Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko Endarmoko
Pemerhati bahasa dari kalangan kolot sering bersikukuh pada tata aturan yang kaku. Ia cenderung bergerak antara dua kutub betul-salah, seakan-akan bahasa adalah sebentuk soal pilihan ganda pada ujian anak sekolah yang tak dapat ditawar—maka ia jadi tertutup, normatif. Sepadan dengan wataknya, tata bahasa tradisional yang mereka anut itu kentara sekali mencerminkan cara berpikir deduktif, kurang memperlihatkan keinginan menerima bentuk-bentuk bahasa di luar aturan yang sudah ada. Padahal, seperti nanti akan kita lihat, tidak semua gejala kebahasaan dapat dirumuskan ke dalam kaidah yang disertai ukuran-ukuran betul-salah.
Persis berseberangan dengan kaum kolot tersebut, penutur bahasa Indonesia kini tampaknya lebih suka menepikan atau mengebelakangkan atau menjungkirkan aturan kebahasaan yang mereka anggap serupa hantu itu. Contoh paling baik: novel remaja. Barangkali bagi mereka aturan bahasa tak penting, malah bisa-bisa mengekang kelancaran proses menulis. Mungkin sekali mereka beranggapan bahwa yang lebih penting adalah apa yang ingin mereka utarakan dan kalangan pembaca kira-kira dapat mengerti. Entahlah. Tapi kita tahu, di dalam berbahasa ada batas absolut yang tidak boleh diabaikan.
Mari kita lihat beberapa contoh kaidah dasar dalam soal menuliskan kata yang paling kerap dilanggar. Kata tanda tangan dan tanggung jawab mestilah ditulis terpisah, juga bila mendapat awalan atau akhiran: bertanda tangan, tanda tanganilah; bertanggung jawab, tanggung jawabnya. Tapi, jika diapit awalan dan akhiran, kata-kata itu harus ditulis bersambung: penandatanganan; pertanggungjawaban. Di sisi lain, kata depan mestilah ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, termasuk apabila disertai akhiran: di kantor, di sakunya; ke sana-ke mari, ke luar, ke dalamnya. Tapi, awalan tidak bisa tidak harus ditulis bersambung: dimengerti, dikontrakkan; kemarikan.
Mengapa ditulis ke mari, bukan kemari? Sebab, dalam dialek Jakarta ada bentuk di mari yang menyiratkan bahwa mari merujuk pada tempat, setara dengan sini. Mengapa ditulis ke luar, bukan keluar? Sebab, di situ saya tengah berbicara tentang kata depan ke, sedang bentuk keluar adalah kata kerja. Bandingkan dua kalimat ini: (1) Ia sedang ke luar kota; (2) Marsinah sangat takut sampai keluar keringat dinginnya.
Contoh-contoh di atas adalah praktik berbahasa yang terikat pada norma baku, tapi penyimpangan terhadapnya sering benar kita temukan dalam semua jenis bacaan. Di sinilah kita dapat berbicara tentang betul atau salahnya suatu penggunaan bahasa. Dengan kata lain, pelanggaran terhadap norma itu tidak dapat ditenggang. Namun, seperti tadi telah saya katakan, tidak semua gejala kebahasaan dapat dibekuk oleh kaidah yang disertai ukuran-ukuran betul-salah.
Beberapa waktu lalu saya mengikuti pertemuan yang membincangkan soal-soal bahasa di kantor sebuah koran nasional. Saya tercenung setelah mendengar salah seorang pembicara menegaskan, dan kemudian dikuatkan oleh seorang pembicara lain, bahwa kata-kata seperti tapi atau tetapi, sebab, namun tidak boleh dipakai sebagai awal kalimat. Kata-kata itu tidak bisa menjadi awal kalimat sebab, menurut mereka, tak terpisahkan dari bagian kalimat sebelumnya. Mereka rupanya berpegang pada paham bahwa sebuah kalimat barulah dapat disebut betul dan sempurna bila mengandung satu ide yang utuh.
Paham itu bagi saya cacat dalam dua hal. Pertama, sudah sejak lama bahasa Indonesia mengenal kasus ”kalimat tak sempurna” hingga dapat saja terjadi sebuah kalimat hanya terdiri atas satu kata. Kedua, makna sebuah wacana tidak sama sekali bergantung pada bangun satu demi satu kalimat, melainkan pada kait-mengait antara kata, frase, klausa, kalimat. Lagi pula, bukankah di dalam laku membaca kita selalu bergerak dalam lingkungan konteks tertentu? Setiap teks mengandung bukan hanya makna harfiah atau makna referensial, tapi juga senantiasa dibayang-bayangi makna konteks—satu hal yang belum banyak digali oleh tata bahasa tradisional.
Maka, cobalah kita berandai-andai bagaimana bila pemerhati bahasa Indonesia dari kalangan kolot berhadapan dengan, dan harus menangani, pasase seperti ini: ”Apakah gejala korupsi yang sangat kronis di Indonesia dapat kita temukan di Finlandia? Tidak. Mengapa? Sebab, nilai-nilai moral yang baik sudah menda-rah daging dalam diri seluruh rakyat Finlandia.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo