KETERANGAN Direksi Bank Indonesia dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI pada 9 Desember 1993 memberikan pertanda bahwa tingkat laju pertumbuhan kredit perbankan masih akan lamban pada tahun 1994. Sementara itu, walaupun terus menurun, tingkat suku bunga riil di Indonesia masih akan tetap lebih tinggi daripada di luar negeri. Dari keterangan Direksi BI tersebut, saya berpendapat ada tiga hal penting yang terungkap. Pertama, rasio kredit bermasalah yang melekat pada industri perbankan semakin meningkat terhadap nilai total aktivanya. Nilai aktiva pada neraca perbankan adalah sama dengan nilai pasiva ditambah dengan networth-nya. Komponen terpenting aktiva perbankan adalah berupa pinjaman yang diberikannya, sedangkan komponen pasivanya yang utama adalah berupa berbagai jenis deposito yang diterimanya dari deposan. Adapun networth merupakan selisih antara aktiva dan pasiva, dan merupakan kekayaan (modal) pemilik bank. Aturan prudensial yang berlaku dewasa ini mengaitkan besarnya modal dan cadangan bank dengan kualitas aktivanya. Suatu bank disebut sehat jika nilai aktivanya lebih tinggi daripada nilai pasivanya. Peningkatan kredit bermasalah menurunkan nilai aktiva bank. Bila nilai aktiva sama dengan nilai pasiva, modal bank sudah pupus sama sekali. Bank menjadi bangkrut jika nilai pasiva sudah jauh lebih tinggi daripada nilai aktivanya. Dan kredit disebut bermasalah apabila selama tiga bulan berturut-turut tidak menghasilkan bunga. Kredit menjadi macet jika pokok pinjaman tidak dapat dilunasi kembali. Secara implisit, keterangan Direksi BI dalam raker di atas mencerminkan betapa parahnya posisi keuangan perbankan nasional dewasa ini. Dalam raker tersebut, Direksi BI memberikan taksiran rasio kredit bermasalah semua bank terhadap nilai aktiva semua bank, yang telah meningkat dan mencapai Rp 5,6 triliun atau 3,3% dari kredit perbankan pada bulan September 1993. Tidak jelas apakah rasio tersebut sudah memperhitungkan "penyembunyian" kredit bermasalah melalui "plafondering" yang umumnya banyak dilakukan oleh bank-bank nasional. Juga tidak jelas, apakah sudah diperhitungkan kredit macet yang risikonya telah digeser oleh perbankan (umumnya oleh bank-bank pemerintah) pada PT Askrindo, suatu perusahaan asuransi kredit milik negara. Antara lain, karena menjamin kredit bank-bank negara di atas legal lending limits mereka, PT Askrindo telah mengalami kerugian pada tahun 1992 sebesar sepuluh kali lipat daripada modal dasarnya. Taksiran rasio kredit bermasalah (semua bank) yang diungkapkan oleh Direksi BI di atas sudah mendekati nilai modal (CAR) sebesar 5% yang harus dipenuhi oleh semua bank mulai akhir Maret 1992. Tidak diberikan besarnya taksiran kredit macet menurut kelompok pemilikan bank, apalagi posisi individu bank. Mungkin sudah ada bank yang tidak lagi memiliki networth dan bahkan telah bangkrut secara teknis. Hal kedua yang terungkap dari raker Direksi BI dengan Komisi VII adalah bahwa distribusi kredit (termasuk yang bermasalah) adalah terkonsentrasi pada sekelompok kecil nasabah besar (BUMN dan konglemarat swasta). Oleh karena itu, sehat tidaknya industri perbankan nasional sangat bergantung pada kemampuan dan kemauan mereka membayar bunga maupun pokok kredit. Sayangnya, DPR tidak meminta bagaimana distribusi kredit menurut jumlah, dan bagaimana profil distribusi kredit pada 50 nasabah "superkakap" yang disebut oleh Direksi BI tersebut. Kemampuan nasabah ("super-") kakap untuk melunasi kredit, tampaknya, akan semakin melemah. Pada umumnya, mereka merupakan pemangsa rente. Kelayakan usaha mereka sangat bergantung pada perlindungan pasar yang berlebihan, akses khusus pada pengadaan barang oleh negara (dan BUMN), harga bahan baku yang murah, dan restrukturalisasi kredit dari bank-bank negara. Deregulasi, yang tengah dilakukan oleh Pemerintah, akan semakin memangkas rente sehingga mengganggu kelayakan usaha BUMN dan para konglomerat swasta tersebut. Sementara itu, belum ada satu pun yang menggunakan rente, yang selama ini mereka nikmati, untuk memperkukuh usahanya sendiri sehingga memenuhi standar efisiensi internasional. Oleh karena itu, sebagian dari kredit tersebut akan menjadi macet sama sekali. Hal ketiga yang terungkap dari raker Direksi BI dengan Komisi VII, belum ada program Pemerintah untuk mengatasi kesulitan pokok industri perbankan, yakni menambah modal serta menyelesaikan kredit bermasalah. Oleh karena itu, dapat diharapkan bahwa jumlah bank (swasta) nasional akan menyusut pada tahun-tahun mendatang. Dibandingkan dengan besarnya kredit macet mereka, ternyata belum cukup berbagai bentuk suntikan modal pada bank negara yang telah dilakukan selama ini. Penambahan modal tersebut, antara lain, bersumber dari pinjaman dari Bank Dunia sebesar US$ 307 pada bulan September 1992. Sementara itu, bank-bank swasta pada hakikatnya diminta untuk mengupayakan sendiri penambahan modalnya. Untuk bank yang "sakit", BI menjalankan berbagai taktik "burung unta". Pertama, dengan mempe-kerjasama-kannya dengan bank-bank lainnya. Pengalaman menunjukkan bahwa hasil dari kebijaksanaan ini justru telah menyebarkan wabah penyakit pada bank-bank lainnya. Kedua, "merestui" plafondering. Pengalaman menunjukkan bahwa kebijaksanaan seperti ini hanya sekadar menunda masalah sehingga menjadi lebih besar dan tidak terkontrol di belakang hari. Ketiga, menggeser risiko kredit pada kas negara melalui perantaraan PT Askrindo. Ada tiga alasan pokok mengapa tidak banyak dapat diharapkan penyelesaian kredit bermasalah dengan mengikutsertakan pihak kejaksaan dan Badan Penyelesaian Utang Negara (BPUN). Pertama, karena masih lemahnya sistem hukum (khususnya hukum komersial) dan sistem akuntansi kita. Kedua, sebagai instansi pemerintahan, kedua lembaga itu mengalami keterbatasan anggaran, gaji karyawan yang rendah, serta kekurangan tenaga profesional. Sekadar "menakut-nakuti" debitur pun, barangkali, belum tentu efektif. Padahal, umumnya nasabah "superkakap" punya "beking" yang lebih kuat daripada "taring" kejaksaan maupun BPUN. Selain kredit bermasalah yang belum terlihat jalan keluarnya itu, hal lain yang juga perlu disorot dalam dunia perbankan adalah tendensi penurunan tingkat suku bunga deposito maupun kredit, yang telah dimulai sejak triwulan II tahun 1992 dan akan tetap berlangsung dalam masa mendatang. Tingkat suku bunga nominal deposito berjangka 3 bulan telah menurun dari 21,88% (1991) menjadi 16,72% (triwulan IV 1992) dan di bawah 11% dalam bulan November 1993. Tingkat suku bunga nominal kredit modal kerja berkurang dari 25,12% (1991) menjadi 22,09% (triwulan IV 1992) dan 19,30% dalam bulan September 1993. Namun, tingkat suku bunga riil deposito berjangka justru telah meningkat dari 11,46% (1991) menjadi 11,78% (triwulan IV 1992). Dalam periode yang sama, tingkat suku bunga riil kredit modal kerja meningkat dari 14,59% menjadi 17,15%. Ada dua cara yang dilakukan oleh BI untuk merangsang penurunan tingkat suku bunga. Pertama, menurunkan tingkat suku bunga SBI. Cara pelelangan SBI pun iubah sejak 1 Juni 1993, yaitu dari sistem COR (yang memagu tingkat bunga) ke sistem SOR (yang menentukan volume). Kedua, merangsang pemasukan modal jangka pendek, seperti pembelian pihak asing pada SBI, surat berharga yang dijual oleh bank di Indonesia, maupun sekuritas yang dijual di bursa efek di Indonesia. Tingkat laju penurunan tingkat suku bunga deposito jauh lebih cepat daripada penurunan tingkat suku bunga kredit bank. Ini berarti spread tingkat suku bunga bank masih tetap tinggi. Spread tingkat suku bunga bank merupakan selisih antara tingkat suku bunga kredit dan depositonya. Peningkatan spread tingkat suku bunga merupakan bagian dari strategi bank untuk memperbesar tingkat keuntungan dari setiap rupiah kredit yang diberikannya. Melalui keuntungan itu, bank dapat memupuk kembali cadangan dan menambah modalnya. Dengan membandingkan tingkat suku bunga nominal kredit modal kerja dengan deposito berjangka tiga bulan, spread perbankan telah meningkat dari 3,24% (1991) menjadi 5,27% (triwulan IV 1992) dan 5,54% (September 1992). Pemasukan modal jangka pendek dirangsang oleh tingginya perbedaan tingkat suku bunga di dalam negeri dengan tingkat suku bunga di pasar keuangan internasional. Dewasa ini, masih banyak bank nasional devisa di Jakarta yang menawarkan tingkat suku bunga deposito berjangka 1 tahun dalam dolar AS sekitar 56% dibandingkan dengan 1,5% di Singapura. Selama BI berpegang pada kebijaksanaan moneternya seperti itu, proses penurunan tingkat suku bunga, nominal dan riil, akan terus menurun pada tahun 1994 hingga mendekati tingkat suku bunga yang berlaku di pasar internasional. Namun, spread antara tingkat suku bunga di dalam negeri dan di pasar dunia masih akan tetap tinggi. Ada dua komponen yang menyebabkannya. Pertama, komponen yang mencerminkan harapan masyarakat akan perubahan nilai tukar rupiah. Kedua, komponen yang mencerminkan berbagai bentuk hambatan lalu lintas modal antarnegara. Salah satu faktor penghambat ke arah penurunan tingkat suku bunga hingga mendekati tingkat suku bunga di pasar dunia ialah bila BI mengetatkan kembali pemasukan modal jangka pendek. Sasaran kebijaksanaan ini adalah mengendalikan stabilitas internal dan eksternal perekonomian. Seperti yang telah dirasakan dewasa ini, pemasukan modal jangka pendek itu telah menghadapkan BI pada dua alternatif pilihan yang serba tidak enak. Guna merangsang ekspor nonmigas, BI perlu mendepresiasikan nilai tukar rupiah sebesar perbedaan tingkat laju inflasi di dalam negeri dengan di luar negeri. Untuk itu, BI terpaksa membeli devisa yang masuk tersebut sehingga menambah jumlah uang beredar dan menyulut inflasi. Bila tidak, mata uang rupiah akan menguat sehingga kurang merangsang bagi peningkatan ekspor nonmigas. Maka, kurs rupiah senantiasa berayun di antara dua pilihan tersebut. Oleh karena itu, sesungguhnya tidaklah terlalu mengejutkan bila nilai tukar rupiah, yang selama ini mengalami depresiasi, pada bulan Oktober-November lampau justru menunjukkan sedikit apresiasi. Soalnya, kebijaksanaan seputar nilai rupiah masih tetap mengutamakan ekspor nonmigas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini