Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tanpa moral, hidup tak berarti

Hidup tanpa moral pribadi tak ada artinya. orang yang kuat adalah yang bersih hatinya. memang dalam hidup seperti ini tak seorang pun yang berhak merasa lebih suci dari orang lain.

28 Juni 1980 | 00.00 WIB

Tanpa moral, hidup tak berarti
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DALAM cerita ini, hari amat panas. Pasir dan kersik seperti titik-titik api yang diperam, tapi membara. Tapi seorang perempuan terhuyung-huyung keluar dari kedai di sudut sana. Ada sisa kecantikan dalam wajahnya -- meskipun paras itu jadi keras oleh bekas-bekas alat bersolek. Umurnya sekitar 30 tahun. Tubuhnya tak lagi bagus, tapi lebih dari itu, nampak capek. Hanya dandanannya yang menyolok. Mungkin namanya Maria Magdalena. Tapi dalam cerita ini, lebih baiklah kita tak menggunakan nama apa pun, karena kisahnya tak persis sama. Yang jelas: ia pelacur, yang terusir. Orang-orang di kedai itu memandangnya dengan rasa terganggu. Si pemilik warung pun berseru: "Pergilah kau dari sini!" Lalu gumamnya (meskipun terdengar cukup keras): "Kedai ini tempat orang baik-baik." Perempuan itu menjawab, karena tersinggung, bahwa dia pun orang baik-baik. Dalam arti, dalam urusan jual-beli di kedai itu, ia sama dengan yang lain-lain. Yakni: punya kemauan dan kemampuan membayar. Tapi bantahannya justru membikin tambah berang para tamu yang lain. "Bagaimana engkau dapat menyamakan diri dengan kami?" teriak seorang, yang tambun badannya, dan duduk di utara meja. "Bagaimana, he?" Baiklah pertanyaan keras itu disingkat saja, karena toh pembaca sudah tahu. Pendeknya perempuan lacur itu diusir. Dan demikianlah ia terhuyung-huyung. Ia marah, tapi ia hanya bisa menangis, dan menggerutu. Mendengar gerutunya (yang tentu saja disertai sedikit kata-kata kotor, karena begitulah kelaziman lidahnya), orang-orang di kedai itu mendidih darahnya. Atau begitulah nampaknya. Mereka menghambur keluar. Sikap mereka yang ganas itu menyebabkan perempuan itu lari. Dan karena ia lari, orang-orang dari kedai itu pun mengejarnya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, perempuan itu terjebak di sebuah gang buntu. Karena merasa tak berdaya, ia terhenyak di tembok yang telah retak-retak itu. Dipandanginya para pengejarnya dengan mata terancam teror. Orang-orang itu makin gemas dan seorang sudah memungut sebuah batu "Lempari saja dia! Rajam!" Tapi dalam cerita ini (yang terus-terang saja tidak orisinal), sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakang kerumunan orang itu. "Berhentilah tuan-tuan! Jangan diteruskan!" Suara itu begitu berwibawa, meskipun diucapkan dengan halus. Dan ketika orang-orang itu menoleh, mereka melihat sebuah wajah yang seolah memancarkan ribuan gelombang magnetis. Mereka kemekmek. "Apa maksud tuan?" seorang dari kerumunan itu bertanya perlahan. "Maksud saya, berhentilah tuan-tuan. Jangan hendaknya bertindak aniaya." "Tapi perempuan itu perempuan berdosa. " "Berdosa? Hanya itukah sebabnya? Siapakah di antara yang di sini yang tidak berdosa sama sekali?", sahut laki-laki itu -- dengan gelombang magnetisnya. Dalam cerita ini, disebutlah bahwa orang-orang itu pun jadi runduk, malu. Akhirnya bubaran. Dan perempuan lacur itu selamat. Sungguh luar biasa, bukan laki-laki yang membubarkan kerumunan itu? Karena itulah, kita mencoba mengadakan sebuah wawancara singkat dengan dia. Hasilnya: Tanya: "Apakah maksud tuan dengan tindakan tuan di gang buntu itu? Menunjukkan, bahwa tak seorang pun, apalagi dalam hidup seperti ini, yang berhak merasa lebih suci dari yang lain, hingga ia boleh menghukum yang lain itu?" Jawab: "Begitulah agaknya." Tanya: "Tidakkah itu berarti tuan juga menyatakan, bahwa karena semua kita kotor, maka kita tak berhak mencaci kekotoran? Bukankah dengan demikian kekotoran akan bersimaharajalela?" Jawab: "Tidak. Ada sesuatu yang lebih kuat daripada kekotoran." Tanya: "Tapi tidakkah ini karena tuan tadi melihat seorang wanita yang lemah, dikeroyok dan tak berdaya? Bagaimana sekiranya kerumunan orang itu melawan kekotoran dalam tubuh yang sungguh-sungguh kllat dan dahsyat?" Jawab: "Yang kuat ialah yang bersih hatinya. Tapi tentu saja ini masalah moral pribadi. Saya tak berbicara tentang kekotoran serta akibat-akibatnya bagi kehidupan sosial-palitik. Namun apakah artinya hidup tanpa moral pribadi?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus