Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Seni, pluralisme, dan kapitalisme di tengah kita

Melalui kelompok kapitalis, posisi romantik para seniman hanyalah mitos. pertumbuhan ekonomi dan politik berpengaruh besar terhadap kreativitas seni

8 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH terlalu lama para seniman hidup dalam citra romantik: citra sebagai pencari esensi kenyataan. Citra itu tidak semata- mata dipercayai secara pribadi oleh seniman (karena dengan itu mereka punya daya untuk berkarya), tapi juga ditegakkan oleh kritikus, akademi seni, pusat kesenian, museum, dan pasar seni di zaman modern. Seni modern, kata seorang filosof, mewujudkan kebenaran yang dilupakan. Dalam sejarah Eropa, munculnya seni modern mengiringi munculnya borjuasi, yakni kaum yang memperjuangkan ekonomi pasar, industrialisasi, dan demokrasi perwakilan. Seni modern menyokong mereka menghayati dan mempraktekkan kebebasan individual. Pada gilirannya, pengaruh borjuasi meluas dan menguat, menjadi kapitalisme, dan tersebar ke seluruh dunia. Kapitalisme yang marak di Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir tentu saja bukan kapitalisme yang tumbuh dari sejarah dan etos borjuasi. Tapi tak berarti kapitalisme di Indonesia itu tak berjasa sama sekali dalam mengembangkan kesenian. Ambil contoh, boom lukisan beberapa tahun lalu. Sejumlah orang kaya (baru) berduyun-duyun membeli lukisan, terutama yang bergaya dekoratif. Mereka pastilah kaum yang diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomi kita. Mereka bukanlah kaum borjuasi dalam pengertian Eropa. Membeli lukisan tidaklah berarti mendukung eksistensi seni rupa secara menyeluruh, dalam jangka panjang. Ditilik lebih mendalam, boom lukisan tak semata-mata berpaut dengan "sukses" kapitalisme dalam negeri. (Ya, kapitalisme hanya berarti kalau kita letakkan di aras dunia.) Yang terjadi sejak Orde Baru adalah internasionalisasi ekonomi. Dunia usaha tumbuh, dan desain pun dibutuhkan secara besar-besaran. Terjadilah boom desain yang mendorong internasionalisasi gaya dan selera. Misalnya, mekarnya desain interior (di kantor, hotel, dan rumah pribadi) menciptakan kebutuhan akan lukisan. Inilah ditulari pula oleh kecenderungan mengoleksi lukisan sebagai investasi (yang lagi marak di negara-negara kapitalis) yang pada gilirannya menggerakkan boom lukisan. Pasar seni rupa kita mungkin tak berbeda dengan pasar barang eksklusif. Ia bersifat musiman. Di Eropa dan Amerika Serikat, pasar itu, karena menyatu dengan jaringan penilaian seni rupa (yakni warisan borjuasi itu), mampu memicu lahirnya sebuah aliran dan melembagakannya. Di Indonesia, pasar seni rupa kita cukuplah dikatakan bahwa ia menciptakan kegelisahan yang tak kecil di kalangan para perupa kita. Di satu pihak, ia dianggap mengotori "kesucian" seni rupa. Di lain pihak, ia setengah dirayakan sebagai penggerogot elitisme dan kemapanan yang dipelihara oleh sejarah seni rupa kita. Dengan kata lain, kekuatan pasar dalam arti luas telah mendorong heterogenitas. Heterogenitas itu pula yang secara tajam diperjuangkan oleh para kritikus seperti almarhum Sanento Yuliman, Jim Supangkat, dan Ariel Heryanto. Mereka menggempur kriteria universal dan hierarkis yang merajalela dalam kesenian Indonesia. Kriteria itu sebenarnya hanya berakar pada sejarah kaum intelektual- modernis Indonesia, bukan yang didukung oleh kelas sosial tertentu (seperti borjuasi di Eropa) ataupun oleh politik kebudayaan negara. Gugatan para kritikus itu lebih merupakan dekonstruksi terhadap sejarah kesenian kita yang dihantui oleh modernisme Barat. Jika ada kesamaan dalam mendorong heterogenitas, tak berarti para kritikus itu bersekutu dengan pasar. Mereka "cuma" mendudukkan kembali kesenian sebagai gejala kemasyarakatan. Melalui merekalah kita tersadar bahwa posisi romantik seniman hanyalah mitos bahwa ada pengaruh amat besar (meski tersembunyi) dari perubahan ekonomi-politik terhadap kreativitas seni. Setidaknya, gagasan mereka dapat membukakan penerimaan yang lebih sehat terhadap pergolakan di dunia internasional, yakni pergolakan yang, ternyata, tak terpisahkan dari sepak terjang kapitalisme mutakhir. Di aras dunia, kapitalisme mutakhir adalah kapitalisme yang telah berubah watak karena telah banyak belajar dari pelbagai rongrongan dan kritik. Kapitalisme yang titik beratnya bergeser dari industri manufaktur ke industri jasa dan informasi. Kapitalisme yang, demi kepentingan jangka panjang, secara cerdas mengakomodasi tuntutan serikat pekerja, kelangsungan hidup lingkungan, dan daya kreatif/kritis konsumen. Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak unsur sosialisme ke dalam dirinya. Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip desentralisasi dan deregulasi karena sistem terpusat tak sigap menghadapi perubahan cepat. Kapitalisme yang tidak menawarkan keseragaman gaya/citra kultural karena pasar dan tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu jauh. Maka, di zaman kapitalisme mutakhir, munculnya apa yang disebut "postmodernisme" sungguh niscaya. Postmodernisme bukanlah anti modernitas, seperti yang sering disalahpahami di Indonesia. Postmodernisme membongkar patologi modernitas yang terlalu percaya pada penalaran rasional dan perkembangan sejarah sosial yang linier. Itu menunjukkan bahwa sistem pengetahuan yang tersebar ke seluruh dunia (yang telanjur dianggap objektif, netral, dan universal itu) ternyata diselimuti kekuasaan. Postmodernisme merongrong Erosentrisme, atau secara umum kepemimpinan Barat dalam kancah kebudayaan dunia. Postmodernisme memunculkan otherness (misalnya kaum minoritas dan Dunia Ketiga) yang selama ini dilecehkan sekaligus dieksploitasi, dan dengan demikian mengobarkan pluralisme. Gugatan kaum postmodernis bukannya percuma. Pluralisme nyata dioperasikan oleh pelbagai sentra pengumpulan dan penyebaran pengetahuan di Barat. Penerbit-penerbit dan universitas- universitas menerima baik karya-karya sastra Amerika Selatan, Afrika Utara, dan pelbagai negara bekas jajahan. Museum-museum memperbaiki dasar kurasi mereka sehingga dapat menampung seni rupa Dunia Ketiga yang tadinya dilecehkan (dianggap sebagai "varian seni rupa modern Barat"). Tentang pluralisme yang dipraktekkan Barat ini, kita dapat melihatnya dalam dua segi. Pertama, Barat melakukan pertobatan tentang kecongkakan dan kesalahan yang mereka perbuat semenjak kolonialisme. Kedua, pluralisme punya dampak ekonomis karena ia adalah bagian dari keanekaragaman pasar dan sumber daya. Jika belakangan ini pluralisme (baca: postmodernisme) diperdebatkan dengan ramai oleh kaum terpelajar Indonesia, jelas mereka telah dapat mengambil "manfaat", langsung atau tidak, dari gejolak kapitalisme mutakhir. Setidak-tidaknya, debat itu merupakan tanda dari kegelisahan terhadap kejenuhan, terhadap usaha totalisasi dan penyeragaman berlebihan, di pelbagai bidang. Tentu saja pluralisme tidak dengan sendirinya merupakan kenyataan, tapi juga bukan tanpa perwujudan sama sekali, di lapangan kesenian terutama. Kesenian mutakhir kita memperlihatkan gerak "menjauh dari pusat". Selama lima tahun terakhir, kita menyaksikan pelbagai kreasi, pikiran, dan kegiatan cermerlang dari kantong-kantong, "laboratorium- laboratorium" kecil. Gerak menjauh dari pusat ini barulah langkah pertama: menolak wibawa sang "pusat" yang dikuasai kaum modernis nasional. Seni rupalah yang paling kencang dan tajam. Dengan menyiasati pergeseran kriteria dalam seni rupa internasional, ia merombak dasar penilaian dan sejarahnya sendiri. Di tahun-tahun mendatang, perkembangan kesenian kita bergantung pada kantong-kantong kecil itu. Telah terbukti, pusat kesenian yang terlalu besar ternyata jadi boros dan birokratis: ia terlalu sibuk mengurus kelangsungan hidupnya sendiri, bukan melihat arus-arus baru kesenian. Kantong-kantong kecil itu dihidupi oleh wawasan pluralis spontan, murah, lentur, segar, dan tabah. Mereka yang menghidupi kantong- kantong kecil itu terutama adalah yang dibesarkan di tengah maraknya kapitalisme dalam negeri yakni kapitalisme yang "kuno" tapi kerap menyerah pada tuntutan kapitalisme internasional mutakhir. Mereka menderita "skizofrenia" karena menyaksikan secara terus-menerus keretakan antara kebudayaan dan politik: sementara kebudayaan kian kompleks dan kosmopolitan, politik kian nasionalistik dan monolitik. Tapi skizofrenia itu ternyata produktif: membuat mereka tak mempercayai totalisasi dan pemusatan. Wajarlah kalau mereka menghidupkan wacana-wacana kecil. Mereka pasti tak menolak pusat (-pusat) kesenian karena mereka tahu bahwa pusat kesenian bukan saja berguna, tapi juga sudah menjadi bagian dari sejarah kesenian Indonesia. Yang mereka tolak adalah anggapan bahwa pusat kesenian merupakan pusat gerakan dan penilaian. Tanda-tanda perubahan sikap di pusat kesenian bukannya tak ada. Jika pada akhir 1993 sampai awal 1994 kita menyaksikan Bienniale Seni Rupa IX di Taman Ismail Marzuki, tahulah kita bahwa pusat kesenian itu tengah beradaptasi dengan arus-arus baru. Itulah agaknya pameran besar seni rupa yang paling kontroversial: dibikin dengan prinsip- prinsip "postmodernisme" dan dengan demikian mau menggempur (sekali lagi) kriteria modernis-universalis yang lama tertanam dalam perjalanan seni rupa kita. Jika "postmodernisme" dan "pluralisme" cuma cap, alangkah berbahayanya. Jika mereka yang menyanjung postmodernisme hanya sibuk memberi nama "postmodern" pada karya-karya dan praktek- praktek tertentu, seraya fasih mengutip Foucault, Derrida, Lyotard, dan Jencks, mereka pasti sudah karam sejak dini. (Sehingga, salah seorang lawan teoretis mereka juga terpaksa mengecap Dewi Soekarno sebagai "tokoh postmodernis paling aktual.") Sebagai komoditi intelektual, "postmodernisme" tersebar bersama pelbagai komoditi lain melalui gerak kapitalisme internasional. Tapi postmodernisme sekaligus adalah reaksi paling konsisten terhadap kapitalisme (baca: modernisme). Postmodernisme di Indonesia memang bukan untuk dihafal apalagi dipraktekkan secara "murni dan konsekuen". Tapi selayaknyalah bila postmodernisme itu memberikan optimisme dan daya kritis karena membukakan begitu banyak kemungkinan dan arah kemajuan. Dan jika pluralisme mulai menjadi kenyataan di lapangan kesenian, kaum (yang merasa diri) pluralis belum layak lega. Mereka harus tahu bahwa pelbagai bidang kehidupan masih dikuasai oleh prinsip-prinsip pemusatan, totalisasi, dan kemajuan monolinier. Paling tidak, mereka dapat menunjukkan bahwa unit-unit dalam masyarakat bukanlah sekadar titik-titik sasaran kekuasaan, melainkan juga yang mempergunakan kekuasaan secara aktif. Itu juga mengungkapkan bahwa sistem yang besar ini mula-mula merupakan konstruksi pikiran sebelum jadi kenyataan. Itulah sebabnya, praksis di bidang yang "kecil" seperti kesenian menyemburkan dua kemungkinan: menelanjangi legitimasi sistem besar atau menyepelekannya sama sekali. Jika pluralisme di pelbagai bidang kehidupan masih jauh panggang dari api, kesenian setidaknya dapat memberikan pelajaran pada politik: bahwa menekan perbedaan atas nama kemajuan dan ketertiban adalah sebuah kekeliruan besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus