Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

18 Tahun Aksi Kamisan: Menjaga Harapan Agar Tak Punah

Suciwati

Suciwati

Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK)

Hari ini, Aksi Kamisan berusia 18 tahun. Sebuah refleksi oleh Suciwati.

16 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Aksi Kamisan berjuang agar hak asasi manusia ditegakkan dan demokrasi terus dirawat untuk masa depan generasi muda.

  • Aksi Kamisan beberapa kali hendak dibubarkan. Fitnah juga berdatangan, tapi peserta aksi terus bertahan dan konsisten berjuang.

  • Aksi Kamisan terus berjalan sebagai perlawanan terhadap normalisasi kejahatan kemanusiaan di masa lalu dan praktik impunitas yang terus terjadi.

PESAWAT yang kutumpangi mendarat di sebuah negara adikuasa, antah berantah di belahan dunia lain, jauh dari negeriku. Di Bandar Udara John F. Kennedy, Amerika Serikat, kakiku menjejak. Sahabatku, Matt Easton, menyambut. Aku bersama Usman Hamid, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) saat itu, menghadiri acara pemberian Human First Award yang dianugerahkan kepada suamiku, Munir, atas keberaniannya membela hak asasi manusia. Penghargaan itu juga diberikan kepadaku karena mendesak pembunuh suamiku mendapat hukuman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Kota New York, 16 Oktober 2006, perasaanku berkecamuk. Bangga atas penghargaan ini, tapi di hati yang paling dalam, rasa nyeri menggigitku. Dengan semua yang aku lakukan, aku tetap kehilangan suamiku dan terdapat ruang kosong perjuangan hak asasi manusia serta demokrasi. Aku tetap menyimpan mimpiku: penjahat sesungguhnya yang merancang pembunuhan suamiku dengan racun arsenik dipenjarakan dan dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Munir, suamiku, adalah aktivis yang tidak kenal lelah memperjuangkan hak-hak orang tertindas. Ia tak kenal lelah mengadvokasi kasus pembunuhan buruh Marsinah, wartawan Udin, penghilangan paksa, dan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Aktivitasnya inilah yang membuatnya menjadi target para penjahat hak asasi manusia. Hingga pada 7 September 2004, dalam perjalanannya ketika hendak bersekolah S-2 di Universitas Utrecht, Munir dibunuh dengan racun.

Di ruang kesakitanku atas kehilangan suamiku, aku harus terus menggaungkan bahwa kejahatan ini begitu luar biasa dan negeri kita terlalu menormalisasi kejahatan bengis yang terus terjadi. Perjuangan ini sangat penting, seperti mimpi kami agar hak asasi manusia ditegakkan dan demokrasi dirawat demi masa depan generasi muda nanti.

Di New York, aku bertemu dengan salah satu penerima Human First Award, Damas de Blanco atau Ladies in White. Mereka adalah para ibu yang memakai baju putih di Kuba, yang secara konsisten berdemonstrasi setiap pekan, memprotes penahanan politik terhadap suami dan anak-anak mereka. Aku juga berkenalan dengan para ibu pejuang di Argentina, Madres Plaza de Mayo, yang konsisten menggelar demonstrasi damai atas penghilangan paksa anak dan suami mereka oleh rezim otoriter di sana.

Pulang dari negeri Abang Sam, beberapa kali obrolan kekebalan hukum atas penjahat hak asasi manusia ini hadir di ruang-ruang diskusi Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Aku mendirikan organisasi ini bersama Bu Sumarsih, yang anaknya ditembak mati oleh aparat dalam peristiwa Semanggi pada 13 November 1998. Ada juga Pak Bejo Untung, korban peristiwa 1965, dan Bung Sandyawan yang mendukung sejak awal berdirinya organisasi korban ini. Tak ketinggalan, teman-teman Kontras dan individu lainnya, yang tidak bisa aku sebut satu per satu, turut mendukung berdirinya organisasi ini.

Dalam ruang-ruang percakapan dan diskusi itu, muncul kelelahan pada para korban dan keluarganya. Namun semangat kami biasanya hadir kembali ketika melakukan demonstrasi saat memperingati momen berbagai peristiwa kejahatan hak asasi manusia. Tapi gerakan yang kurang masif membuat kami merasa perlu menciptakan sebuah aksi perjuangan bersama yang konsisten.

Aku terinspirasi perjuangan para ibu di Amerika Latin dan menceritakan kisah mereka kepada teman-teman di JSKK. Kami pun bersepakat membuat "Aksi Kamisan" di Tanah Air. Hari Kamis dipilih karena identik dengan malam Jumat yang dianggap sebagai malam kebaikan—walaupun sebetulnya alasan lain pemilihan hari itu adalah aku libur setiap Jumat. 

Kami juga memilih berdemonstrasi pada sore hari, pukul 16.00-17.00 WIB, ketika orang-orang sudah selesai bekerja. Kami menetapkan warna hitam sebagai atribut untuk melambangkan kegigihan perjuangan menegakkan keadilan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Kami juga selalu membawa payung, yang menjadi simbol perlindungan hukum yang terus kami perjuangkan tanpa lelah. 

Kami menentukan lokasinya: di seberang Istana Negara. Di sinilah orang nomor satu di Republik ini menjalankan pemerintahan. Dialah sosok yang bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus yang kami perjuangkan. Aksi Kamisan Depan Istana pun lahir pada 18 Januari 2007. Belakangan, kegiatan ini kami sebut Aksi Kamisan karena solidaritas atas gerakan kami makin beranak pinak di berbagai daerah. Setidaknya, berdasarkan catatan kami, Aksi Kamisan pernah digelar di 70 kota lain di Indonesia. Ada yang tak bertahan lama, tapi banyak yang bermunculan belakangan.

Hampir 20 tahun kami hadir untuk mengingatkan bahwa kami, korban kejahatan hak asasi manusia, terus ada dan tidak diam. 

Gerakan kami pun terus berkembang. Awalnya, kami hanya membuat selebaran berisi harapan dan tuntutan sampai kemudian kami menuliskan serta mengirim surat kepada penghuni Istana Negara, Presiden Republik Indonesia.

Namun, ketika akhirnya Prabowo Subianto terpilih dan dilantik menjadi presiden, kami memutuskan menghentikan surat-surat itu. Bagi kami, ia masih menjadi terduga pelaku pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Surat terakhir Aksi Kamisan kami kirim ke Presiden Joko Widodo dalam Aksi Kamisan ke-836 pada 17 Oktober 2024. Surat itu bernomor 479/Surat Terbuka_JSKK/X/2024.

Kami bekerja keras dan bahu-membahu terus mengajak banyak orang bersolidaritas. Pada awalnya memang agak berat mengajak orang-orang ikut berdemonstrasi. Adakalanya peserta Aksi Kamisan begitu membeludak, tapi tak jarang pula pesertanya beberapa orang saja. 

Pada suatu ketika, kami pernah bersepakat, Aksi Kamisan akan kami hentikan jika pesertanya tinggal kami bertiga: aku, Bu Sumarsih, dan Yati Andriyani, koordinator Kontras saat itu.

Berbagai Rintangan Aksi Kamisan

Suatu ketika, ada tamu negara berkunjung ke Istana, bertepatan dengan momentum persiapan peringatan Hari Kemerdekaan. Tempat kami biasa beraksi dipenuhi truk polisi, dengan beberapa kompi polisi siap membubarkan kami. Dengan bergandeng tangan, kami bertahan berdiri di sana. Bahkan, Kepala Kepolisian Sektor Gambir sempat membentak Bu Sumarsih. Aku langsung menelepon juru bicara presiden kala itu, Andi Mallarangeng, melaporkan perlakuan polisi terhadap kami. Tak lama, polisi membubarkan diri.

Beberapa kali peristiwa tidak mengenakan terjadi. Pada waktu lainnya, ada pemberitahuan bahwa kami diminta pindah ke Taman Aspirasi, yang jaraknya 500 meter lebih jauh dari lokasi kami biasa beraksi. Tentu saja kami menolak. Sebab, toh, kami tak akan berdiri di sana (dengan damai) setiap Kamis jika kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang kami suarakan diselesaikan negara lewat pemerintah dan parlemen serta aparat penegak hukum. 

Sejatinya, kami justru ingin membantu menyelesaikan masalah bangsa yang terus hanya ditumpuk dan tidak diselesaikan. 

Pada 2008, kami mendapat informasi bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mau menerima peserta Aksi Kamisan di Istana Kepresidenan. Namun waktu itu aku menolak karena motif undangan itu jelas hanya ingin "menggunakan" kami agar SBY terpilih kembali dalam Pemilu 2009. 

Waktu itu, aku melihat SBY ingin menunjukkan kepeduliannya terhadap penegakan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia. Padahal semua itu hanya omong kosong. Hal tersebut terbukti selama lima tahun pertama pemerintahannya, berbagai kasus itu tak terselesaikan.

Bahkan, dalam kasus pembunuhan suamiku, Presiden SBY tak berani mengusut dalang pembunuhnya. Padahal, pada awal masa pemerintahannya, dia sempat menyatakan kasus pembunuhan Munir sebagai "test of our history". 

Kasus yang sebetulnya terang benderang ini menjadi suram ketika belakangan terungkap adanya keterlibatan Badan Intelijen Negara. Kendati Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menyatakan kasus ini sebagai pemufakatan jahat, hasil penelusuran Tim Pencari Fakta Munir tak dipublikasikan. Presiden terkesan takut mengungkap kasus ini secara terang.

Memasuki 2014, presiden berganti. Terpilihnya Joko Widodo memunculkan euforia dan kepercayaan publik begitu besar terhadapnya. Namun aku tetap apatis. Dalam beberapa kesempatan berkomunikasi dengan Jokowi sebelum ia terpilih, ia tak menunjukkan komitmennya dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Aku pernah bertanya kepada Jokowi, kenapa dia duduk bersama A.M. Hendropriyono—yang namanya muncul dalam kasus pembunuhan suamiku—pada masa kampanye pemilihan presiden 2014. Kepadaku, Jokowi mengaku tak tahu rekam jejak Hendropriyono. Tentu saja aku tak percaya.

Saat Jokowi baru terpilih, Bu Sumarsih pernah menyatakan pamit, tak akan mengikuti Aksi Kamisan lagi. Waktu itu, Bu Sumarsih cukup percaya pada Nawacita yang diusung Jokowi. Aku menyarankan Bu Sumarsih tak perlu berpamitan. Benar saja, tak lama ketika Jokowi mengumumkan reshuffle kabinet pada 2016 serta menunjuk Wiranto menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Bu Sumarsih kembali bergabung dengan kami. 

Pada 2018, Jokowi mengundang peserta Aksi Kamisan. Aku kembali menolak ikut. Bagiku, Jokowi adalah pengkhianat, karena bukannya menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, ia malah menunjuk sejumlah terduga pelaku kejahatan hak asasi manusia sebagai pembantunya di kementerian ataupun menduduki berbagai jabatan strategis. Tak sedikit pula mantan aktivis yang mulanya aktif mengikuti Aksi Kamisan, justru belakangan bergabung di pemerintahan. Saat sudah mendapat jabatan, mereka bungkam dan tak pernah lagi membela kami atau mengungkapkan keresahan mereka terhadap kondisi demokrasi.

Dalam Pemilu 2024, kegelapan seolah-olah menyelimuti kami. Hal yang kami khawatirkan adalah seorang terduga pelaku kejahatan kemanusiaan terpilih menjadi presiden. Kami terus menyuarakan rekam jejaknya agar ia tak terpilih. Bahkan banyak pendengung yang menuduh Aksi Kamisan hanyalah demonstrasi lima tahunan. Bagi kami, tuduhan itu fitnah keji serta memperlihatkan betapa mereka tak peduli kepada korban dan keluarga korban yang konsisten mencari keadilan. 

Berbagai fitnah yang datang itu membuatku heran. Bagaimana di sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama, moral tak lagi menjadi patokan. Ketidakadilan terus dipertontonkan terang-terangan, korupsi merajalela, dan ketimpangan penegakan hukum—yang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas—terus terjadi. 

Korban dan keluarga korban kejahatan hak asasi manusia makin menua. Satu demi satu meninggal. Namun kami akan dan harus terus melawan. Namun, pada satu sisi, aku juga khawatir perjuangan ini akan sia-sia akibat kian masifnya upaya normalisasi kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi. Publik pun seolah-olah lupa dengan berbagai peristiwa itu.

Tahun ini, aku merasa langit kian kelam. Impunitas makin kuat. Apakah kami masih bisa berharap akan adanya keadilan? Atau harapan itu akhirnya hanya akan menjadi ilusi bagi kami, para pencinta kebenaran dan keadilan? Para serigala sedang berpesta dan para domba sekarang ikut serta berdansa dengan mereka.  

Saat ini, aku hanya mampu berkata: Jangan diam. Lawan!

Malang, 2 Januari 2025

Menjelang 18 Tahun Aksi Kamisan


Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus