Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi baru saja mengungkapkan keberhasilan mencokok sejumlah aktivis Jamaah Islamiyah. Selain itu, ditemukan bahan peledak dan senjata api mereka di berbagai lokasi. Ini jelas pukulan telak bagi gerakan teroris di Indonesia, tapi bukan berarti terorisme telah terbasmi di negeri ini.
Maklum, terorisme adalah sejenis pe-nyakit sosial. Seperti penyakit betulan, ia tak mungkin dimusnahkan selama manusia bermasyarakat. Yang mungkin dilakukan hanyalah membuatnya terisolasi, meminimalkan daya rusaknya, dan—ini yang paling penting—menjinakkan kemampuannya untuk mewabah.
Ketiga kegiatan ini memang sedang dilakukan di Indonesia. Pemindahan tersangka teroris Sarwo Edi Nugroho dan lima anggota jaringannya ke tahanan markas Brimob di Kelapa Dua, Selasa pekan lalu, adalah contoh upaya pengisolasian oleh aparat keamanan. Pengejaran terus-menerus dan secara intensif buat mencokok teroris yang masih berkeliaran dimaksudkan untuk menyempitkan daya rusak mereka—taktik yang kelihatannya cukup jitu, terbukti sejak tahun lalu tak ada lagi serangan bom besar.
Namun itu bukan berarti ancaman bom telah sirna. Cukup banyak bahan bom yang disita dalam penggerebekan yang dilakukan polisi tiga pekan silam. Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto menyatakan jumlahnya memadai untuk meracik peledak berkekuatan dua kali lipat bom Bali pada 2002. Ini lantas memunculkan pertanyaan: mengapa bahan peledak itu belum digunakan?
Informasi yang diutarakan Sarwo Edi Nugroho kepada wartawan majalah ini melontarkan sebuah dugaan. Kemampuan Jamaah Islamiyah telah terlemahkan oleh perpecahan internal. Sarwo, misalnya, mengaku pernah menolak permintaan bantuan Noor Din M. Top, buron asal Malaysia yang diduga terlibat berbagai kegiatan peledakan bom di Indonesia, untuk melakukan aksi serangan bom bunuh diri.
Selain dilemahkan perpecahan yang memang biasa ter-jadi pada gerakan bawah tanah, doktrin Jamaah Islamiyah ternyata mulai digerogoti pembelotan. Para pelaku gerakan yang telah sadar atas kesesatan strategi perjuangannya kini membantu polisi dalam menginsyafkan rekan-rekan mereka yang baru tertangkap aparat hukum. Peran para mantan ”guru” ini dalam mendapatkan informasi dari para bekas ”murid”-nya ternyata sangat efektif. Terbukti lebih dari 400 aktivis Jamaah Islamiyah kini berada dalam tahanan.
Pembelotan tokoh senior Jamaah Islamiyah itu umumnya bukanlah dari sisi ideologi, melainkan strategi. Me-reka kini yakin jalan kekerasan dalam memperjuangkan aspirasi politik jauh lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Alih-alih mendapatkan simpati dari masyarakat, gerakan yang ingin mendirikan kekhalifahan Islam di Asia Tenggara ini malah semakin dimusuhi mayoritas umat Islam.
Kesadaran inilah yang membuat mereka merasa perlu mengubah strategi. Mereka umumnya merasa memilih jalan politik di alam demokrasi sekarang ini jauh lebih memberi prospek ketimbang mengambil jalan kekerasan. Bahwa pemerintah cukup bijak untuk memfasilitasi berlangsungnya ”perubahan strategi” tersebut, ini sikap yang layak diacungi jempol. Pesan bahwa mereka ditangkap karena perbuatan kriminalnya, bukan ideologi yang diyakininya, harus terus-menerus dikumandangkan.
Para pemimpin agama di Indonesia, terutama dari kalangan Islam, sepatutnya mendukung kebijakan ini. Sikap menerima kemajemukan dalam berkeyakinan, selama tak ada yang memaksakan kepercayaannya kepada orang lain, adalah lingkungan yang paling sulit terinfeksi paham radikal. Sebaliknya, sikap represif—terutama bila dilakukan oleh pemerintah yang korup—adalah lahan paling subur bagi persemaian bibit-bibit gerakan terorisme.
Sejarah manusia menunjukkan gerakan terorisme tak pernah sukses di dua tempat: pemerintahan yang totaliter dan pemerintahan demokratis. Kegiatan yang mengutamakan kekerasan ini hanya berhasil menggulirkan revolusi di negara yang sedang mengalami transisi.
Harus diakui, Indonesia mungkin belum dapat dikata-kan telah menuntaskan masa transisi ke demokrasi, tapi ini bukan berarti kita patut dicemaskan secara berlebih-an oleh gerakan teroris seperti yang dilakukan kelompok yang menyebut dirinya sebagai Jamaah Islamiyah itu. Kerja keras polisi terbukti mampu menggulung gerakan ini dengan cukup efektif, seperti terindikasi dari maraknya gelombang pembelotan internal. Justru momentum peralihan strategi ini yang perlu terus didorong.
Dorongan ini kita lakukan dengan terus bekerja keras membangun Indonesia yang benar-benar demokratis dan melawan segala upaya pembangkitan rezim otoriter. Indonesia yang demokratis memang bukan jaminan bebas dari ancaman terorisme, tapi pasti akan selalu mampu menanggulanginya dengan cara yang beradab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo