Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minyak adalah primadona selama dua tahun terakhir. Di pasar dunia, harga minyak mentah cenderung terus naik. Harga minyak mentah ringan (light sweet crude) di pasar New York melampaui harga US$ 50 per barel pada pertengahan tahun lalu. Hingga tiga bulan pertama tahun ini, harga minyak mentah ringan tak juga turun hingga di bawah US$ 50 per barel. Jenis harga minyak lain pun, seperti minyak mentah dari Indonesia (Indonesian crude petroleum) ikut melambung.
Lonjakan harga minyak yang terjadi sekarang ini memang belum setinggi kenaikan tiga dekade silam. Namun, tetap saja kenaikan harga minyak ikut melambungkan nilai perusahaan-perusahaan minyak. Para raksasa minyak asal Amerika mencatat kenaikan harga saham yang pesat sepanjang tahun lalu. Indeks Standard and Poor's yang merangkum harga 29 saham perusahaan energi naik 45 persen. Saham ExxonMobil, perusahaan minyak terbuka terbesar di dunia, juga mencatat rekor kenaikan dalam besaran yang sama.
Di dalam negeri, situasi bak bumi dengan langit. Tanah Indonesia memang masih menyemburkan emas hitam, sayangnya volume minyak yang terpompa dari perut Ibu Pertiwi terus menyusut. Jika tujuh tahun silam Indonesia masih mampu memompa 1,4 juta barel minyak mentah per hari, sejak awal 2004 produksi minyak sudah di bawah satu juta barel per hari. Artinya, kondisi itu tak berbeda jauh dengan 1971, kala minyak dan gas masih berstatus industri bayi di Indonesia.
Nasib Pertamina sebagai perusahaan minyak dan gas semata wayang yang dimiliki negara juga sama kusamnya dengan potret industri minyak dan gas domestik. Pertamina ibarat raksasa yang tengah sakit keras. Untuk menjaga likuiditas pun Pertamina terengah-engah. "Pertamina sudah tidak mampu hidup di atas kaki sendiri," ujar Direktur Keuangan Pertamina Alfred Rohimone.
Dua pekan lalu, Pertamina dikabarkan tak bisa membuka fasilitas kredit perdagangan luar negeri (letter of credit, L/C) untuk mengimpor minyak mentah. Pertamina sebagai perusahaan pelat merah memang masih memanggul kewajiban untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Tugas itu sering disebut dengan istilah public service obligation (PSO).
Untuk memenuhi kebutuhan BBM di pasar dalam negeri, Pertamina harus menyiapkan tak kurang dari US$ 300 juta (Rp 2,8 triliun, dengan kurs Rp 9.400 per dolar AS) per bulan. Pendanaan impor yang digunakan Pertamina berupa fasilitas L/C dari lima bank nasional dan empat bank asing. Sialnya, beberapa pekan lalu, batas tertinggi penggunaan surat kredit itu sudah habis terpakai. Pagu kredit bersih US$ 1,38 miliar habis tak tersisa. Hal ini dikarenakan Pertamina terlambat mencicil atas fasilitas yang telah mereka pakai.
Untuk memenuhi kebutuhan BBM pada bulan ini saja, misalnya, Pertamina terpaksa menggunakan fasilitas melebihi pagu yang ditetapkan (overdraft) sekitar US$ 248,6 juta. Oleh karenanya, Pertamina sempat terancam tak dapat mengimpor BBM untuk kebutuhan April karena tak bisa memperoleh talangan dana sebesar US$ 800 juta.
Ongkos untuk mengimpor BBM tadi oleh Pertamina sebenarnya akan diganti pemerintah. Hanya saja metode penggantian itu tidaklah sederhana. Berapa persentase penggantian ataupun waktu penyetoran uang diatur secara khusus dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 301 Tahun 2004.
Krisis uang tunai yang membelit Pertamina untuk sementara memang telah diselesaikan berkat campur tangan sejumlah pejabat tinggi. Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Mulia Nasution dua pekan lalu memastikan pemerintah telah menyetor pengganti talangan pembelian BBM ke rekening Pertamina sebesar Rp 4,1 triliun. "Kami mau menyelesaikan masalah ini agar tak mengganggu stok BBM dalam negeri," ujar Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie.
Krisis likuiditas semacam ini diperkirakan masih akan terus berulang. "Biang keroknya adalah UU Minyak dan Gas yang berlaku pada 2001," ujar pengamat energi, Kurtubi tanpa ragu. Ia mengatakan, sejak UU itu diberlakukan, Pertamina kerap tersandung masalah likuiditas.
Kurtubi menyebut dua aturan dalam UU Migas yang menyebabkan langkah Pertamina tertatih-tatih seperti sekarang. Dalam UU Migas yang baru, Pertamina tak lagi membawahi kontraktor produksi bagi hasil atau kontrak production sharing (KPS). Dengan begitu, Pertamina tak lagi berhak memungut retensi pemasaran dari KPS yang beroperasi di Indonesia. Padahal nilai pungutan itu sendiri cukup besar, berkisar Rp 6-7 triliun.
Dan hasil pungutan retensi itulah yang menebalkan bumper Pertaminaselama ini. Tak mengherankan jika sebelum 2001 jarang terdengar bahwa Pertamina mengalami kesulitan mengimpor minyak mentah. "Karena ada uang yang bisa dipakai untuk menalangi," ujar Kurtubi. Dengan posisi sebagai pengawas KPS, Pertamina juga memperoleh kontrol atas minyak mentah yang diproduksi. Jika stok minyak mentah di dalam negeri menipis, Pertamina bisa meminta pemegang KPS menyetor minyak yang disedotnya ke kilang Pertamina.
Setelah kekuasaan itu hilang, berarti volume minyak mentah yang harus diimpor oleh Pertamina membesar dan, tentu, duit yang disediakan harus lebih banyak. "Kalau pemerintah mau Pertamina tetap hidup dan menjalankan fungsi PSO, seharusnya kontrol atas KPS dikembalikan ke pemerintah," Kurtubi menyimpulkan.
Pemerintah sendiri tidak menutup mata terhadap kesulitan yang menghadang Pertamina akibat pemberlakuan UU Migas. Tahun lalu, Departemen Keuangan merumuskan aturan pembayaran impor BBM yang baru. Tujuannya, apalagi kalau bukan mengencerkan likuiditas Pertamina.
Dalam aturan baru itu, Pertamina berhak mengajukan kuitansi pembelian minyak mentah ke pemerintah setiap tanggal 10. Tagihan itu akan dilunasi oleh pemerintah dalam waktu sepekan. Disepakati juga bahwa pemerintah akan menyetor 95 persen dari nilai impor jika harga minyak mentah berada di atas US$ 33 per barel. Jika berada di bawah harga itu, maka yang dibayarkan hanya 90 persen dari realisasi impor.
Saat ini, kegiatan PSO bisa dibilang "bisnis" utama Pertamina. Sekitar 70 hingga 80 persen dari sumber daya Pertamina tersedot untuk hajatan impor BBM. Yang ironis, Pertamina tak bisa mengeduk margin sesen pun dari kegiatan utamanya. "Kalau dibiarkan terus, ini bisa mematikan Pertamina," ujar Kurtubi.
Di luar PSO, Pertamina memang masih memiliki sederet bisnis yang dilakukan secara langsung ataupun melalui belasan anak perusahaan. Bisnis Pertamina di bidang minyak dan gas lazim dikelompokkan menjadi hulu dan hilir. Bisnis hulu berhubungan dengan kegiatan penambangan, sementara bisnis hilir lebih terkait dengan distribusi dan perdagangan BBM.
Di samping bisnis migas, Pertamina juga cawe-cawe di bisnis yang tak terkait migas, seperti rumah sakit, hotel, ataupun penerbangan. Tak kurang dari 15 perusahaan berinduk ke Pertamina. Sayangnya, tak semua anak perusahaan itu memberi kontribusi keuntungan ke sang induk. Sebagian anak perusahaan Pertamina malah membebani langkah Pertamina.
Pada awal tahun lalu, para petinggi Pertamina mengkaji ulang anak perusahaan mana saja yang perlu disapih. Kriteria pertama yang dipakai untuk menentukan mana yang akan dipertahankan adalah kaitan bisnis sang anak perusahaan dengan Pertamina. Anak perusahaan yang memiliki bisnis di luar minyak dan gas akan dimerger atau dijual.
Dari 15 anak perusahaan itu, tujuh di antaranya tidak terkait dengan bisnis Pertamina, di antaranya PT Pertamina Saving & Investment (layanan jasa keuangan), PT Pelita Air Service (penerbangan), dan PT Patra Jasa (hotel dan properti). Delapan anak perusahaan lain yang terkait dengan bisnis Pertamina akan dipertahankan. Yang tergolong dalam kelompok ini antara lain PT Elnusa dan PT Pertamina Tongkang.
Margin yang diperoleh menjadi parameter kedua bagi Pertamina untuk menentukan nasib sang anak. Tingkat kembalian modal (ROE) yang sehat menjadi persyaratan utama hidup-mati sang anak perusahaan. Sebenarnya, tanpa dibebani oleh anak perusahaan pun, Pertamina sudah terengah-engah. Di sektor hulu, minyak mentah yang dihasilkan Pertamina hanya sepersepuluh dari produksi minyak Indonesia.
Para petinggi Pertamina sendiri berulang kali mendengungkan target untuk menggenjot produksi. "Kami menginstruksikan peningkatan teknologi dalam pencarian minyak di tujuh daerah operasi Pertamina," kata Direktur Utama Pertamina Widya Purnama. Tahun lalu, Widya mengatakan, produksi minyak dan gas Pertamina mencapai lebih dari 133 ribu barel per hari. Tahun ini, target produksi dikerek menjadi lebih dari 142 ribu barel per hari.
Pertamina memang memiliki potensi untuk menggeber kembali pompa minyak dan gasnya. Para ahli geologi percaya bahwa Indonesia masih memiliki potensi cadangan minyak terbukti sebanyak 4,7 miliar barel dan cadangan potensial 4 miliar barel, sedangkan cadangan gasnya terbukti mencapai 90 juta triliun kaki kubik. Namun, besarnya cadangan tak berarti Pertamina bisa menggarapnya. "Kami tidak punya dana," ujar Alfred.
Sialnya, di saat Pertamina cekak, Indonesia dijauhi oleh para investor. Produk hukum yang tak jelas, seperti peraturan daerah yang tumpang tindih dengan peraturan pemerintah pusat ataupun peraturan pajak yang kelewat mencekik, kerap disebut sebagai pemicu keengganan investor masuk ke Indonesia.
Di sektor hilir, prestasi Pertamina juga jauh dari mengkilap. Kegiatan PSO, yang akan berakhir pada November 2005, malah kerap menguras kocek Pertamina. Untuk membiayai impor BBM, tak jarang Pertamina harus nombok. Pada kegiatan PSO, Pertamina tak bisa seenaknya memetik margin, sementara uang untuk mengimpor kerap diambil dari bank sehingga terkena biaya bunga. "Dengan fee 20 sen, yang totalnya hanya Rp 2 triliun, mana bisa kita menalangi subsidi hingga di atas Rp 80 triliun," ujar Alfred.
Sumber Tempo di Departemen Keuangan membantah anggapan bahwa tugas mengimpor BBM menyulitkan likuiditas Pertamina, karena pemerintah melunasi dana talangan yang dikeluarkan Pertamina. "Justru manajemen arus kas yang harus dipertanyakan," kata sumber tersebut. "Keuangan Pertamina seharusnya dipegang oleh mereka yang memahami dunia perminyakan."
Bisa jadi tudingan balik itu ada benarnya. Impor yang dilakukan oleh Pertamina kerap kali membuat dahi berkerut. Ambil contoh proses tender minyak mentah impor untuk kebutuhan April 2005. Dalam transaksi itu, ada laporan hasil pemeriksaan Satuan Pengawas Internal Pertamina yang menyebutkan perusahaan berlogo kuda laut itu terancam rugi Rp 9,18 miliar per bulan karena mengimpor minyak dengan harga lebih tinggi.
Pertamina yang pernah menjadi embrio dari konglomerasi di Indonesia kini tengah memasuki masa sulit. Untuk menjalankan tugas sebagai pemasok BBM pun, Alfred melontarkan pernyataan pesimistis. "Tanpa suntikan dana segar dalam waktu dekat, kami hanya mampu bertahan hingga akhir April," ujar Alfred.
Penyelesaian yang dimaksud adalah piutang sebesar Rp 20,2 triliun yang masih belum dibayar pemerintah. Andai pun itu dilunasi, Pertamina sebenarnya masih memiliki kewajiban. Hingga akhir April kemarin, Pertamina memiliki tunggakan Rp 23 triliun ke pemerintah dan swasta.
Thomas Hadiwinata, Dara Meutia Uning, Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo