Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IHWAL sumber daya gas alam, rakyat Indonesia seperti ayam mati kelaparan di lumbung padi. Saat warga negara lain bisa menikmati gas yang lebih ramah lingkungan untuk pelbagai keperluan sehari-hari, Indonesia masih berkutat dengan energi fosil yang kotor dan menjadi sumber polusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cadangan gas bumi Indonesia yang mencapai 62,4 triliun kaki kubik per akhir 2022 dengan simpanan terbukti 43,6 triliun kaki kubik seharusnya bisa memberi manfaat secara optimal. Cadangan gas Indonesia yang berada di peringkat ke-13 dunia baru akan habis dalam 19 tahun 9 bulan mendatang, dengan tidak memperhitungkan penemuan baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun harta karun itu menjadi sia-sia karena salah kelola. Kekacauan di PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk bisa menjadi bukti amburadulnya pengelolaan komoditas gas. PGN berpotensi menanggung rugi Rp 212 miliar gara-gara piutang tak tertagih kepada PT Isar Gas.
Kasus ini bermula pada 2017, saat PGN membayar panjar pembelian gas ke Isar Gas. Setelah menyetor uang muka US$ 15 juta, PGN hanya menerima gas setara dengan US$ 800 ribu. Akibatnya, US$ 14,1 juta duit perseroan tertahan di perusahaan swasta tersebut.
Terlepas dari dugaan adanya korupsi, potensi kerugian ini tak akan ada jika pemerintah becus mengelola tata niaga gas bumi. Sudah menjadi rahasia umum pembagian jatah pembelian gas bumi berbau amis. Calon pembeli gas yang sudah sukses menegosiasikan harga dengan kontraktor penghasil gas belum tentu mendapatkan restu Menteri Energi.
Itu sebabnya, ketika pemerintah membuka kesempatan swasta mendapatkan alokasi pembelian gas, banyak muncul perusahaan di atas kertas. Perusahaan ini punya komoditas alokasi gas yang dijual kembali ke perusahaan yang memiliki pelanggan dan infrastruktur sungguhan.
Sempat ada upaya perbaikan ketika pemerintah melarang penjualan gas bertingkat pada 2016. Perusahaan yang mendapatkan alokasi pembelian gas dari hulu hanya boleh menjual langsung kepada konsumen akhir. Strategi ini berhasil memangkas pedagang kuota, tapi tak menghilangkan hak absolut Menteri dalam menentukan siapa yang layak mendapatkan gas.
Kebijakan pemerintah juga tak membantu menghidupkan industri gas nasional. Calon penerima alokasi hanya perlu menunjukkan bukti kepemilikan atau penguasaan infrastruktur gas seperti pipa tanpa harus membangun pasar baru.
Harapan sempat muncul ketika pemerintah bergembar-gembor mendorong peralihan kendaraan berbahan bakar minyak menjadi menggunakan bahan bakar gas (BBG) pada 2012. Tujuannya: mendongkrak pasar gas dalam negeri. Pelbagai cara dilakukan, seperti membangun banyak stasiun pengisian bahan bakar gas dan meminta PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) memakai bus BBG.
Baca liputannya:
- Bagaimana BPK Menemukan Dugaan Korupsi Proyek PGN
- Siapa Pemilik Isar Gas? Terdeteksi dalam Kasus Eni Saragih
Satu dekade berlalu, inisiatif-inisiatif tersebut berjalan sangat lambat. Transjakarta malah mulai mengurangi bus berbahan bakar gas dengan alasan kurangnya stasiun pengisian di Jakarta. Produsen otomotif pun enggan menjual kendaraan berbahan bakar gas, yang membuat Indonesia tertinggal jauh dibanding Cina, India, dan Pakistan.
Setali tiga uang, sambungan pipa gas untuk rumah tangga juga tak bertambah banyak. Pada 2018, ada 463 ribu rumah tangga yang tersambung dengan gas bumi. Dua tahun kemudian, jumlahnya hanya bertambah menjadi 673 ribu. Pemerintah melupakan peluang besar dari gas bumi yang jauh lebih murah sebagai pengganti elpiji.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Salah Jurus Mengurus Gas"