Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSETUJUAN lebih dari 80 persen pemegang saham dalam rapat umum luar biasa di Hotel Shangri-La, Jakarta, memuluskan langkah Gatot Mudiantoro Suwondo ke singgasana nomor satu di Bank Negara Indonesia (BNI). Ia didapuk menggantikan Sigit Pramono yang digusur oleh pemerintah pada Rabu pekan lalu. Tak ada kejutan berarti di balik pengangkatan Gatot karena ipar Ibu Negara Ani Yudhoyono ini sudah digadang-gadang sejak jauh-jauh hari.
Kejutan justru muncul dari susunan petinggi baru BNI lainnya. Nama Felia Salim, yang terpilih sebagai orang kedua, tiba-tiba mencuat menjelang rapat umum pemegang saham. Begitu pun dengan masuknya Erry Riyana Hardjapamekas sebagai Komisaris Utama BNI. Felia adalah Ketua The Partnership for Governance Reform, yang aktif dalam penegakan good governance. Sedangkan Erry dikenal sebagai mantan pimpinan Komisi Pemberantas Korupsi.
Kejutan berikutnya adalah komposisi dewan direksi BNI. Dari 10 direktur, yang benar-benar pejabat karier BNI cuma tiga orang. Mereka adalah Achmad Baiquni (mantan Direktur Korporasi), Suwoko Singoastro (mantan Wakil Kepala Eksekutif Jaringan dan Pelayanan), serta Darwin Suzandi (General Manager Divisi Jaringan).
Tujuh orang lainnya, termasuk Gatot dan Felia, adalah bankir profesional yang diboyong dari luar, meski ada yang sempat bekerja di BNI. Seperti halnya Gatot, Doddy Virgianto, dan Khrisna R. Suprapto juga pernah berkarier di Bank Danamon. Yap Tjay Soen jebolan Citibank, Bien Subiantoro dari Bank Mandiri, sedangkan Ahdi Jumhari pejabat di Bank Indonesia.
Sebagian besar dari para anggota tim tersebut tampaknya mewakili beberapa kubu. Menurut ekonom Dradjad Wibowo, mereka bukan saja mengusung atmosfer Danamonisasi, tetapi juga BPPN-isasi. Kebanyakan dari mereka pernah bekerja untuk kepentingan BPPN. Felia pernah menjabat Deputi BPPN. Sedangkan Gatot, Khrisna, dan Yap Tjay Soen pernah ditunjuk menjadi direksi di Danamon dan BII untuk mewakili BPPN. Sebagian orang menilai mereka bankir cemerlang, tetapi Dradjad melihatnya biasa saja.
Apa pun pendapat tentang mereka, gerbong baru yang diisi banyak orang luar itu jelas mengundang tanya. Adakah mereka membawa misi khusus? Seorang sumber Tempo di BNI berbisik, darah segar itu sengaja disuntikkan guna mengubah kultur bank yang sudah karatan. Tujuannya agar BNI lebih lincah guna mengejar pertumbuhan. Ujung-ujungnya, kinerjanya mengkilap dan pemerintah pun menikmati dividen.
Tak bisa dipungkiri, menurut sejumlah bankir senior, budaya kerja BNI memang masih menonjolkan kultur perusahaan negara. Bank yang berdiri sejak 1946 ini masih dikenal dengan layanan letoi, emoh berubah, tertutup dari masuknya orang luar, rasa persaudaraan kental, serta mudah diintervensi.
Gatot Suwondo tak mengingkari tudingan itu. Ia mengakui semangat satu korps di BNI cukup kuat. Itu tak lepas dari sejarahnya. Selain merintis karier bersamaan, mereka memperoleh penghasilan dan kenyamanan bekerja melebihi rata-rata. Saking nyamannya, angka keluar-masuk pekerja di BNI sangat rendah. "Dampak buruknya, mereka lupa persaingan di luar sudah sangat ketat."
Ketika ditunjuk memimpin empat tahun silam, sesungguhnya Sigit sudah berupaya keras membenahi BNI. Ia menerapkan teknologi tercanggih, yakni sistem online terintegrasi dan terpusat yang bisa melayani 2,8 juta transaksi per hari. Ia membuat pelatihan intensif pelayanan bagi karyawan, memperbanyak produk, serta mengubah segmen bisnis dari korporasi ke komersial dan UKM. Ia bermimpi menjadikan bank ini jadi kebanggaan bangsa.
Sayangnya, menurut eksekutif di BNI, Sigit ibarat komandan yang diterjunkan ke medan perang tanpa dukungan perwira dan pasukan yang solid. Nasibnya tak semujur Agus Martowardojo yang memimpin Bank Mandiri. Selain didukung anggota direksi lainnya, Agus juga disokong Komisaris Utama Edwin Gerungan. Sebaliknya di BNI, Sigit mirip panglima perang yang bertempur sendirian.
Karuan saja, kinerja bank yang pernah disuntik negara Rp 161 triliun ini agak belepotan, malahan tak sekinclong rivalnya. Kredit seret kotor (NPL)-nya justru melonjak hingga mencapai 16,6 persen pada 2006. Tak mengherankan jika BNI kemudian masuk perawatan khusus Bank Indonesia.
Di tengah sibuk-sibuknya konsolidasi, BNI pun disalip bank besar lainnya. Tengok saja ketika Sigit menduduki takhta Dirut BNI pada Desember 2003. Saat itu, ia sudah dihadapkan pada persaingan ketat dengan BCA sebagai bank terbesar kedua dengan aset tidak jauh berbeda, sekitar Rp 132 triliunan. Namun, empat tahun kemudian, BNI keteteran ditinggalkan BCA yang jauh melesat.
Ironisnya, BRI yang semula tak diperhitungkan karena asetnya jauh di bawah BNI, juga semakin melaju. Seperti halnya BCA, bank desa yang berambisi menguasai kota ini juga mengalahkan BNI. Per September 2007, total aset BCA mencapai Rp 196 triliun, BRI Rp 178 triliun, dan BNI hanya Rp 171 triliun.
Belum lagi jika melihat harga saham BNI, yang jadi acuan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil untuk menggusur Sigit. Pascaprivatisasi BNI pada Agustus tahun lalu, harga sahamnya saat ini masih adem ayem di 1.800-2.000, sama seperti awal 2007. Bandingkan dengan harga saham Mandiri dan BRI yang kian melesat. Jika pada awal 2007, saham Mandiri dan BRI masih di 1.800 dan 5.000-an, sekarang keduanya sudah melejit di level 3.400-an dan 7000-an.
Itulah sebabnya pemerintah sebagai pemegang 73,26 persen saham BNI merasa tak puas. Direksi BNI pun cepat-cepat dirombak tanpa menunggu jabatan mereka berakhir. Pemerintah, kata Alexander Rusli, Staf Ahli Menteri Negara BUMN, tak mau menanti sampai 2009, ketika pemilu berlangsung. Itu berisiko karena bisa dituduh bermuatan politis.
Betapapun, memilih direksi dari puluhan calon bukan perkara gampang. Menurut Kementerian BUMN, para kandidat itu bukan saja harus bisa diterima oleh pasar, tetapi juga oleh karyawan. Apalagi, semangat kekerabatan di BNI sangat kental. Pegawai BNI cenderung menghendaki koleganya naik ke kursi manajemen. Jika orang luar yang masuk, mereka khawatir kariernya tersandung karena jabatan di level atas terbatas.
Konon, karena tingginya semangat perkawanan itu pula yang membuat sejumlah kandidat direksi dari luar pagar memilih minggir. Sebut saja, misalnya, Mirza Adityaswara dari Credit Suisse dan Rizal Prasetijo dari JP Morgan Asia. Keduanya menolak meskipun sudah menjalani fit and proper test di Kementerian BUMN. "Banyak orang lain yang lebih cocok," kata Mirza berkelit.
Kuatnya kubu orang dalam juga terbukti dari hasil wawancara terhadap lebih dari 20 calon, yang 12 di antaranya berasal dari internal. Saat ditanya siapa yang pantas menjabat direktur utama, mereka umumnya memilih Gatot. Alasannya, meski berkarier lama di Danamon, sebagai Wakil Dirut BNI ia sudah "membumi" dan akrab dengan karyawan, termasuk pengurus Serikat Pekerja. "Ya, ada seninya untuk mendekati karyawan," kata Gatot.
Sebaliknya, untuk kursi nomor dua, umumnya para kandidat internal memilih rekan sekantor. Salah satunya adalah Achmad Baiquni, pejabat karier yang sudah malang melintang di BNI. Felia Salim tak disebut karena bukan mewakili mereka, meski sebelumnya menjabat Komisaris di bank ini.
Masalahnya, soal pengurus memang bukan urusan karyawan, melainkan pemegang saham. Menurut sumber Tempo, nama Felia muncul dari pemerintah. Ia sudah dikenal lama oleh Menteri BUMN sejak menjabat Direktur Bursa Efek Jakarta. Ia juga disokong oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani karena dianggap berani menghadapi intervensi.
Agar pengalaman buruk saat mengangkat Sigit tak berulang, Kementerian BUMN juga memakai pola baru dalam memilih anggota direksi BNI. Pemerintah hanya menentukan Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama, serta Dewan Komisaris. Sedangkan, untuk anggota direksi, duet Gatot-Felia diberi peran lebih banyak. "Biar kompak seperti Bank Mandiri," kata Rusli.
Memang benar, duet Gatot-Felia akhirnya menentukan tim pilihannya yang didominasi orang luar. Menurut Gatot, tim internal BNI lebih sedikit karena dari hasil wawancara oleh Kementerian BUMN banyak yang tak lolos.
Namun, mantan Komisaris BNI, Dradjad Wibowo tak percaya. Ia justru khawatir membanjirnya orang luar di direksi akan menimbulkan benturan internal yang besar. Apalagi, kinerja mereka ketika mengelola bank kecil tidak istimewa. Malah ada yang tiba-tiba meloncat jauh memimpin BNI. Padahal, Dradjad justru melihat bankir BNI banyak yang andal.
Itu baru soal anggota tim. Belum lagi, masalah terpilihnya Gatot yang dikaitkan dengan isu nepotisme karena ia kerabat Presiden SBY. Banyak kalangan khawatir posisinya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politis menjelang Pemilu 2009. Posisinya juga berat karena setiap langkahnya akan dibayang-bayangi oleh isu serupa. Saat dimintai konfirmasi tentang soal ini, Gatot menjawab, "Sebelum SBY jadi presiden, saya sudah jadi direktur bank. Pokoknya, saya akan jalankan yang baik-baik saja."
Dengan berbagai persepsi seperti itu, Dradjad khawatir direksi baru akan menghadapi kendala psikologis yang berat. Ia heran faktor ini kok tidak dipertimbangkan oleh Kementerian BUMN. "Kasihan BNI, mestinya bisa jadi bank besar, tetapi pemegang saham berjudi dengan tim medioker (pas-pasan)."
Heri Susanto
Manajemen Baru BNI
DEWAN DEREKSIDirektur Utama: Gatot M. SuwondoWakil Direktur Utama: Felia SalimDirektur:
- Achmad Baiquni
- Bien Subiantoro
- Suwoko Singoastro
- Doddy Virgianto
- Darwin Suzandi
- Yap Tjay Soen
- Khrisna R. Suparto
- Ahdi Jumhari Luddin
DEWAN KOMISARISKomisaris Utama: Erry Riyana Hardjapamekas Wakil Komisaris Utama: SuwarsonoKomisaris:
- Achjar Iljas
- HMS Latif
- Parikesit Suprapto
- Achil Ridwan Djajadiningrat
- Fero Poerbonegoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo