Pemilu 2004 beda. Slogan ini ternyata tak hanya menyangkut cara pemilihan dan siapa yang dipilih, tapi juga menyangkut partisipasi masyarakat. Karena semuanya diatur dari pusat, masyarakat punya alasan untuk tidak berpartisipasi dalam urusan logistik pemilu. Padahal, pada pemilu-pemilu sebelumnya, sebagian besar kebutuhan di tempat pemungutan suara (TPS) datang dari urunan masyarakat. Bahkan kemeriahan hari pencoblosan itu dibuat bersuasana pesta rakyat sebagaimana halnya pemilihan lurah atau kepala desa.
Sekarang betul-betul berbeda. Kotak suara dibuat dan dikirim oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat. Bilik suara juga begitu. Surat suara, bantal pencoblosan, paku, dan semua perlengkapan lainnya termasuk dalam paket dari pusat. Bahkan tempat pencoblosan disarankan oleh KPU memakai gedung sekolah dan, karena itu, ada kerja sama antara KPU dan Departemen Pendidikan Nasional untuk "meminjam" ruang sekolah.
Lalu apa yang terjadi di lapangan? Banyak warga yang patuh pada ketentuan itu. Celakanya, kepatuhan ini berarti meminimalkan partisipasi masyarakat. Mereka tak mau tahu bagaimana sulitnya panitia pemungutan suara membuat TPS, sementara anggaran yang didrop dari pusat hanya sekitar Rp 200 ribu. Masyarakat praktis hanya datang untuk mencoblos. Padahal ada rangkaian pemilu yang memakan waktu sampai sore hari, mungkin pula sampai malam, yakni penghitungan suara yang sedemikian rumit.
Pada pemilu sebelumnya, masyarakat sangat aktif membantu panitia pemungutan suara. Masyarakat bersedia urunan untuk menyewa tenda, kursi, bahkan makanan kecil untuk petugas. Bilik pencobosan pun dibuat sendiri oleh masyarakat dengan kain gorden. Penghitungan suara ditunggui banyak orang dan sesekali ada tepuk tangan ketika kertas suara dibuka dan partai apa yang dicoblos diumumkan. Semuanya dengan kegirangan, tak ada wajah kusam, tak ada yang kalah dan tak ada yang menang.
Memang, di beberapa tempat, suasana seperti ini mungkin masih ada. Namun, berdasarkan pemantauan beberapa hari sebelum pencoblosan, keengganan masyarakat untuk urunan ini besar sekali. Barangkali inilah kelemahan Pemilu 2004, ketika KPU begitu dominan menentukan segalanya, bahkan tanpa mempertimbangkan situasi di lapangan. Misalnya soal bilik suara. Ternyata sebagian besar bilik suara yang didrop KPU itu tidak dipakai di Bali. Alasannya tidak bisa menjaga kerahasiaan memilih. Lebar kertas suara tak sesuai dengan bilik suara dan, saat pemilih mencoblos di bilik suara, wajahnya dilihat oleh semua yang ada. Karena itu, bilik suara di Bali disimpan dan diganti dengan tempat pencoblosan seperti pada pemilu sebelumnya, bilik tertutup dari anyaman bambu dengan pintu kain gorden. Dengan cara inilah masyarakat merasa punya kebebasan memilih. Masih untung pemerintah daerah mengucurkan dana ratusan juta rupiah.
Ada baiknya pelaksanaan pemilu dikembalikan menjadi pesta demokrasi ala rakyat. Apa yang bisa disumbangkan oleh masyarakat diakomodasi. Tentu saja ini dimulai dengan memilih panitia pemungutan suara yang melibatkan komponen masyarakat paling bawah, semisal rukun tetangga dan rukun warga. Sekarang terlalu formal. Panitia pemungutan suara ditunjuk pusat dengan honor yang sudah ditentukan besarnya. Warga pun jadi cuek, dengan dalih semua petugas pemilu sudah dibayar sehingga untuk apa lagi dibantu. Padahal honor petugas itu pun tidak seberapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini