Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tasawuf: melenyapkan kreativitas berpikir

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya tertarik memberi jawaban kepada Saudara Mustari, M. Abduh Khalid Mawardi, dan Erwin, S.H. (TEMPO, 25 Mei dan 1 Juni, Komentar) yang menanggapi tulisan saya: "Tasawuf: Penghambat llmu dan Teknologi" (TEMPO, 4 Mei 1991, Komentar). Sebab ada keterangan yang cukup mengganggu dari ketiga komentator tersebut. Pertama, benarkah mahasiswa yang melirik tasawuf akan menghambat ilmu serta teknologi? Dan, kedua, apa esensi Life Begins at 40. Mahasiswa yang mempaktekkan tasawuf dalam kehidupannya memang mengundang decak kagum. Tetapi, sadarkah mereka sebagai generasi pelanjut? Bahwa cendekiawan, yang sekarang sedang melewati usia 40, pasti akan meninggalkan panggung ilmu karena umur tak bisa dilawan. Jika mereka meninggalkan dunia fana, siapa bakal menggantikan? Bisakah mahasiswa yang dulu mendalami tasawuf menduduki posisi mereka? Tantangan masa depan sangat menantang dan sulit diantisipasi hanya dengan tasawuf yang mengandalkan rasa dan bukan kecerdasan otak. Firman Tuhan: "Tiada seorang pun akan beriman. Kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak menggunakan pikiran" (Surat Yunus: 100). Melihat mahasiswa yang menekuni tasawuf, perasaan sering tergelitik dan menimbulkan kasihan. Masa muda yang merupakan usia spekulasi dan saat menimba ilmu untuk mengasah nalar, akhirnya diobral dengan alam mistik, yang seharusnya belum boleh disentuh. Lalu, untuk apa pemberian Sang Khalik -- berupa fisiologi otak yang terdiri dari 10 sampai 15 bilyun neutron -- bila tak digunakan untuk bumi yang satu ini? Betapa tersiksa batin kalau masa depan yang tak mungkin dihindari harus disongsong dengan tangan kosong. Sebab, ilmu dan teknologi, yang mestinya digenggam, hilang akibat asyik dengan tasawuf. Pada hakikatnya, tasawuf cuma kreativitas ibadah semata dari orang-orang yang masih bimbang dengan keimanannya. Sebab, Islam sudah sangat utuh sebagai ajaran llahi. Namun, tetap saja ada yang mencari hal-hal gaib dalam kehidupannya, yang justru bisa membutakan mata hati dan akal dalam memahami kebesaran Allah. Tuhan menjadikan siang agar manusia mampu merealisasikan wujudnya sebagai the leader. Bukan sekadar memuji kebesaran Allah. Tetapi, menjawab jati diri sebagai khalifatun fil ardy. Bukti bahwa tasawuf cuma kreativitas ialah adanya berbagai aliran dalam mistik Islam itu. Andai bukan hasil kreasi, tentu ada kesatuan titik tinjau melihat tasawuf. Salat, misalnya, tak pernah diisi dengan hal-hal yang penuh gaya. Karena ada kesamaan nilai dalam keyakinan bahwa salat tak perlu ditambah rakaatnya atau cara pelaksanaannya. Sebab, sudah sangat sempurna sebagai alat komunikasi transendental dengan Allah. Kalau dikatakan bahwa tasawuf adalah jalan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, berarti sia-sialah ibadah umat Islam yang tak menjalankan mistik Islam itu. Padahal, tanpa tasawuf pun, orang bisa dekat kepada Allah. Salat lima waktu, misalnya, adalah superpower ibadah dalam kehidupan. Dengan salat, umat Islam mampu berhubungan dengan Sang Khalik. Atau, sebagai alat pengontrol perbuatan dalam keseharian. Zakat dan sedekah juga memperlihatkan adanya timbangan rezeki Allah dengan kekayaan pribadi. Tasawuf ibarat pisau bermata dua. Selain mampu menimbulkan perubahan sosial, bisa membawa petaka. Yang dapat mengguncang kemapanan tatanan sosial dan bisa pula merupakan ancaman politik. Jadi tasawuf erat kaitannya dengan kematangan jiwa. Ia bisa jinak, dan liar. Yang sangat mengkhawatirkan adalah tasawuf berkesan antidunia. Sebab, untuk masuk ke lingkungan tasawuf, orang wajib melalui mujahadah (latih rohani dan pembiasaan derita jasmani) musyahadah (mata batin), dan zauq (kepekaan rasa). Terlihatlah bahwa tasawuf bukan cuma melenyapkan kreativitas berpikir, tapi juga menelantarkan bumi dan langit. Karena para sufi cenderung mengasah emosi untuk kepentingan diri sendiri. Sifat toleransi kepada sesama manusia seakan digadaikan hanya untuk rasa egoistis belaka. Yang menarik ada kalimat: "Secara hipotesa dapat dikatakan bahwa makin terbenam seseorang dalam pekerjaan intelektual, makin rindu ia kepada kehangatan mistik". Kalimat ini menunjukkan bahwa seorang yang mendalami dunia ilmu secara terus menerus akan mendekati wujud mistik. Dan, tentu saja, perjalanan ke supernatural itu harus ditebus dengan bertambahnya usia dan kematangan jiwa. Karena makin terbenam seorang ke pekerjaan intelektual, kian banyak hari-hari yang dilalui. Berarti ungkapan tersebut justru memperkuat eksistensi Life Begins at 40 sebagai patokan dalam melihat sesuatu dengan kaca mata bijaksana. Life Begins at 40, pada dasarnya, tak boleh diterjemahkan secara letterlijk. Kalau dikatakan kehidupan seorang muslim dimulai ketika ia mengaku Islam, ini tentu tak bisa dibantah. Namun, untuk menjadi Islam kaffah (yang seutuhnya), orang harus banyak menjalani kehidupan. ABDUL HARIS BOOEGIES Jalan Veteran Selatan No. 292 A Ujungpandang 90133

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus