangan, apalagi soal terorisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus