Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Metafor Mati

20 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hanif Amini

  • Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam

    Jika seorang pembawa acara di sebuah pentas musik berseru, ”Bintang tamu kita malam ini adalah … Farrah SkulleyLowe!” maka tentulah para penonton tak akan tibatiba panik membayangkan sebuah benda angkasa berukuran maharaksasa dengan api menyalanyala sedang turun bertamu ke bumi. Meski mungkin saja mereka lalu berteriakteriak histeris seperti sekumpulan orang yang tengah membayangkan suatu peristiwa mahadahsyat bakal terjadi. Mereka, juga kita, sudah mafhum bahwa yang dimaksud dengan frase bintang tamu adalah seseorang atau suatu kelompok terkemuka yang didatangkan khusus untuk mengisi sebuah acara.

    Demikianlah, kata bintang sebagai kiasan untuk menyebut figur yang dianggap istimewa, berikut pelbagai frase turunannya—bintang film, bintang radio, bintang panggung, bintang kelas, …—kini barangkali lebih sering kita gunakan ketimbang dalam arti harfiahnya sebagai sebuah obyek astronomi atau astrologi. Kita tak lagi merasa ganjil berbicara tentang hadirnya bintang, bahkan dalam jumlah banyak, di permukaan planet kecil yang ramai ini. Dengan kata lain, kata bintang—dalam contohcontoh di atas—adalah sebuah metafor yang sudah mati, a dead metaphor.

    Harimau mati meninggalkan loreng; metafor mati menyumbangkan denotasi baru. Berbeda dengan klise, yakni ungkapan yang sering kali masih terasa mencolok namun sudah kehilangan daya pesona, metafor mati biasanya tak lagi kentara sebagai kiasan. Suhu politik meningkat. Rupiah melemah; rupiah menguat. Pasaran sepi; pasaran ramai. Kabar angin yang beredar mengatakan hargaharga akan naik lagi. Suasana kota itu mulai tegang. Kehidupan tetap berjalan normal. Kaki meja itu patah. Akar masalah sebenarnya adalah kurangnya komunikasi. Dua mahasiswa itu akhirnya hanya berdebat kusir. Pokok pembicaraan mereka sulit ditangkap. Si Anu kini menjadi anggota badan penyantun sebuah rumah yatim piatu. Dia orang yang rendah hati namun keras kepala. Tatapan matanya kadang dingin. Sebenarnya wajah dia cukup manis dan sedap dipandang. Dia tak suka menarik perhatian. Dan seterusnya.

    Metafor yang hidup adalah pertemuan katakata yang berasal dari kategori atau ranah pengalaman yang berlainan, bahkan mungkin berjauhan, yang membentuk pengertian baru. Metafor yang hidup, yang masih terasa sebagai kiasan, tentu bisa bagus (yakni segar dan elegan, karena tak terduga namun jitu) dan bisa juga jelek (yakni loyo dan wagu, karena serampangan namun sekaligus terasa dipaksakan). Metafor yang bagus cenderung akan bertahan dan beredar dalam sebuah bahasa, dan bila di suatu masa ia atau sebagian unsurnya mulai membaur ke dalam pemakaian seharihari tanpa terasa lagi sebagai kiasan—artinya menjadi metafor mati—maka ia bagaikan air sumur yang telah dipakai dan dialirkan ke arus sungai dan akhirnya kembali ke keluasan samudra.

    Metafor menggambarkan suatu gagasan, tindakan, sifat, atau keadaan melalui citraan yang konkret. Dengan demikian, meresapnya metafor mati dalam bahasa seharihari memperlihatkan bahwa bahasa pada dasarnya memiliki pertalian kuat dengan pengalaman indrawi. Maka, tak mengherankan, ada manuver politik yang disebut cantik, tulisan yang jernih atau enak, nyanyian yang menyayat, buku yang meledak di pasaran, dan sebagainya. Bagi cara berpikir yang ketat, barangkali pasangan katakata tersebut tidak bisa diterima karena seperti merancukan atau memelesetkan pengertian. Tetapi persis di sinilah metafor memainkan perannya merangsang daya cipta: ketika arti harfiah dinihilkan, segera orang mencari arti lain yang mungkin terbentuk dari pertemuan katakata itu. Untuk menangkap arti sebuah metafor, orang harus mencari keserupaan yang tersembunyi di balik perbedaan yang tampak, sambil menghayati pengalaman indrawinya: Apa kesamaan laten antara sebuah tulisan dan sepetak kolam (atau seiris bolu kukus), misalnya? Sejilid buku dan sebutir dinamit? Sebuah lagu dan sekeping silet?

    Perbandingan semacam itu mungkin tampak ganjil pada mulanya. Namun, ketika pelbagai hubungan asosiatif yang tersembunyi di balik katakata tersebut kemudian kian jelas, kita akan tahu bahwa metafor, bahkan ketika sudah mati dan tenggelam di lautan ungkapan seharihari, ternyata terus menyumbangkan tenaga kepada bahasa, dan memperlihatkan bahwa dunia bisa lebih kaya daripada yang kita duga.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus