Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sukarno di Negeri Monyet dalam Gelap

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

*JJ Rizal

Mendapat gelar Pahlawan Proklamator sudah. Mendapat penghargaan Lencana Tugas Kencana pun sudah. Lantas mendapat lagi gelar Pahlawan Nasional. Tapi apa artinya gelar dan penghargaan berlapis-lapis yang diberikan pemerintah kepada Sukarno setelah meninggal itu jika sejak diberhentikan pada 1967 sampai sekarang dia tidak pernah mendapat proses hukum sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 dan rehabilitasi nama baik akibat rupa-rupa cap buruk yang secara sistematis dilekatkan negara terhadapnya?

Rupanya betul Onghokham yang pada 1977, dalam suatu esai yang menantang, "Sukarno: Mitos dan Realitas", bilang, "Persoalannya kini bukan siapa Sukarno, tapi siapa sebenarnya kita dulu dan siapa kita sekarang, apa dulu kita yang munafik atau kita yang sekarang munafik?"

Kalau tidak percaya, periksa saja kisah gelar Pahlawan Proklamator. Begitu keluar Keputusan Presiden Nomor 081 Tahun 1986 yang memaklumatkan gelar tersebut kepada Sukarno-Hatta, saat itu pula mereka berdua sesungguhnya mendapat malapetaka besar. Sebab, ide dasar pemberian gelar itu adalah bagaimana membebaskan Soeharto yang merasa dihantui roh Sukarno yang kian kuat dan membahayakan kekuasaannya. Soeharto geregetan melenyapkan fungsi Sukarno sebagai simbol perlawanan terhadap Orde Baru. Untuk itu, sejak 21 Juni 1970, saat Sukarno meninggal, Soeharto mencoba segala macam jalan. Tapi, seperti dinyatakan Karen Brook, "Sukarno tetap menghantui" bahkan sampai Soeharto meninggal.

Begitu Sukarno wafat, Soeharto memulai politik exorcism atau pengusiran roh jahat Sukarno. Pemikiran Sukarno diembargo. Nama Sukarno haram disebut di lingkungan pemerintah. Masa Sukarno disebut Orde Lama untuk mengasosiasikan ketidakberadaban yang dikontraskan dengan masa Soeharto. Tapi, pada 1978, taktik ini terbukti sia-sia. Soeharto pun mulai mengatasi popularitas Sukarno dengan pendekatan rehabilitasi setengah hati, sambil terus mendiskreditkannya. Ini tecermin ketika Juni 1979 Soeharto meresmikan kompleks pemakaman Sukarno di Blitar sebagai tanda ikatan batinnya kepada Putra Sang Fajar. Setahun kemudian, patung Sukarno-Hatta dibangun di tempat mereka memproklamasikan kemerdekaan.

Namun, hampir bersamaan, Soeharto mendukung pernyataan Nugroho Notosusanto—sejarawan yang pada 1982 diangkat jadi Rektor Universitas Indonesia dan pada 1983 jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—bahwa Sukarno bukan orang pertama yang menyatakan Pancasila, serta keliru menentukan hari lahir dasar negara itu pada 1 Juni 1945. Soeharto menyetop perayaan hari lahir Pancasila seraya memasukkan pernyataan Nugroho yang sudah dibukukan dalam paket indoktrinasi pendidikan nasional (P4) dan bacaan wajib guru sekolah. Lalu, pada 1985, Nugroho sibuk menyudutkan Sukarno dalam buku Sejarah Nasional Indonesia. Dalam jilid VI buku sumber pelajaran sekolah itu, Nugroho mengangkat lagi isu bahwa Partai Komunis Indonesia pada 1965 mendapat perlindungan Sukarno meskipun ditentang militer. Nugroho juga melakukan serangan baru dengan menuduh Sukarno sebagai pemimpin korup yang menerima komisi kontraktor asing dan menyimpannya di bank asing.

Meninggalnya Nugroho pada 1985 menandai era baru politik Soeharto terhadap Sukarno. Seperti telaah Pierre Labrousse,­ timbul kesadaran Soeharto bahwa setelah dijatuhkan dan kemudian meninggal sebagai tahanan politik, Sukarno bangkit memasuki "second life". Sepanjang 1980-an, kebangkitan Sukarno terbukti dari ribuan peziarah yang saban hari ke makamnya di Blitar. Merebak pula buku-buku tentang Sukarno dan kisah dirinya yang positif di media massa. Ini mengejutkan Soeharto karena pemujaan terhadap Sukarno mau tak mau menjadi dasar kritik kekurangan yang ada pada dirinya.

Akhirnya, Soeharto sepaham dengan wakilnya, Adam Malik, saat menyelesaikan polemik yang dimulai Rosihan Anwar pada 1980 mengenai "Surat Minta Ampun Sukarno" yang berlarut dan panas. "Sukarno sudah meninggal, mempertanyakan dia akan merusak persatuan serta stabilitas nasional. Lebih baik melupakan segala kesalahan Sukarno di masa lalu," kata Adam. Soeharto membahasakannya mikul dhuwur mendhem jero. Stop melihat Sukarno sebagai hantu. Ia adalah malaikat, orang suci. Soeharto segera mengintegrasikan Sukarno ke dalam pantheon atau simbol nasional yang keramat. Sampai di sini Soeharto menemukan medium menjaga keseimbangan di mana Sukarno dapat dihormati bahkan dipuja, tapi hanya dalam batas-batas kendali yang dibuatnya sendiri.

Sitor Situmorang menilai itulah cara Soeharto memanipulasi rakyat agar dapat tampil sebagai kesatria yang menghormati Sukarno dan kekuasaannya merupakan rangkaian semangat kebangsaan sang Proklamator. Tapi sekaligus mengekalkan fitnah terhadap Sukarno sebagai pendosa bangsa dengan menempatkannya sebagai orang suci yang ora elok dosanya di masa lalu diungkit-ungkit. Pemberian gelar Pahlawan Proklamator pada November 1986 sungguh lebih didorong pertimbangan membuat senjata politik ketimbang kesadaran sejarah. Alhasil, gelar itu menjadi tindak penggelapan sejarah dan taktik keji pembunuhan karakter. Apalagi, beralasan konsepsi dwitunggal proklamator, Soeharto melakukan pelecehan dengan menyeret-nyeret Hatta sebagai koproklamator, padahal hanya dijadikan bumper ketakutannya pada "tak mati-matinya" Sukarno.

Soeharto dengan begitu juga menabrak perundang-undangan kepahlawanan yang berlaku dan tidak mengenal kategori Pahlawan Proklamator. Ia memutuskan tak memilih kategori gelar pahlawan yang ada, tapi bikin yang baru. Sekilas gelar Pahlawan Proklamator kelihatan masuk akal, mentereng, eksklusif, dan tinggi mengatasi gelar pahlawan nasional. Namun seketika peran historis Sukarno dan Hatta dikerdilkan hanya dalam peringatan satu peristiwa sejarah khusus: Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan.

Dilenyapkanlah perjalanan panjang Sukarno dan Hatta serta intensnya pergaulan mereka dengan tokoh-tokoh bangsa dari 1920-an sampai awal 1940-an yang menghasilkan klasik yang sampai kini masih bisa bercerita tentang impian, cita-cita, dan pergulatan intelektual, bahkan perdebatan ideologis yang dialami sebelum tampil sebagai proklamator. Dikemanakan peran historis Hatta dengan Manifesto Politik 1925 yang kata Sartono Kartodirdjo rumusan konkret pertama konsep dan prinsip nasionalisme politik Indonesia? Dilupakankah peran historis Sukarno pada 1 Juni 1945 saat pidato Pancasila yang oleh Taufik Abdullah diakui bisa menghapus segala kerugian yang mungkin dialaminya dalam penilaian sejarah? Tiadakah artinya peran historis Sukarno dan Hatta di hadapan pengadilan kolonial yang menyumbangkan pleidoi luar biasa, Indonesia Menggugat dan Indonesia Merdeka, yang kata Mochtar Pabottingi sumber gagasan terpenting ideologi nasion Indonesia?

Dulu, saat gelar Pahlawan Proklamator diberikan, hampir tiada yang mempertanyakan Sukarno dan Hatta yang disudutkan ke satu titik peran sejarah yang sempit dan bahkan menghina itu. Pemberian gelar di Istana Merdeka dihadiri Hartini, istri keempat Sukarno, serta kelima putra-putri Sukarno, juga keluarga Hatta. Keluarga Soeharto menyambut hangat mereka. Media ramai memasang foto peristiwa itu dengan berkepala berita besar-besar bahwa telah terjadi rekonsiliasi. Padahal itu peristiwa yang lebih pantas disebut manipulasi dan destruksi sejarah Sukarno dan Hatta.

Kini, setelah 26 tahun, sejarah berulang. Pada 7 November, keluarga Sukarno dan Hatta berkumpul di Istana Merdeka. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut seraya membacakan Keputusan Presiden Nomor 84/TK/2012 tentang gelar pahlawan nasional, yang khusus tahun ini hanya diberikan kepada Sukarno dan Hatta. Tapi ironisnya tanpa penjelasan ihwal kejahatan politik negara di masa lalu terhadap Sukarno. Tiada koreksi atas gelar Pahlawan Proklamator seraya menyertakan surat keputusan presiden tentang rehabilitasi nama baik Sukarno. Yudhoyono sibuk tampil sebagai kronikus yang bahkan datanya banyak ngawur.

Menyedihkan, tapi yang lebih menyedihkan adalah lenyapnya momentum pembebasan Sukarno dari mitos buatan Soeharto, yang belakangan bertambah parah dengan politik busuk politikus profitur Bung Karno. Kemunafikan telah membikin buntu jalan menuju pemahaman perjuangan panjang pendiri bangsa itu serta gagasan-gagasan penting mereka tentang nasionalisme, bukan sebagai warisan leluhur, melainkan komitmen untuk masa kini dan nanti sebagai "orang Indonesia". Sukarno dan angkatannya, kata Ben Anderson, adalah manusia-manusia pertama yang membayangkan diri jadi "orang Indonesia". Di sini ia tak pernah merasa dan minta dihargai lebih tinggi, karena sadar betul menjadi "orang Indonesia" bukan alamiah, melainkan kerja bersama saling belajar gembleng-menggembleng di dalam sejarah modern yang menuntut tekad, solidaritas, kerelaan berkorban, serta harapan.

Begitulah Sukarno harus dimengerti sebagai simpul sejarah tokoh-tokoh bangsa, bayangan dan harapan mereka tentang "orang Indonesia" yang berdiri tegak, tidak membungkuk, tidak menginjak, terbuka, dinamis, bernyali, dan berperikemanusiaan. Inilah amal tiada akhir dan terpenting dari Sukarno, tapi lama digelapkan oleh rupa-rupa kejahatan sejarah sehingga negara-bangsa yang diwariskannya tinggal seperti—meminjam ucapan sohor Sukarno—"monyet dalam gelap".

*) Sejarawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus