Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Meski di masa pemerintahan Jokowi inflasi bisa ditekan rendah, sejatinya harga pangan relatif bergejolak.
Langkah operasi pasar atau pasar murah seperti yang kerap dilakukan Bulog tidak ubahnya tugas pemadam kebakaran.
Bulog punya kemampuan dan kapasitas untuk menjadi pelaku sekaligus pembentuk pasar.
TAHUN 2024 ditutup dengan prestasi yang moncer: tingkat inflasi 1,57 persen. Badan Pusat Statistik mengklaim ini adalah tingkat inflasi terendah sejak 1954. Kemampuan pemerintahan Presiden Joko Widodo memang teruji dalam mengendalikan inflasi, sebagaimana terlihat dari inflasi rata-rata selama 10 tahun (2015-2024) yang hanya 2,9 persen.
Capaian tersebut tergolong spektakuler karena menjadi inflasi terendah sejak Indonesia merdeka, terlepas dari cara-cara yang ditempuh. Presiden Jokowi memang tampak sangat peka terhadap kenaikan harga-harga yang bakal memicu inflasi, terutama harga pangan.
Berbagai langkah ditempuh, termasuk obral bantuan sosial. Dan sepertinya, upaya menjaga inflasi di level rendah seperti yang dilakukan pemerintah di era Jokowi diteruskan oleh Presiden Prabowo Subianto. Meski demikian, dilihat dari sumber inflasinya, capaian itu menyisakan masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumbangan inflasi dari harga pangan yang bergejolak (volatile food) masih dominan. Selama 10 tahun era pemerintahan Jokowi, porsi andil inflasi pangan mencapai 47,6 persen dari inflasi nasional. Artinya, meski inflasi bisa ditekan rendah, sejatinya harga pangan relatif bergejolak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2024, misalnya, andil inflasi pangan sebesar 35 persen dari inflasi nasional 1,57 persen. Komoditas pangan penyumbang inflasi adalah minyak goreng, beras, bawang merah-bawang putih, daging dan telur ayam, serta ikan segar.
Selain itu, sejak semester II 2024 hingga kini, harga tiga komoditas penting, yakni beras, gula pasir, dan minyak goreng MinyaKita, nangkring di atas harga eceran tertinggi. Padahal ketiga komoditas itu diatur melalui harga eceran tertinggi (HET) yang mengikat. Kalau dilanggar, ada sanksi. Tapi pemerintah tak memilih langkah koersif. Sebaliknya, pemerintah memilih langkah lunak dengan menggelar operasi pasar atau pasar murah.
Langkah lunak itu dilakukan dengan menugasi Perum Bulog mengeksekusi pasar murah. Penugasan biasanya bersifat mendadak, tak menentu, dan sering kali situasinya sudah sulit dikendalikan. Langkah operasi pasar atau pasar murah seperti ini tak ubahnya tugas pemadam kebakaran.
Selain reaktif, keberhasilannya sulit dipastikan. Sebab, berhasil-tidaknya operasi pasar sangat bergantung pada banyak faktor, seperti volume barang yang digerojok di pasar, stok pemerintah, stok pedagang, momentum, dan psikologi publik. Jika salah kalkulasi, cara-cara seperti ini tidak berbeda dengan menggarami air laut.
Bulog adalah perusahaan yang (sangat) besar: memiliki 26 pimpinan wilayah, 4.250 pegawai, 101 cabang, 474 kompleks pergudangan dengan 1.545 unit gudang berkapasitas lebih 3,8 juta ton, 10 penggilingan padi, 7 unit mesin rice to rice, 2 unit corn drying center, dan terhubung secara digital (meski belum penuh).
Dengan profil seperti ini, seharusnya Bulog menjadi perusahaan raksasa rantai pasok pangan, terutama beras dan bahan pangan pokok lain, dengan layanan tepercaya dan prima untuk memberikan kesejahteraan masyarakat luas.
Kapasitas ini juga amat mendukung Bulog menjalankan penugasan pelayanan publik dari pemerintah dan melakukan fungsi komersial sekaligus secara bersamaan. Pemisahan atau transformasi menjadi badan otonom langsung di bawah presiden, seperti yang sedang digodok hari-hari ini, boleh jadi bakal menurunkan efisiensi perusahaan.
Belum lagi perubahan “baju” atau bentuk lembaga itu akan berhadapan dengan kerumitan kesiapan regulasi. Sementara itu, penguatan Bulog sebagai offtaker, seperti digadang-gadang dalam transformasi itu, dihadapkan pada situasi mendesak: panen raya padi dan jagung dalam waktu dekat.
Dihadapkan pada situasi demikian, salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah memberikan otonomi dan fleksibilitas kepada Bulog. Perusahaan harus didorong mengoptimalkan seluruh aset guna menjalankan tugas pelayanan publik dan bisnis komersial secara serasi, masuk dalam pasar untuk mendinamiskan dan menormalisasi perdagangan skala besar, luas, dan transparan sehingga harga pangan di pasar nasional stabil tanpa operasi/stabilisasi pasar.
Agar Bulog bisa seperti itu, pemerintah harus mengubah paradigmanya, dari Bulog sebagai pemadam gejolak harga pangan menjadi pembentuk (pelaku) pasar yang stabil. Untuk menjadikan Bulog sebagai pembentuk pasar yang stabil, volume "bisnis" yang dikelola Bulog harus diperbesar dari rata-rata 8 persen menjadi paling sedikit 20 persen—idealnya 30 persen—dari konsumsi beras masyarakat Indonesia (Bantacut dan Ruspayandi, 2024).
Stok pangan seharusnya tidak disimpan di gudang sebagai stok besi (iron stock), yang baru digerakkan ketika dibutuhkan, misalnya untuk operasi pasar dan bantuan bencana. Stok seharusnya ditempatkan di pasar sebagai komoditas yang diperdagangkan setiap hari dengan kendali penuh dari pemerintah dan sewaktu-waktu stok juga bisa ditarik.
Dengan tata kelola seperti ini, stok pangan bukan dianggap sebagai barang mati (dead stock), melainkan menjadi stok dinamis atau lincah (Bantacut, 2024). Dengan volume jual-beli yang besar, stok secara efektif akan menstabilkan harga dan ketersediaan pangan. Tatkala ini terjadi, Bulog akan menjadi penentu, rujukan, dan pemimpin harga pasar pangan.
Dengan perluasan cakupan bahan pangan, Bulog akan menjadi pembentuk harga pasar pangan. Harga pangan di pasar akan stabil sehingga biaya operasi pasar dapat dialihkan menjadi subsidi harga pangan bagi penduduk miskin (prasejahtera).
Namun, sekali lagi, agar dapat seperti itu, Bulog memerlukan otonomi dan fleksibilitas dalam operasional. Selama ini Bulog bekerja amat kaku karena terikat regulasi bejibun dari hulu hingga hilir. Contohnya, dalam hal pembelian gabah/beras, Bulog diikat dengan harga pembelian pemerintah (HPP).
HPP yang selalu di bawah harga pasar membuat Bulog sulit mendapatkan gabah/beras. Sebaliknya, swasta bisa membeli gabah/beras sesuai dengan kalkulasi untung-rugi korporasi. Dengan cara ini, swasta pun bisa membeli stok sepanjang waktu. Sebaliknya, Bulog tak bisa demikian. Di sisi lain, di bagian hilir ada pengikat berupa regulasi HET. Hal terpenting bagi Bulog adalah adanya rambu dan target kinerja jelas.
Bulog juga memerlukan penguatan keuangan. Sejak 2019, penganggaran Bulog memakai sistem pascabayar. Bulog harus bekerja dulu menggunakan dana bank berbunga komersial dan baru bisa mengklaim setelah penugasan. Dari pengadaan hingga klaim dibayar, bunga beranak pinak. Kian lama klaim dibayar, kian besar beban bunga, kian mahal pula harga pokok penjualan beras Bulog. Ujungnya, beras Bulog kurang kompetitif di pasar.
Sebagai gantinya, cadangan beras pemerintah sebesar 1,5 juta ton harus dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara lewat penyertaan modal negara sebagai modal kerja. Hal ini akan menghilangkan beban bunga bank dan membuat harga pokok beras Bulog turun drastis. Implikasinya, penetrasi beras Bulog di pasar jauh lebih efektif. ●
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo