Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hidup Tanpa Ijazah Penulis: Ajip Rosidi Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, 2008 Tebal: 1.330 halaman
Tidak keliru jika Ajip Rosidi menyebut dirinya penulis. Walau banyak kemampuan dan minatnya, menulis adalah hal yang paling kuat menandai perjalanan hidupnya. Ia mulai menulis di usia 13 tahun dan tidak pernah berhenti. Ketika banyak teman seusianya masih menahan kantuk mendengar ceramah guru tentang sastra dan bahasa di sekolah, ia hadir di Kongres Kebudayaan atas undangan langsung dari Menteri P dan K Muhammad Yamin. Dalam kariernya sebagai penulis ia menulis puluhan buku, ratusan cerita pendek, esai, sementara puisinya tak terhitung.
Konon, surat dan catatan hariannya, kalau ditumpuk, akan jauh melebihi tinggi badan Ajip yang jangkung itu. Di usia 70 tahun, tatkala banyak penulis memilih parkir dan istirahat, ia tampil dengan Hidup tanpa Ijazah setebal 1.300 halaman lebih. Dan dalam peluncuran buku itu di Taman Ismail Marzuki baru-baru ini, tidak ada kesan bahwa otobiografi ini adalah karya yang terakhir.
Ajip memang tak pernah kehabisan bahan. Dalam buku ini ia bercerita tentang keluarga, masa kecil, dan remaja di Jatiwangi, tentang ibu yang membimbingnya menulis, tentang keluarga besar yang memang besar. Ia menggambarkan kehidupan seniman pada awal 1950-an di Jakarta, perseteruan politik 1960-an, tentang Taman Ismail Marzuki dan Dewan Kesenian Jakarta, Pustaka Jaya, BPB Kiwari, bermacam lembaga, kelompok, dan orang yang pernah dijumpainya. Jika dilihat sepintas, buku ini tampak seperti kumpulan catatan yang disusun secara kronologis. Tapi, jika diperhatikan dengan saksama, ada beberapa tema dasar yang muncul dari narasi itu. Salah satunya adalah pergulatan Ajip dengan identitas, Sunda dan Indonesia, yang tidak selamanya akrab.
Seperti umumnya penulis, Ajip tertarik pada kebudayaan dan khususnya sastra Sunda karena ia lahir dan besar di tanah Sunda. Ketika dewasa ikatan pada tanah kelahiran ini ditambah dengan komitmen: ”orang Sunda sedang dizalimi sehingga perlu ada gerakan yang akan melepaskannya dari kezaliman”. (hlm. 176) Maklum, selama 1950-an ada banyak gejolak dan politik kedaerahan. Pada saat Darul Islam sedang kuat-kuatnya di Jawa Barat, ia kerap dituduh chauvinis dan bahkan mendukung gerakan itu karena sikapnya yang tegas membela kebudayaan Sunda dari dominasi pusat.
Dalam Hidup tanpa Ijazah Ajip menjawab, dan dari uraiannya kita tahu bahwa ia bukan chauvinis, karena yang diinginkannya bukan kebudayaan Sunda yang unggul dan lebih penting dari yang lain, tapi justru kebudayaan Sunda dalam lingkungan Indonesia. ”Dengan demikian titik pandangnya tetaplah aku sebagai orang Indonesia. Sunda adalah bagian dari Indonesia, tapi kenyataan dalam masyarakat menunjukkan seakan eksistensinya tidak diakui atau tidak diperhatikan. Dan bukan hanya Sunda, melainkan daerah-daerah lain juga. Kesadaran mengindonesia tidak disertai dengan kesadaran bahwa akar setiap orang Indonesia adalah daerahnya masing-masing dengan kebudayaannya”. (hlm. 178)
Dan Ajip tidak sekadar berpetuah. Ia menganggap pergaulan budaya di antara suku-suku bangsa harus melengkapi Indonesia yang telah menjadi kesatuan geografis dan kesatuan politik. ”Aku tiba pada pendapat bahwa seharusnya cerita rakyat dan kekayaan sastera lama daerah itu menjadi milik seluruh bangsa Indonesia.” (hlm. 204) Berdasar keyakinan itu ia menulis ulang cerita klasik Sunda dalam bahasa Indonesia dan mencurahkan banyak waktu untuk melakukan penelitian tentang cerita-cerita itu, merekam orang yang mengetahuinya, dan juga aktif menerbitkan karya-karya.
Uraiannya mengenai berbagai aspek kebudayaan Sunda, mulai dari pemikiran, sejarah, dan hal-hal yang sangat konkret seperti kehidupan seniman tradisi, membuat otobiografi ini menjadi sumber penting untuk memahami kebudayaan Sunda, dan juga Indonesia, pasca-kolonial. Ketekunan, komitmen, dan kemampuan ulang-alik Sunda-Indonesia saya kira belum bisa ditandingi orang lain.
Tapi, setelah lebih dari setengah abad menulis dan berbuat, ada tanda-tanda lelah pada Ajip. Dalam sambutan untuk peluncuran bukunya di TIM beberapa waktu lalu, ia mengaku pesimistis melihat Indonesia sekarang. ”Negeri ini sudah rusak dan sulit diperbaiki,” katanya. Ketika bertemu saya mengatakan sebaliknya: saya malah optimistis setelah membaca Hidup tanpa Ijazah. Memang buku itu tidak memuat petuah, petunjuk, atau nasihat untuk menyemangati. Tapi kisah hidup Ajip dan karya-karyanya bagi saya adalah tanda bahwa Indonesia masih ada, bukan sekadar bercak di atas peta, tapi sebuah cita-cita untuk hidup bersama. Nuhun, Kang!
Hilmar Farid, sejarawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo