DALAM cerita ini, hari amat panas. Pasir dan kersik seperti
titik-titik api yang diperam, tapi membara. Tapi seorang
perempuan terhuyung-huyung keluar dari kedai di sudut sana.
Ada sisa kecantikan dalam wajahnya -- meskipun paras itu jadi
keras oleh bekas-bekas alat bersolek. Umurnya sekitar 30 tahun.
Tubuhnya tak lagi bagus, tapi lebih dari itu, nampak capek.
Hanya dandanannya yang menyolok. Mungkin namanya Maria
Magdalena. Tapi dalam cerita ini, lebih baiklah kita tak
menggunakan nama apa pun, karena kisahnya tak persis sama. Yang
jelas: ia pelacur, yang terusir.
Orang-orang di kedai itu memandangnya dengan rasa terganggu. Si
pemilik warung pun berseru: "Pergilah kau dari sini!" Lalu
gumamnya (meskipun terdengar cukup keras): "Kedai ini tempat
orang baik-baik."
Perempuan itu menjawab, karena tersinggung, bahwa dia pun orang
baik-baik. Dalam arti, dalam urusan jual-beli di kedai itu, ia
sama dengan yang lain-lain. Yakni: punya kemauan dan kemampuan
membayar. Tapi bantahannya justru membikin tambah berang para
tamu yang lain.
"Bagaimana engkau dapat menyamakan diri dengan kami?" teriak
seorang, yang tambun badannya, dan duduk di utara meja.
"Bagaimana, he?"
Baiklah pertanyaan keras itu disingkat saja, karena toh pembaca
sudah tahu. Pendeknya perempuan lacur itu diusir. Dan
demikianlah ia terhuyung-huyung. Ia marah, tapi ia hanya bisa
menangis, dan menggerutu.
Mendengar gerutunya (yang tentu saja disertai sedikit kata-kata
kotor, karena begitulah kelaziman lidahnya), orang-orang di
kedai itu mendidih darahnya. Atau begitulah nampaknya. Mereka
menghambur keluar. Sikap mereka yang ganas itu menyebabkan
perempuan itu lari. Dan karena ia lari, orang-orang dari kedai
itu pun mengejarnya.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, perempuan itu
terjebak di sebuah gang buntu. Karena merasa tak berdaya, ia
terhenyak di tembok yang telah retak-retak itu. Dipandanginya
para pengejarnya dengan mata terancam teror. Orang-orang itu
makin gemas dan seorang sudah memungut sebuah batu "Lempari saja
dia! Rajam!"
Tapi dalam cerita ini (yang terus-terang saja tidak orisinal),
sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakang kerumunan orang
itu. "Berhentilah tuan-tuan! Jangan diteruskan!" Suara itu
begitu berwibawa, meskipun diucapkan dengan halus. Dan ketika
orang-orang itu menoleh, mereka melihat sebuah wajah yang seolah
memancarkan ribuan gelombang magnetis. Mereka kemekmek.
"Apa maksud tuan?" seorang dari kerumunan itu bertanya perlahan.
"Maksud saya, berhentilah tuan-tuan. Jangan hendaknya bertindak
aniaya."
"Tapi perempuan itu perempuan berdosa. "
"Berdosa? Hanya itukah sebabnya? Siapakah di antara yang di sini
yang tidak berdosa sama sekali?", sahut laki-laki itu -- dengan
gelombang magnetisnya.
Dalam cerita ini, disebutlah bahwa orang-orang itu pun jadi
runduk, malu. Akhirnya bubaran. Dan perempuan lacur itu selamat.
Sungguh luar biasa, bukan laki-laki yang membubarkan kerumunan
itu? Karena itulah, kita mencoba mengadakan sebuah wawancara
singkat dengan dia. Hasilnya:
Tanya: "Apakah maksud tuan dengan tindakan tuan di gang buntu
itu? Menunjukkan, bahwa tak seorang pun, apalagi dalam hidup
seperti ini, yang berhak merasa lebih suci dari yang lain,
hingga ia boleh menghukum yang lain itu?"
Jawab: "Begitulah agaknya."
Tanya: "Tidakkah itu berarti tuan juga menyatakan, bahwa karena
semua kita kotor, maka kita tak berhak mencaci kekotoran?
Bukankah dengan demikian kekotoran akan bersimaharajalela?"
Jawab: "Tidak. Ada sesuatu yang lebih kuat daripada kekotoran."
Tanya: "Tapi tidakkah ini karena tuan tadi melihat seorang
wanita yang lemah, dikeroyok dan tak berdaya? Bagaimana
sekiranya kerumunan orang itu melawan kekotoran dalam tubuh yang
sungguh-sungguh kllat dan dahsyat?"
Jawab: "Yang kuat ialah yang bersih hatinya. Tapi tentu saja ini
masalah moral pribadi. Saya tak berbicara tentang kekotoran
serta akibat-akibatnya bagi kehidupan sosial-palitik. Namun
apakah artinya hidup tanpa moral pribadi?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini