Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
*Rizal Sukma
Salah satu isu yang paling menonjol dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat lalu adalah soal kebangkitan Cina, implikasinya terhadap hubungan Amerika-Cina, serta bagaimana strategi dan kebijakan Amerika dalam merespons persoalan itu. Bagi Amerika, ada dua dimensi strategis dari fenomena kebangkitan Cina yang menjadi perhatian Washington dalam merumuskan sikapnya terhadap Beijing.
Pertama, soal ketidakseimbangan hubungan ekonomi antara Amerika dan Cina. Ini terlihat antara lain dari tuduhan mengenai manipulasi mata uang, praktek dagang tidak jujur, dan arus investasi ke Cina yang dianggap menggerus ketersediaan lapangan kerja di Amerika sendiri. Kedua, soal meningkatnya kemampuan militer Republik Rakyat Cina, khususnya kekuatan angkatan laut, yang dianggap dapat membahayakan posisi supremasi militer Amerika dan menjadi ancaman bagi sekutu-sekutunya.
Kedua dimensi strategis itu kemudian bermuara pada kekhawatiran Washington terhadap kemampuan Beijing membatasi pengaruh dominan Amerika di kawasan Asia-Pasifik. Cina, dengan kata lain, mulai tampil sebagai kekuatan penantang kepemimpinan dan keunggulan (primacy) Amerika di kawasan. Sekarang saja, kebangkitan Cina telah melahirkan persepsi yang luas di kawasan mengenai merosotnya pamor Amerika sebagai negara adidaya.
Kekhawatiran demikian tampaknya cukup dominan di kalangan pemimpin Amerika. Pandangan Presiden Amerika terpilih, Barack Obama, ataupun kandidat Partai Republik, Mitt Romney, mengenai persoalan ini tidak berbeda jauh. Keduanya sepakat bahwa Washington perlu membangun hubungan baik dengan Beijing seraya tetap mempertahankan supremasi Amerika sebagai kekuatan nomor satu di dunia. Karena itu, tidak mengherankan bila keduanya selama kampanye berkutat pada soal siapa yang mampu bersikap lebih "keras" terhadap Beijing.
Jadi, setelah Obama keluar sebagai pemenang pada pemilu 6 November lalu, persoalan utama dalam hubungan Amerika dan Cina tetap sama. Amerika akan terus berkutat pada persoalan bagaimana mengelola hubungan kompleks dan problematik dengan Cina, yang diwarnai oleh kerja sama sekaligus rivalitas di antara keduanya. Di satu sisi, saling ketergantungan secara ekonomi akan mendorong Washington melihat Cina sebagai mitra. Dari sudut kepentingan strategis, tampaknya akan sulit bagi Amerika untuk tak melihat Cina sebagai pesaing.
Bagi kita di kawasan Asia Timur, posisi dan sikap Amerika terhadap Cina menjadi faktor penting dalam memahami arah perkembangan strategis di kawasan pascapemilu Amerika nanti. Saat ini perkembangan yang ada menunjukkan bahwa elemen rivalitas tampaknya semakin menonjol dalam hubungan kedua negara. Kebijakan "re-balancing" Amerika di bawah pemerintahan Presiden Obama, misalnya, jelas dimaksudkan untuk mempertegas kembali posisi utama Amerika di kawasan Asia-Pasifik, serta mengurangi laju pengaruh Cina di kawasan Asia-Pasifik.
Dengan kata lain, akan terjadi persaingan pengaruh di kawasan Asia Timur. Negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia, akan tetap dihadapkan pada tantangan bagaimana mengelola implikasi dari rivalitas kedua negara besar itu. Bagi Indonesia, terjaminnya otonomi Asia Tenggara dan terjaganya persatuan ASEAN merupakan kepentingan strategis utama yang tidak dapat ditawar. Kita tidak ingin Asia Tenggara kembali menjadi ajang pertarungan pengaruh negara-negara besar, yang pada gilirannya dapat memecah belah ASEAN.
Dalam konteks itu, tugas terbesar yang dihadapi Indonesia dan ASEAN adalah mencegah melebarkan rivalitas kedua negara besar tersebut ke persoalan di Laut Cina Selatan. Selama kampanye pemilu Amerika ini, terlihat juga bahwa salah satu isu yang menarik perhatian Amerika adalah sikap Cina yang semakin asertif dalam mempertahankan klaimnya terhadap Laut Cina Selatan. Meski tidak terlibat dalam sengketa di Laut Cina Selatan, Amerika jelas melihat dirinya sebagai salah satu pemangku kepentingan (stakeholder), terutama dalam hal terjaminnya ketertiban di laut (good order at sea) dan kebebasan navigasi (freedom of navigation).
Bagi Cina, Laut Cina Selatan jelas merupakan wilayah strategis yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Di samping kaya akan gas dan minyak serta kekayaan laut yang melimpah, Laut Cina Selatan memiliki nilai strategis bagi upaya Cina dalam mengembangkan statusnya sebagai negara besar (daguo). Lebih-lebih lagi, alasan politik dalam negeri dan nasionalisme membuat Cina sulit untuk melakukan kompromi atas klaimnya. Jadi, tidak mengherankan kalau Cina berulang kali menegaskan bahwa kedaulatannya atas Laut Cina Selatan adalah "tidak terbantahkan".
Dalam konteks militer pun perbedaan kepentingan strategis antara Amerika dan Cina terlihat dengan jelas. Kebijakan dan strategi pertahanan kedua negara itu bertujuan mewujudkan keunggulan angkatan laut (naval supremacy) dan penguasaan maritim (maritime control). Karena itu, apabila Laut Cina Selatan menjadi wilayah alamiah bagi kepentingan strategis Amerika dan Cina, tidak sulit untuk membayangkan kemungkinan bahwa rivalitas kedua negara tersebut akan melebar ke wilayah Laut Cina Selatan, dengan segala konsekuensinya bagi Indonesia dan ASEAN.
Lihat saja perkembangan beberapa bulan terakhir ini. Sengketa antara Cina dan dua negara ASEAN (Vietnam dan Filipina) di Laut Cina Selatan mulai berdampak terhadap ASEAN. Untuk pertama kalinya dalam 45 tahun, ASEAN gagal mengeluarkan Komunike Bersama dalam pertemuan menteri-menteri luar negeri pada Juli lalu di Phnom Penh, Kamboja. Penyebabnya hanya satu: perbedaan pendapat di antara negara-negara ASEAN mengenai Laut Cina Selatan. Dalam konteks itu, tidak sulit untuk memahami semakin eratnya hubungan Vietnam dan Filipina dengan Amerika.
Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa perpecahan dalam tubuh ASEAN dapat meminggirkan peran ASEAN sebagai manager of regional order di Asia Tenggara. Indonesia kerap mengingatkan mitra-mitranya di ASEAN bahwa tanpa persatuan, sentralitas ASEAN akan menjadi pepesan kosong. Karena itu, Indonesia, melalui diplomasi aktif Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, berusaha menyatukan kembali posisi ASEAN dalam mengelola konflik di Laut Cina Selatan. Disiapkannya "Draf Nol" (Draft Zero) Code of Conduct (CoC) di Laut Cina Selatan oleh Indonesia juga wujud dari kesadaran itu.
Untuk mencegah meluasnya rivalitas Amerika-RRC ke Laut Cina Selatan, Indonesia harus meneruskan diplomasi aktifnya untuk membangun dan menjamin stabilitas di Laut Cina Selatan. Untuk saat sekarang, Indonesia dan ASEAN tak punya pilihan selain mengupayakan adanya kesepakatan sesegera mungkin antara Cina dan ASEAN mengenai CoC di Laut Cina Selatan. Hanya Indonesia yang berada pada posisi untuk meyakinkan semua pihak—termasuk Amerika dan Cina—bahwa stabilitas dan perdamaian di Laut Cina Selatan adalah kepentingan bersama, sebagai prasyarat penting bagi terwujudnya abad ke-21 ini sebagai Abad Asia (Asian Century).
*Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo