Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tatap

20 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"… seperti Musa di pucuk Tursina" -- Amir Hamzah

Di atas gunung batu itu, Tuhan tak juga memperlihatkan wajah-Nya.

Kitab Perjanjian Lama berkisah: kepada Musa yang ingin menemui-Nya, Tuhan berkata, "Ada suatu tempat dekat-Ku, di mana engkau dapat berdiri di atas gunung batu. Apabila kemulian-Ku lewat, Aku akan menempatkan engkau dalam lekuk gunung itu dan Aku akan menudungi engkau dengan tangan-Ku, sampai Aku melintas. Kemudian Aku akan menarik tangan-Ku dan engkau akan melihat belakang-Ku, tapi wajah-Ku tak akan kelihatan."

Wajah-Nya tak akan kelihatan. Musa hanya melihat "belakang"-Nya, tanda ia hanya makhluk yang mengikut. "Engkau tak tahan memandang wajah-Ku, sebab tak ada orang yang memandang Aku dapat hidup," sabda Tuhan pula.

Memandang: bila itu berarti menatap, manusia dan Tuhan akan berhadap-hadapan, dan itu tak akan terjadi. Sebab tak hanya itu. Menatap adalah memandang dengan tajam. Tatapan adalah tetapan. Tetapan adalah hasil penetapan. Tapi bagaimana Ia - yang maha akbar dan tak tepermanai dapat ditetapkan? Bagaimana Ia dipasang beku di dalam satu cara memandang, mandeg di satu kerangka, terbatas di sebuah pigura penglihatan?

Tidak. Yang terjadi sebenarnya bukanlah Tuhan telah diperkecil. Tatapan itu sendiri yang sebenarnya ciut, runcing, lempang, seperti cahaya senter di perjalanan malam. Semakin ia tak mengakui keterbatasannya, semakin ia memaku diri di garis sempit itu. Pandang itu kaku dan statis, bukan pandang yang hidup: "Tak ada orang yang memandang Aku dapat hidup "

Demikianlah Tuhan tak tampak dan Musa membiarkan hanya suara-Nya yang terdengar dari balik tiang awan. Biarlah Ia datang dari sunyi ke bunyi. Sebab mata sering tak sabar. Kecepatan cahaya sekian juta kali lebih rikat ketimbang kecepatan suara - dan di situlah ketakaburan sering terjadi. "Aku datang, aku memandang, aku menang": semboyan ini tak cuma menggambarkan kepongahan Caesar sang penakluk, tapi juga sikap posesif manusia - dengan kemampuannya menatap dan menetapkan terhadap dunia, orang lain, bahkan terhadap Ia yang Maha Lain.

Untuk menangkal sikap "memandang-dan-menang" itulah maka manusia dilarang melukiskan Yang Maha Lain, yang tak dapat ditangkap dengan mata. Jika Yang Maha Kudus tak hendak memperlihatkan wajah-Nya bahkan kepada Musa sekalipun, itu karena manusia akan merugi: ia tak akan menghargai lagi betapa menakjubkan, menggetarkan, dan mempesonanya apa yang tak-tampak, betapa dahsyatnya apa yang tak dapat ditetapkan.

Tapi bisa mutlakkah larangan itu? Seperti diutarakan Amir Hamzah dalam puisinya yang termashur, manusia "rindu rasa, rindu rupa". Suara yang datang dari sunyi ke bunyi tak mampu sepenuhnya memenuhi kerinduan itu. Tuhan selalu diberi "rupa", dan manusia dengan pelbagai cara membuat metafor. Bahkan metafor juga yang dipakai Tuhan sendiri untuk diri-Nya: "Aku akan menudungi engkau dengan tangan-Ku, sampai Aku berjalan lewat". Di gunung batu itu Musa mungkin mendengarkan seraya membayangkan sebuah tubuh agung yang bergerak.

Imajinasi itu bukan berhala. Patung, lukisan, dan ikon jadi berhala ketika mereka diperlakukan sebagai Yang Kudus, ketika sang pengganti disamakan dengan yang digantikan. Di saat itu, Tuhan "cemburu" - seperti dikatakan dalam Perjanjian Lama dan diungkapkan kembali puisi Amir Hamzah. Tuhan "cemburu" karena Yang Kudus telah diperlakukan setaraf dengan sebuah instrumen.

Itu sebabnya membuat gambar Yang Suci berarti memasuki kemungkinan yang saling bertentangan: rupa itu jadi sesembahan, atau sebaliknya, jadi barang keseharian. Kaum Hindu menggambarkan Durga dengan kendaraan yang garang dan tangan-Nya yang banyak (bukankah Yang Kudus, seperti kata Rudolf Otto, menimbulkan rasa gentar, takjub, dan pesona yang intens?), tapi hari-hari ini kaum Hindu Eropa terhina karena iklan whisky Southern Comfort menggambarkan sang Dewi naik macan dengan menggengam botol-botol whisky di semua tangan-Nya..

Tapi selalu salahkah bila Yang Maha Kudus tak hanya dibayangkan sebagai Sabda yang datang dari sunyi ke bunyi, dalam suara? Bukankah kita tak hanya punya telinga, tapi juga mata? "L'oeil, c'est la force", kata Lyotard. Mata adalah daya yang ampuh. Pandang melahirkan rupa (figure), dan figure, dalam teori Lyotard, menerobos dan mengganggu kepastian wacana, discours, yang yakin bahwa konsep, rumusan, dan nalar akan sepenuhnya memadai buat menjelaskan hal ihlwal. Di depan discours, rupa-lah yang menandai, ada yang tak tertangkap wacana dan tak terangkum teks.

Tapi menjadi manusia adalah menanggungkan yang tragis: Tuhan tak juga memperlihatkan wajah-Nya. Selama 40 hari 40 malam, menurut Alkitab, Musa bekerja tak makan roti tak minum air. Ia tuliskan segala perkataan Tuhan, dan kesepuluh Firman akhirnya terpahat pada loh batu.

Dan teks pun jadi. Seperti wahyu Tuhan yang ditulis, dikodifkasikan, dan dijilid sebagai Qur'an, suara pun jadi aksara. Yang-mengalir jadi yang-diukir. Juga di sini mata adalah daya, l'oeil, c'est la force, tapi - berlawanan dengan yang diteorikan Lyotard bukan untuk menggubah dan menghidupkan rupa, bukan untuk mengganggu kepastian wacana, melainkan malah untuk mengukuhkannya.

Ketika suara wahyu jadi huruf tercetak, tak diingat lagi sunyi. Juga seakan-akan tak lagi ada jalan kembali ke dalam sunyi. Firman telah jadi hukum. Loh batu itu kukuh. Ia mewakili Tuhan - bahkan ia seperti Tuhan itu sendiri. Tuhan pun hanya dialami sebagai regulasi. Ia bukan lagi Yang Maha Kudus yang tak hadir, yang senantiasa mengimbau dan memangil, berjanji tapi tak pernah menghampiri.

Tuhan sebagai regulasi tapi regulasi untuk apa? Ketika Yesus bekerja di ladang di sebuah hari Sabbath dan mengabaikan aturan Taurat, sebuah pertanyaan yang mendalam pun tak bisa dilupakan: bukankah hukum itu untuk manusia, dan bukan sebaliknya?

Di hari-hari ini, orang akan harus mendengar pertanyaan itu lagi.

Goenawan Mohamad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus