UU Anti-Trust, di negara yang punya asal-usul, AS, sudah berumur lebih dari satu abad, sejak dikeluarkannya Sherman Act, 1890, ketika di Indonesia sedang diperjuangkan di DPR, sekarang ini. Sejak itu sudah banyak dikeluarkan berbagai UU yang menyempurnakan peraturan untuk mencegah monopoli, di negara yang menganut sistem ekonomi pasar bebas itu. Pada mulanya, yang banyak mengajukan kasus penolakan monopoli atau monopsoni adalah pemerintah. Tapi kemudian UU Anti-Trust itu mengalami privatisasi. Banyak kasus diajukan justru oleh swasta sendiri pada tahun 70-an. Pada masa pemerintahan Reagan, telah timbul revisi pandangan terhadap UU Anti-Trust ini. Masyarakat maupun pemerintah mulai sangsi, tidak saja terhadap efektivitas pelaksanaan UU tersebut untuk mencegah monopoli, tetapi juga apakah suatu UU antimonopoli itu benar-benar bisa mencapai tujuan yang paling esensial, yaitu menciptakan situasi persaingan yang sehat. Lagi pula, pandangan orang mengenai kebaikan dan keburukan, yang besar atau yang kecil, juga sudah berubah, terutama terhadap yang besar. Efisiensi dan inovasi dilihat justru berasal dari yang besar. Pertumbuhan ekonomi, sampai derajat tertentu, justru membutuhkan proses konsentrasi dan integrasi. Sebelum Sherman Act, sebenarnya sudah ada UU yang mengatur tata niaga, yaitu Interstate Commerce Commission 1887, dengan tujuan yang sama, untuk mencegah timbulnya persaingan yang tidak sehat, yang dapat merugikan konsumen. Sekarang, di Indonesia belum ada UU Anti-Trust. Tapi sudah banyak lahir kebijaksanaan dan peraturan yang tujuannya juga menciptakan tata niaga yang sehat dari sudut pandangan tertentu, misalnya melindungi produsen kecil, petani, atau konsumen. SK Menteri Perdagangan No. 306, 1990 adalah salah satu contoh peraturan yang mendahului UU Anti-Trust. Agaknya, dengan dibentuknya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) itu, yang hendak dilindungi adalah petani cengkeh. Pertama, untuk dapat memelihara harga dasar yang cukup menguntungkan dan merangsang petani. Kedua, untuk menciptakan kestabilan harga bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Masalahnya timbul ketika Gappri, sebagai konsumen cengkeh kolektif terbesar, merasa "dirugikan", dengan adanya BPPC, karena tidak lagi bisa mengatur pasar yang dapat menjamin harga cengkeh pada tingkat yang dikehendakinya. Gappri menolak konsep BPPC, atas dasar argumen pasar bebas. Dalam pendapatnya, harga cengkeh harus ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. BPPC dianggap sebagai penciptaan monopoli di tangan PT Kembang Cengkeh Nasional (KCN), sebagai konsorsium yang memang bertindak sebagai monopsoni. Argumen Gappri ditunjang oleh semangat kebijaksanaan ekonomi yang hidup sekarang ini, yaitu deregulasi. SK Memperdag No. 306/1990 dinilai bertentangan dengan semangat ini. Seandainya sudah ada UU Anti-Trust, barangkali Gappri justru akan menuntut Depdag atau KCN dengan tuduhan merusak persaingan bebas dengan cara kolusi antarpedagang besar, sekalipun dengan dalih melindungi petani cengkeh. UU Anti-Trust dikeluarkan untuk memelihara tetap adanya persaingan bebas yang bertindak sebagai "tangan-tangan gaib" untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi secara efisien. Tapi hal ini bertentangan dengan kenyataan alamiah, bahwa tingkat efisiensi sejalan dengan besarnya skala usaha, karena dalam skala besar itulah teknologi dapat berperan untuk meningkatkan efisiensi. Situasi ini cenderung menciptakan konsentrasi, integrasi, dan akhirnya monopoli, walaupun tidak bisa sempurna. Tapi monopoli ini pulalah yang akhirnya menghentikan bekerjanya mekanisme pasar bebas tersebut. Dalam perekonomian Indonesia sekarang, monopoli atau oligopoli terdapat di semua sektor dan di semua tingkat, nasional, maupun lokal. Konon, UU Anti-Trust mula-mula dibuat untuk melindungi kepentingan petani yang dirugikan oleh nilai tukar perdagangan yang makin buruk, sebagai akibat permainan perusahaan besar, baik pedagang maupun industri. Tata niaga cengkeh dibuat karena alasan melindungi petani ini. Dalam hal ini yang jadi sasaran pengendalian adalah Gappri yang bertindak sebagai monopsoni. Peranan pabrik rokok yang menekan harga dan merugikan petani tidak hanya dilakukan dalam pembelian cengkeh, tetapi juga tembakau, melalui pembentukan agen-agen pembelian di tingkat desa. Berbagai pabrik rokok bahkan akan menciptakan integrasi vertikal, dengan membuat perkebunan cengkeh, dan bukannya tidak mungkin, juga perkebunan tembakau. Perkembangan inilah yang ingin dicegah oleh pemerintah. Namun, Gappri juga punya kepentingan untuk mencegah suatu jenis monopoli lainnya. Masalahnya, Gappri tidak hanya bertanggung jawab terhadap jutaan buruh pabriknya dan menjaga kepentingan pabrik-pabrik rokok kecil, melainkan juga terhadap konsumennya. Alasan Gappri untuk mencegah monopoli dan mengarahkan tuduhannya kepada pemerintah juga cukup valid. Tidak sulit diajukan kasus di masa lalu, bahwa suatu situasi monopolistis justru diciptakan oleh pemerintah sendiri, misal- nya dalam kasus tekstil atau plastik. Tapi upaya pencegahan monopoli dan monopsoni tidak hanya menjadi kepentingan pemerintah, melainkan juga swasta, yang menginginkan adanya kepastian harga dan menghindari persaingan yang saling merugikan. Dari asumsi ini, timbul teori bahwa UU Anti-Trust sebenarnya bermula dari kesadaran perusahaan-perusahaan besar sendiri, justru untuk menjaga kepentingan mereka sendiri. BPPC sebenarnya adalah perwujudan kesadaran bisnis besar untuk bisa mengatur diri sendiri dengan membentuk sebuah konsorsium yang bertindak sebagai badan penyangga harga dan pemasaran cengkeh. BPPC ini sebenarnya bertindak sebagai kartel, yang mewakili kepentingan petani. Seandainya UU Anti-Trust sudah ada, agak sulit juga untuk mengatakan siapa yang seharusnya digugat. Soalnya bisa beres hanya jika BPPC dan Gappri bisa duduk bersama dan mampu mengatur diri sendiri, dengan menjaga kepentingan semua pihak. Sekalipun hal itu tak lepas juga dari soal adu kekuatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini