SEJAK tahun 1989, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun secara teratur. Setelah mencapai tingkat 7,5% di tahun 1989, pertumbuhan itu melorot ke 7,2% untuk 1990, lalu turun lagi ke 6,9% di tahun 1991, dan masih meluncur ke 6,3% pada tahun 1992. Banyak kalangan berpendapat bahwa tahun 1993 akan merupakan titik balik ke pertumbuhan setinggi 6,5 hingga 7%. Bila hal itu terjadi, pertanyaan terpenting adalah, mengapa pertumbuhan bisa meningkat pada tahun 1993. Apakah lantaran faktor-faktor perbaikan di dalam negeri, atau karena sebab-sebab eksternal? Saya memperkirakan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal. Kita amat dibantu oleh meningkatnya investasi portfolio melalui pembelian saham di pasar modal. Peningkatan IHSG (indeks harga saham gabungan) di Bursa Efek Jakarta dari angka di bawah 300 awal tahun ini, lalu melonjak ke angka 500 lebih pada saat sekarang, paling banyak tentu disebabkan olehbesarnya minat investor asing untuk membeli saham di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Pembelian saham ini merupakan sumber dana bagi perusahaan yang masuk bursa, untuk memperluas kegiatan usaha, tanpa perlu meminjam uang ke bank. Karena itu pula perluasan tersebut cenderung under-reported dalam angka-angka investasi BKPM. Barangkali Anda kaget bila mengetahui bahwa dari awal tahun 1993 telah terjadi peningkatan kapitalisasi pasar di Bursa Efek Jakarta dari 24,839 triliun rupiah menjadi 62,1 triliun rupiah (per 19 November 1993). Ini berarti, potensi Bursa Efek Jakarta meningkat hampir 3 kali lipat dalam waktu kurang dari 11 bulan, dan pada saat yang sama kemampuan emiten untuk memobilisasi dana naik berlipat ganda. Keberhasilan pertumbuhan 1993, kalau benar, untuk bagian yang penting dapat diterangkan oleh faktor eksternal tadi. Tetapi, bagaimana dengan prospek 1994? Saya memperkirakan, faktor internal akan turut menyumbang pada peningkatan pertumbuhan, asalkan kita mampu meningkatkan desentralisasi ekonomi. Nah, sampai di sini apakah cukup realistis untuk membahas prospek desentralisasi? Pertama-tama, saya harus menoleh kepada Paket Oktober 1993 yang mengandung unsur yang jarang muncul dalam paket-paket deregulasi sejak tahun 1983. Meskipun berbagai deregulasi itu mempunyai dampak yang amat besar pada pasar barang dan jasa, perubahan yang terjadi sesungguhnya hanyalah deregulasi pada tingkat pusat. Tapi, dengan Deregulasi Oktober 1993, akan terjadi perubahan yang pada hakikatnya mengandung elemen desentralisasi yang cukup kuat. Keputusan Presiden RI No. 97/1993 tentang tata cara penanaman modal tercantum dalam pasal 2 yang mengatur penanaman modal asing menetapkan prosedur yang memberi kekuasaan berarti pada Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat II atau satuan kerja teknis atas nama bupati/wali kota serta sekretaris wilayah/daerah tingkat II. Bunyi pasal 2 itu tak bisa tidak memastikan pejabat di daerah setingkat kepala dinas berwenang mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB) dan izin UU Gangguan (UUG/HO). Ketentuan itu merupakan terobosan, yang dibakukan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7/1993 (bab 2 dan bab 3), disertai dua lampiran yang mengatur format permohonan IMB dan izin UUG. Dengan penyederhanaan prosedur perizinan pencadangan tanah dan izin operasi, dan diperbolehkannya investor langsung berhubungan dengan Badan Pertanahan Nasional Dati II untuk mendapatkan izin lokasi, sudah cukup banyak saluran birokrasi yang dipangkas. Bahkan, ketentuan bahwa pelaksanaan konstruksi bangunan industri dapat dimulai tanpa menunggu terbitnya IMB seharusnya bisa memacu inisiatif pengusaha industri. Di atas kertas, diakui Paket Oktober 1993 ini menawarkan hal- hal positif. Namun, kalau dikaji lagi, masih ada saja kendala yang cukup serius. Kendala itu adalah masih belum membaiknya kondisi keuangan pemerintah daerah. Bukan rahasia lagi bagaimana daerah praktis menggantungkan diri pada APBN, sementara sumber-sumber dana yang dapat mereka kumpulkan secara resmi amat terbatas. Memang ada pajak bumi dan bangunan (PBB) yang mendukung sumber penerimaan daerah, tapi masih terlalu banyak kebutuhan daerah yang tidak bisa dipenuhi. Maka, muncullah bermacam inisiatif yang menyebabkan terjadinya keputusan-keputusan pemda yang secara hukum sebetulnya lemah. Bahkan keputusan pemda bisa bersifat interpretatif dengan pengertian bercampurnya kepentingan pemda dan kepentingan oknum-oknum di dalam pemda. Menyadari keterbatasan dana yang tidak cukup mendukung kegiatan operasional pemda seperti itu, tak berlebihan kiranya bila dikhawatirkan bahwa hal tersebut akan bermuara pada penyalahgunaan wewenang. Ekonomi kita pernah overheated pada tahun 1989 dan 1990, disusul Gebrakan Sumarlin II yang memporakporandakan berbagai macam kegiatan dunia usaha yang dibebani suku bunga amat tinggi. Bandingkanlah dengan Cina, yang bertahun-tahun mencatat pertumbuhan 12%, tetapi sebagian wilayahnya saja yang overheated. Di mana kunci keberhasilan Cina, yang kita sendiri tidak punya? Kunci keberhasilan Cina, juga Thailand maupun Malaysia, adalah sikap birokrasi pusat yang rela membagi kekuasaannya ke daerah. Di Indonesia, Paket Oktober 1993 merupakan awal sikap serupa. Hanya masalahnya, awal ini mengandung begitu besar kendala dan tantangan, yang tak mudah dihadapi. Merupakan tantangan besar misalnya, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 7/1993, yang memungkinkan pemda tingkat kabupaten langsung mengeluarkan izin dengan "mem-by pass" aparat pemda tingkat provinsi. Implementasi pergeseran wewenang itu tentulah tidak akan gampang. Padahal, agar mampu bertumbuh dengan kecepatan tinggi tanpa diganggu overheating, diperlukan desentralisasi lebih lanjut dan perbaikan hubungan keuangan pusat dan daerah yang bersifat substantif. Bila agenda kebijaksanaan tahun 1994 memberikan porsi yang besar pada kedua hal tersebut, sangat boleh jadi pertumbuhan ekonomi 1994 akan lebih tinggi dari 1993.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini