Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hoyak Hussein! Hoyak Hussein!” teriakan massa begitu bertenaga. Dua puluh lakilaki mengangkat dua peti setinggi 12 meter diiringi tabuhan 12 gendang tasa, menambah semangat prosesi mengangkat tabuik.
Tabuik adalah peti di atas punggung patung kuda berkepala perempuan yang bersayap dan memiliki ekor, disebut buraq. Peti itu dihias dengan kain dan kertas warnawarni dan kembang kertas. Di puncak tercantum sebuah payung kertas. Semua patung ini terbuat dari rangka bambu, rotan, dan kayu dan kertas warnawarni. Tabuik diarak dari pusat kota ke pantai. Kadangkadang peti itu mesti direbahkan dan diseret untuk menghindari kabel listrik dan telepon yang melintang.
Acara arakarakan itu berpuncak ketika kedua tabuik itu dilarung ke laut Samudra Hindia menjelang matahari terbenam. Itu berarti peti jenazah Imam Hussein telah dibawa buraq terbang menuju surga.
Tabuik bukan sekadar patung hiasan. Kedua tabuik itu dibuat di kelurahan yang berbeda sejak 1 Muharam atau 12 hari sebelum dilarung ke laut. Satu disebut Tabuik Pasa (Tabut Pasar), yang lain Tabuik Subarang (Tabut Seberang). Pembuatannya diiringi dengan upacara ritual.
Inilah ritual yang diselenggarakan di Pariaman, Sumatera Barat, setiap 10 Muharam. Ada tujuh prosesi pembuatan tabut yang dimulai sejak 1 hingga 10 Muharam. Acara diawali pengambilan tanah di sungai yang kemudian diletakkan dalam periuk tanah, lalaga, dan dibungkus dengan kain putih. Tanah itu disimpan di lalaga, sebuah wadah yang dipagari dengan parupuk, sejenis bambu kecil. Tanah yang dibungkus kain putih adalah perumpamaan kuburan Hussein. Lalaga diatapi kain putih berbentuk kubah. Tanah akan dibiarkan sampai dimasukkan ke dalam tabuik pada 10 Muharam.
Pada 5 Muharam malam, proses ritual menebas batang pisang—sekali tebas langsung roboh. Ini perumpamaan keberanian Abi Kasim, putra Imam Hussein, menuntut balas kematian bapaknya.
Prosesi dilanjutkan pada 7 dan 8 Muharam, disebut maatam dan maarak sorban. Maatam adalah personifikasi membawa jarijari Imam Hussein yang berserakan ditebas pasukan Raja Yazid bin Muawiyah. Maarak sorban adalah perumpamaan membawa bekas sorban Imam Hussein keliling kota menyiarkan kepada semua orang untuk mengingat keberanian Imam Hussein memerangi musuhnya. Itulah prosesi perayaan Asyura 10 Muharam di Kota Pariaman, Sumatera Barat, dua pekan lalu.
Festival Tabuik dibuka dengan aneka pertunjukan seni tradisional Pariaman indang, tari gelombang, pencak silat, dan tari Melayu. Acara ini dibuka Kepala Dinas Pariwisata Sumatera Barat Yulizar Baharin. Prosesi upacara tabuik seperti itu berlangsung setiap tahun sejak 1831. Ritual Perayaan Asyura dibawa ke Pariaman oleh para pendatang asal Sepoy, India, yang beragama Islam Syiah.
Waktu itu Pariaman merupakan kota pelabuhan terkemuka di pantai barat Sumatera. Para pendatang asal Sepoy sebelumnya adalah para prajurit Inggris asal India di bawah komando Thomas Stamford Raffles yang bermarkas di Bengkulu. Setelah ada Traktat London 17 Maret 1829 antara Inggris dan Belanda, wilayah pesisir barat Sumatera yang dikuasai Inggris diserahkan kepada Belanda dan sebagian prajurit Sepoy memilih tinggal di Pariaman. Merekalah yang menganjurkan diadakannya perayaan Asyura dengan membuat Tabuik untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad SAW.
Penduduk Pariaman sendiri penganut mazhab Syafi’i yang dibawa Syech Burhanuddin, seorang ulama penyebar Islam pertama di Sumatera Barat. Ulama itu mengajarkan agama dengan persuasif, toleran terhadap adat, serta melalui pendekatan kultural. Karena itu pula ritual tabuik bisa diterima.
Acara Asyura ini lazimnya diselenggarakan di berbagai belahan dunia dengan berbagai ragamnya. Di Pakistan, Iran, Irak, dan Afghanistan perayaan itu biasanya diiringi dengan cara mencambuk badan sampai berdarahdarah dengan cambuk kawat berduri. Di Indonesia biasanya diselenggarakan di Cicalengka, Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Sabtu pekan lalu, salah satu organisasi besar Islam di Indonesia, Pemuda Muhammadiyah bersama Ahlul Bayt Jakarta mengadakan acara bersama di Senayan.
Menurut sejarawan Islam Syiah, Omar Hashem, terjadi banyak pergeseran peringatan tragedi pembunuhan Imam Hussein dan pengikutnya itu. Di satu sisi, peringatan itu menjadi sebuah festival bernuansa hurahura, seperti yang diadakan di Bengkulu dan Pariaman. Di tempat lain, ada pula yang memperingatkan peristiwa tersebut dengan cara sedih berkepanjangan. ”Peringatan itu cukup membacakan kisahnya, bahwa pada masa itu terjadi kekejaman manusia yang berkuasa, Yazid kepada Hussein dan pengikutnya, yang mencoba mempertahankan kebenaran yang dibawa kakeknya, Rasulullah,” katanya.
Ahmad Taufik, Febrianti (Pariaman)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo