APBN 1994/1995 akan memikul sejumlah beban yang cukup berat. Pertama, sebagai ABPN awal Pelita VI, ia harus mencerminkan langkah menuju kemandirian seperti yang diamanatkan oleh GBHN 1993. Hal semacam itu bisa ditampakkan dalam tabungan pemerintah yang lebih besar dan bantuan luar negeri yang semakin kecil, minimal tidak meningkat. Kedua, sebagai konsekuensi kesinambungan pembangunan, APBN 1994/1995 tidak bisa tidak menerima warisan (carry over) Pelita V khususnya dan PJPT I pada umumnya, yang berupa masalah- masalah struktural seperti penerimaan negara, kesenjangan pendapatan, kesenjangan antardaerah dan kesenjangan sosial, ketenagakerjaan, kualitas sumber daya manusia, defisit transaksi berjalan. Meskipun secara umum perekonomian Indonesia telah mengalami perubahan struktural, sering disebutkan bahwa perubahan itu masih bersifat semu. Masalahnya adalah keseimbangan antara sektor pertanian dan sektor industri sudah tercapai, tapi hal itu tidak diikuti oleh perubahan alokasi tenaga kerja ke dalam sektor-sektor tersebut. Sampai saat ini, lebih dari 50% angkatan kerja masih bekerja di sektor pertanian, dan hanya sekitar 10% yang bekerja di sektor industri. Selain itu, rasio penyerapan tenaga kerja rendah sekali, hanya 0,3%. Ini berarti, bila ekonomi tumbuh dengan 6%, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja hanya 1,8%, padahal pertumbuhan angkatan kerja mencapai 3% setiap tahun. Dalam kaitan dengan penerimaan negara, sumber migas sudah tidak lagi dominan, tapi nilainya, yang meliputi 22% sisi penerimaan APBN, masih tetap sangat menentukan. Mengapa demikian? Tak lain karena penerimaan nonmigas termasuk penerimaan pajak hanya cukup untuk menutup pengeluaran rutin (pada APBN 1993/1994, sekitar 37 triliun rupiah). Dengan kata lain, penerimaan migas itulah yang menentukan besar kecilnya tabungan pemerintah (selisih antara penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin). Karena besar kecilnya hasil migas bergantung pada harganya di pasar internasional, dan harga itu berada di luar kendali kita, besar kecilnya tabungan pemerintah amat bergantung pada faktor eksternal. Sementara itu, penerimaan pembangunan (pinjaman luar negeri) juga diliputi oleh faktor-faktor eksternal yang juga di luar kendali kita, seperti kebijaksanaan negara donor (berkaitan dengan HAM misalnya), menurunnya pertumbuhan ekonomi negara-negara pemberi pinjaman, munculnya negara-negara baru yang lebih memerlukan bantuan seperti di Eropa Timur dan Afrika. Perlu dicatat, sejak tahun anggaran 1987/1988, jumlah pinjaman yang kita terima tidak imbang lagi dengan keharusan membayar bunga dan cicilan utang, sehingga terjadi aliran modal neto ke luar negeri. Dalam APBN tahun ini, tingkat pinjaman itu sekitar 0,5 miliar dolar lebih kecil dari bunga dan cicilan utang yang harus dibayar, tapi karena apresiasi yen, diperkirakan selisih itu mencapai 1,5 miliar dolar. Apabila besar kecilnya sisi penerimaan mengalami ketidakpastian, pada sisi pengeluaran sebaliknya yang terjadi. Pengeluaran rutin cenderung naik, yang langsung terlihat dari pembayaran bunga dan cicilan utang. Kondisi seperti inilah yang hampir pasti akan mewarnai APBN 1994/1995. Satu hal yang juga penting untuk disimak tapi selalu luput dari pengamatan adalah neraca transaksi berjalan yang selama 25 tahun selalu mengalami defisit (kecuali pada tahun 1990). Suka atau tidak suka, defisit masih akan melekat pada neraca pembayaran tahun anggaran mendatang. Ini karena defisit pada neraca jasa-jasa selalu jauh melebihi surplus neraca perdagangan, akibat tingginya bunga dan cicilan utang. Dalam pada itu, perekonomian Indonesia masih akan memikul beban ekonomi biaya tinggi, di samping persaingan yang semakin ketat seiring dengan proses globalisasi. Perekonomian Indonesia juga harus berhadapan dengan kecenderungan regionalisme yang proteksionistis. Oleh karena itu, deregulasi di sektor riil, seperti Pakto 23, harus diteruskan. Ekspansi kredit perbankan minimal 17% harus tetap diusahakan, tingkat suku bunga deposito yang sudah cukup rendah saat ini harus diimbangi dengan tingkat suku bunga pinjaman dengan spread yang tidak terlalu besar, maksimal 5%. Dalam kaitan ini, yang harus diwaspadai adalah bila tingkat suku bunga deposito menjadi sedemikian rendah hingga, jika dikurangi dengan pajak dan tingkat inflasi, menjadi negatif. Kalau hal seperti itu terjadi, beberapa kemungkinan berikut harus diantisipasi. Pertama, bila tingkat bunga di luar negeri lebih tinggi (saat ini belum), kemungkinan modal akan lari ke luar negeri. Kedua, bila kondisi pasar modal dan iklim investasi pada umumnya baik, investasi akan meningkat, yang tentu akan membawa dampak inflatoir. Jadi, kebijaksanaan fiskal maupun neraca pembayaran awal Pelita VI dibayangi oleh berbagai kerawanan, baik karena tidak menentunya harga minyak maupun pinjaman luar negeri. Dengan harga patokan minyak untuk APBN 1994/1995 antara 15 dan 16 dolar per barel, berarti penerimaan migas hanya sekitar 14,5 triliun rupiah. Jumlah ini lebih kecil dibanding APBN berjalan, tetapi untuk tahun pertama Pelita VI, tidak akan mengkhawatirkan. Pemerintah masih memiliki Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP) sekitar 3,5 triliun rupiah dan cadangan devisa sekitar 12 miliar dolar. Dengan harga patokan migas 1516 dolar, volume APBN masih akan naik menjadi sekitar 68,5 triliun rupiah naik 10% dari APBN tahun ini, yang jumlahnya 62,3 triliun rupiah. Karena angka kenaikan itu setara dengan perkiraan tingkat inflasi tahun ini, APBN 1994/1995 hanya akan jalan di tempat. Lalu, penerimaan dalam negeri akan berjumlah sekitar 58,5 triliun rupiah dan peneriman pembangunan sekitar 10 triliun rupiah, sementara tabungan pemerintah mencapai 17,5 triliun rupiah. Dengan angka-angka serta permasalahan yang dipaparkan di atas, APBN 1994/1995 masih belum mempunyai ciri khusus sebagai APBN awal kemandirian. Adalah benar bahwa kehendak Pemerintah untuk menyerahkan 70% investasi kepada swasta telah menandai adanya perubahan besar. Dan turunnya tingkat bunga mungkin dapat mendukung optimisme Pemerintah pada peran swasta. Yang jadi pertanyaan, apakah kondisi sektor swasta yang seperti sekarang akan mampu mengemban harapan dan niat baik Pemerintah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini