Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IBARAT serial thriller, selalu saja muncul episode menegangkan dan penuh kontroversi dari kasus Gunawan Santosa alias A Cin alias Kevin Martin alias Dustin Bakrie alias Indra Amapta. Terakhir Selasa pekan lalu, ketika terdakwa pembunuh Boedyharto Angsono, Direktur Utama PT Aneka Sakti Bakti (Asaba), ini diangkut dari Rumah Tahanan Salemba ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara, untuk menghadiri sidang perkara.
Syahdan, di sekitar Galur, Jakarta Pusat, Gunawan "keluar" dari mobil, terempas di jalan aspal, semaput, dibawa ke klinik oleh orang-orang di pinggir jalan, tertembak, ditangkap oleh seorang polisi yang bertugas di sekitar situ, dibawa ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, dioperasi, dan seterusnya…. Dari sini kemudian berkembang berbagai versi.
Polisi sudah menetapkan dua petugas dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara sebagai tersangka, sesuatu yang dianggap terlalu dini oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung. Persoalannya mungkin bukan pada dini atau tidak dininya penetapan tersangka. Dengan sedikit akal sehat, usaha kabur Gunawan Santosa tak terlalu sulit dirunut dari kronologinya.
Mobil tahanan pada hakikatnya adalah "rumah tahanan berjalan", dengan seperangkat prosedur dan fasilitas pengamanan. Itu sebabnya tempat tahanan dan tempat petugas pengawalan dipisahkan, seperti halnya di rumah tahanan para petugas tidak ditempatkan dalam satu sel dengan tahanan. Dari berbagai versi yang kita dengar, Gunawan dan pengawalnya ditempatkan bersama di satu ruangan di dalam mobil. Siapa yang mengambil keputusan ini?
Di dalam mobil, Gunawan ternyata mengantongi sepucuk pistol, dua borgol, satu telepon seluler, dan uang lebih dari Rp 30 juta. Padahal, sebelum naik ke mobil, Gunawan harus melewati lima gerbang pemeriksaan untuk akhirnya dinyatakan "steril". Siapa saja yang melakukan pemeriksaan di setiap gerbang itu? Menurut satu versi, perjalanan mobil juga tidak menempuh rute yang lazim, yaitu dari Penjara Salemba-Rawasari langsung masuk jalan tol, tetapi lewat jalan kampung. Kalau versi ini benar, siapa yang berhak mengubah rute itu?
Gunawan sendiri bukan terdakwa biasa. Polisi pernah menempatkan sarjana teknik elektro lulusan Houston University, Amerika Serikat, ini sebagai ancaman serius. TNI Angkatan Laut pernah menempatkan dia dalam daftar orang paling dicari. Untuk membekuknya, pada 11 September tahun lalu polisi menurunkan lima tim sekaligus. Orang ini pernah lolos dari Lembaga Pemasyarakatan Kuningan, Jawa Barat, sebelum dituduh terlibat pembunuhan atas mertuanya dan seorang prajurit Kopassus, 19 Juli tahun lalu. Pada 11 Februari lalu, jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengancamnya dengan hukuman mati.
Artinya, terhadap Gunawan seyogianya diberlakukan sistem maximum security. Kenyataan bahwa Gunawan berhasil memborgol pengawalnya tentu tak bisa dianggap sebagai lelucon, melainkan lemahnya sistem pengamanan. Apalagi, bisa dipastikan, Gunawan tidak bekerja sendirian. Memasok pistol dan borgol (lupakan dulu uang dan telepon seluler itu) untuk seorang terdakwa penghuni rumah tahanan bukanlah pekerjaan main-main.
Jika semua pertanyaan dan teka-teki ini dibiarkan telantar, tidak ditelusuri sampai tuntas, akan makin banyak saja misteri di sekitar kita. Belum lagi misteri di sekitar putusan hukum yang terlalu sering menyinggung rasa keadilan bukan saja publik, melainkan juga para pekerja hukum sendiri yang masih bersih dan mengutamakan hati nurani serta dalil yang lurus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo