Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tak Cukup Alasan, Tak Tepat Waktu

Tahun lalu tarif telepon tidak naik karena protes masyarakat. Kali ini, di tengah kesibukan pemilu, tarif itu naik 28 persen. Padahal kondisi keuangan Telkom sangat sehat.

5 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SULIT benar hidup pada tahun 2004 ini. Dunia bisnis menerapkan jurus wait and see karena pemilu. Ongkos melewati jalan tol naik 20 persen. Berlangganan air minum harus membayar 40 persen lebih mahal. Mau naik kereta api juga harus menyiapkan duit 17 persen lebih dari sebelumnya—itu pun hanya mendapat kelas ekonomi. Bahan bakar elpiji juga sudah lima persen lebih tinggi harganya.

Eh, tarif telepon ikut-ikutan dinaikkan 28 persen mulai pekan ini, justru ketika rakyat sedang getol-getolnya bertelepon menjelang hari pencoblosan pemilu pada 5 April ini. Pasti si Badu yang masuk daftar calon anggota parlemen partai "pepohonan" sedang sibuk merayu sanak saudaranya agar memilihnya. Komisi Pemilihan Umum sedang getol menelepon kantor-kantor KPU di seluruh Indonesia. Mungkin pemakaian telepon meningkat sampai sekitar 30 persen tahun ini. Artinya, PT Telkom, penyedia jasa telepon rumah, akan meraup untung besar.

Jadi, buat apa menaikkan tarif sekarang? Kenaikan besar itu sangat tidak tepat waktu. Benar bahwa kesepakatan untuk menaikkan tarif secara bertahap antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah dan PT Telkom telah dicapai sejak 2002. Tapi kondisi keuangan PT Telkom yang sangat menggembirakan beberapa tahun belakangan ini menunjukkan kenaikan itu tak perlu. Perusahaan yang lama memegang monopoli itu pada tahun 2001 mengantongi laba bersih Rp 4,2 triliun. Angka ini hampir berlipat dua pada tahun 2002. Dan sampai September 2003 yang lalu, Telkom sudah untung Rp 4,3 triliun.

Sangat tidak membuat Telkom "buntung" jika kenaikan tarif ditunda—seperti halnya tahun yang lalu. Apalagi, mengutip data yang dilansir pakar telekomunikasi Roy Suryo, investasi jaringan telepon sekarang ini kian murah. Dulu diperlukan investasi sampai US$ 1.000 per sambungan, sedangkan kini Telkom hanya perlu biaya sambungan US$ 100 sampai US$ 150. Biaya investasi itu kini hanya tinggal 10-15 persen dari yang dulu.

Tapi semua argumentasi ini agaknya percuma. Toh, kenaikan itu sudah terjadi. Dan yang paling banter bisa dilakukan adalah mengimbau agar janji Telkom untuk membangun 1,4 juta sambungan telepon baru bisa dilaksanakan. Itu sangat penting karena keluhan pelanggan yang terpaksa menunggu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun masih kerap terdengar melalui surat pembaca di beberapa media.

Imbauan yang lain adalah agar Telkom juga memperhatikan investasinya. Ternyata tidak semua investasi Telkom mendatangkan untung. Investasi Telkom di Telkomvision, produk layanan hiburan yang hendak menyaingi Kabelvision atau Indovision, diberitakan kurang bagus perkembangannya. Telkom dikabarkan juga banyak menderita dengan investasi di Japati, B2B e-commerce, dan layanan Voice over Internet Protocol (VoIP). Tentu saja semua ini mempengaruhi kondisi kas perusahaan itu—kondisi yang sebenarnya belum perlu ditambali dengan kenaikan tarif. Dan rakyat banyak memang tidak punya cukup daya untuk menolak semua kebijakan di perusahaan yang sudah masuk bursa itu.

Apa boleh buat. Sistem monopoli memang tidak menyediakan posisi tawar yang cukup bagi konsumen untuk bernegosiasi soal tarif. Walaupun Telkom kini punya pesaing—yaitu Indosat dengan Flexi-nya, atau Bukaka yang menjalin kerja sama operasi dengan Telkom di Indonesia timur—persaingan di bisnis telekomunikasi belumlah cukup seimbang untuk melahirkan tarif yang kompetitif bagi konsumen.

Jadi, Telkom diharapkan menghitung benar dampak kenaikan ini bagi rakyat dan pengusaha kecil, misalnya pengusaha warung telekomunikasi. Telkom diharapkan tidak hanya sibuk melihat neraca laba-ruginya, tapi juga melihat kondisi rakyat banyak dalam soal kenaikan tarif telepon ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus