Setelah membaca TEMPO 1 Juni 1991 dan 8 Juni 1991 (Pendidikan), tentang bocornya Ebtanas dan tingkah laku pelajar SMA di beberapa kota besar setelah pengumuman Ebtanas, saya menjadi prihatin melihat keadaan pendidikan di Indonesia. Saya tidak mengerti, mengapa pelajar SMA dalam mengungkapkan kegembiraannya itu terlalu berlebihan -- yang menjurus ke hal yang negatif. Waktu saya SMA dulu (1982), hal tersebut tidak terjadi. Apakah Ebtanas saat ini lebih sulit dibandingkan dengan waktu saya dulu? (memang, waktu itu, belum ada Ebtanas dan ditanggung tidak bocor). Sehingga setelah diumumkan lulus, pelajar SMA merasa lolos dari lubang jarum, dan meluapkan kegembiraannya dengan berlebih-lebihan. Seharusnya, pelajar SMA sadar bahwa mereka lulus bukan dari nilai murni Ebtanas mereka, tetapi karena nilai yang sudah diolah dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu. Mungkin, kalau standar lulus diambil dari nilai Ebtanas murni, yang lulus hanya 50% atau kurang. Melihat hal tersebut, saya kira, yang perlu dibenahi dalam pendidikan di Indonesia tidak hanya dari segi kurikulumnya saja, tetapi yang lebih penting lagi dibenahi ialah mental motivasi belajar dari pelajar SMA. Kalau perlu, setiap dua minggu dilakukan ceramah dengan memanggil psikolog untuk memperbaiki mental dan mendorong motivasi belajar mereka. Saya juga merasakan bagaimana seorang pelajar SMA merasakan beban yang berat dalam belajar di sekolah. Jika dibandingkan dengan beban seorang pelajar SMA di Jepang, di Indonesia lebih ringan (pelajar SMA di Jepang belajar di sekolah mulai pukul 8 pagi sampai pukul 4 sore, kecuali hari Sabtu sampai pukul 12 siang). Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah sistem pengajaran atau penyampaian materi seorang pendidik di dalam kelas, sehingga seorang siswa menjadi betah di dalam kelas. Dan faktor yang lebih penting lagi adalah dari pihak orangtua. Orangtua janganlah menyerahkan sepenuhnya masalah pendidikan kepada sekolah, karena merasa sudah membayar. Tanggung jawab sekolah hanya dari pukul 7 pagi sampai pukul 1 siang. Setelah itu sebenarnya adalah mutlak tanggung jawab orangtua. Juga pihak orangtua janganlah terlalu memberi fasilitas yang berlebih-lebihan terhadap seorang pelajar. Akhirnya, pesan saya kepada para pelajar SMA, ingatlah bahwa lulus SMA bukanlah akhir perjalanan hidup Anda, tetapi tantangan hidup lainnya masih panjang. Dan apakah Anda tidak dapat berpikir sejenak, seandainya baju-baju itu tidak Anda robek-robek dan disemprot dengan cat (pylog), tapi dikumpulkan (karena sudah bosan pakai baju seragam SMA) dan diberikan kepada saudara-saudara kita yang memerlukan, alangkah damainya negara kita tercinta. SONY Department of Nuclear Engineering Kyoto University Japan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini