Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.
Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru di tepi langit.
Pasir rata berulang di kecup,
tebing curam ditentang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.
Sejak itu jiwa gelisah
selalu berjuang tiada reda.
Ketenagan lama serasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.
Tampak, Takdir Alisjahbana dalam sajak itu ingin menunjukkan optimisme bersama. Ia berbicara atas nama “kami”. Ia menyuarakan lagu gembira orang yang berangkat, meninggalkan kehidupan yang tenteram tapi mandek (“tasik yang tenang tiada beriak”). Sebab terus-menerus hidup dalam proteksi “gunung yang rimbun” bukanlah pilihan yang baik.
Dalam hal ini, Takdir adalah bagian dari gairah Pencerahan, Aufklärung. Kita ingat ini semangat yang di Eropa digambarkan Kant sebagai lepasnya manusia dari posisi tak mandiri, Unmündigkeit. Manusia pintar tapi tak berani berpikir sendiri. Maka Kant pun berseru: “Beranilah, Sapere aude!”
Takdir kurang-lebih menyerukan hal yang sama, meskipun saya kira ia belum membaca sendiri esai Kant dari tahun 1784 itu. Sapere aude! jadi moto yang, meskipun tak dipungut Takdir, telah menggerakkannya jadi suara modernitas yang yakin.
Di Indonesia dalam dasawarsa 1930-an (di bawah rezim Hindia Belanda), “Pencerahan” adalah semangat untuk apa yang oleh Takdir disebut sebagai reconstructie arbeid, kerja untuk kemajuan bangsa.
Di sini ada paradoks dalam kolonialisme di Indonesia: penjajahan tak mematikan pengharapan, bahkan jadi ajang penggladian optimisme. Mungkin ini karena dalam kebangkitan nasional kita ada pengaruh Marxisme yang memprediksi runtuhnya kapitalisme dan imperialisme. Prediksi itu, meskipun kemudian tak terbukti, memberi alasan kepada para aktivis pergerakan nasional untuk bergerak terus. Mungkin juga optimisme itu punya sumber yang lebih dalam: sebenarnya yang disebut masa penjajahan, sejak hadirnya Belanda di Banda Neira sampai dengan Aceh, adalah juga masa perlawanan. Sang penjajah terus-menerus guyah.
Optimisme dalam berpikir dan bertindak itulah yang membuat Takdir, seperti tokoh-tokoh pergerakan nasional, berani, penuh cita-cita, tapi—dan ini sebuah paradoks lain—sebenarnya terjebak. Takdir meyakini masa depan. Masa depan membentuk seluruh perspektifnya. Ia menumbuhkan “prasangka” tersendiri—yang oleh Gadamer disebut sebagai “prasangka Pencerahan”. “Prasangka” ini menghalanginya melihat jalan “kemajuan“ sebagai sesuatu yang sebenarnya tak bersih dan tak lurus.
Dalam sajak di atas, imaji Takdir tentang laut adalah samudra yang dinamis—sebuah alegori zaman baru: “ombak ria berkejar-kejaran”, menantang “tebing curam”. Tapi bila kita dengarkan saksama, bait itu tak sedikit pun memantulkan suara guncangan, kegaduhan, atau keributan. Ada enam baris yang teratur—pengulangan sepuluh suku kata—dan tak ada ungkapan yang mengejutkan. Pendek kata, stanza ini mengumandangkan keteraturan, dengan alun yang mudah ditebak—sebuah proses dalam kepastian. Di ujung sana, akan ada “pasir rata” yang bisa “dikecup”.
Bahkan jika dalam mengarungi lautan modernitas itu ada yang terjerembap, tetap tak ada kemelut, tak ada kegetiran. Semua merdu dan rapi:
Gemuruh berderau kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya.
Gagap gempita suara mengerang,
dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pekik dan tempik sambut menyambut
Dalam pertengahan dasawarsa 1930-an itu, Takdir dan generasinya tentu belum bertemu dengan gambaran muram Mazhab Frankfurt dan disilusi Adorno dan Horkheimer kepada ilmu, modal, teknologi—hal-hal yang dipujikan Pencerahan yang ternyata akhirnya hanya sebuah perbudakan baru. Takdir tak akan menyangka, di ujung perjalanannya ia akan menemui yang kemudian digambarkan Adorno sebagai hidup yang cedera, beschädigtes Leben. Hubungan ilmu dan teknologi dengan dunia ternyata sama dengan hubungan sang diktator dengan umat manusia. Manusia ditelaah, jadi obyek ilmu, kemudian dimanipulasi.
Pesimisme seperti itu tentu tak diterima Takdir masa itu. Juga tak sesuai lagi dengan zaman ini. Problem manusia dengan ilmu dan mesin masih gawat dari saat ke saat. Tapi agaknya kita masih perlu “menuju ke laut”, meninggalkan perlindungan yang memberi rasa aman. Rasa aman itu tak akan bertahan. Perubahan terjadi tiap saat, dengan lekas. Maka mengarungi laut yang tak bisa diduga masih niscaya. Sapere aude. Beranilah mandiri, terutama dalam berpikir dan memutuskan. Tasik yang tenang itu bisa hanya sebuah jebakan.
Dan pada saat yang sama, kita, di masa ini, perlu juga menguak Takdir—jika Takdir berarti keserbapastian.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo