Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IBARAT menitipkan kucing kepada tetangga, sewaktu mengambil kembali Anda tak perlu khawatir dituduh menyita atau merampas. Begitu yang seharusnya terjadi pada aset tujuh yayasan yang didirikan bekas presiden Soeharto. Dirunut susur galurnya, yayasan-yayasan yang kini memiliki aset triliunan rupiah itu awalnya cuma bermodal dengkul. Soehartolah pada masa Orde Baru yang menggendutkan pundi-pundi yayasan lewat sejumlah beleid sebagai presiden.
Alasan mengambil kembali aset itu kuat. Sebab, selama memerintah, Soeharto banyak menggunakan fasilitas pemerintah untuk membesarkan yayasan. Lihat saja Yayasan Supersemar. Modal awalnya cuma Rp 10 juta. Tapi hanya dalam tempo dua tahun, lewat sumbangan sisa laba bersih oleh bank pemerintah, yayasan yang bergerak di bidang pendidikan itu sudah memiliki harta Rp 309 miliar. Fasilitas yang dipakai Soeharto adalah peraturan pemerintah.
Beleid berupa keputusan presiden dan pos bantuan presiden juga kerap dibelokkan Soeharto untuk menopang yayasan. Kasus terbitnya keputusan presiden ke alamat pengusaha agar menyumbang dua persen dari keuntungan kepada Yayasan Dana Mandiri adalah satu contohnya. Soeharto juga yang memerintahkan pengaliran dana reboisasi kehutanan dan bantuan presiden Rp 400 miliar untuk yayasan itu. Tindakan ini jelas menyalahi aturan.
Pada masa itu, rakyat kecil seperti pegawai negeri sipil dan anggota ABRI ikut terkena wajib potong gaji untuk disumbangkan ke Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Sebuah penyalahgunaan kekuasaan yang nyata.
Pemakaian dana yayasan pun banyak yang melanggar aturan karena tidak sesuai dengan tujuan pendirian yayasan. Dana disalurkan ke bank dan perusahaan anak serta kroni Soeharto. Bahkan ada yang dipakai untuk menunjang hobi anak penguasa Orde Baru itu.
Jadi, tidak salah apabila Departemen Keuangan menganggap yayasan-yayasan tadi merupakan aset negara dan berniat menguasainya. Aset yayasan yang ditaksir bernilai Rp 4 triliun itu memang harus masuk laporan keuangan pemerintah pusat.
Tindakan ini sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara. Salah satu butir pasal 2 aturan yang dikeluarkan pada 2003 itu menyatakan keuangan negara termasuk juga kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Sejumlah dana sumbangan, amal, donasi, atau pemberian dalam bentuk apa pun akibat beleid presiden yang dikeluarkan pada masa Soeharto harus dianggap sebagai bagian dari keuangan negara.
Kali ini pemerintah disarankan tegas bertindak. Sudah terlalu lama tarik-ulur ihwal keuangan yayasan ini berlangsung. Presiden Habibie pernah mengeluarkan keputusan presiden tentang koordinasi pelaksanaan operasional tujuh yayasan tersebut. Yang terjadi, bukan kekayaan yayasan yang diserahkan ke pemerintah, tapi sekadar penyerahan pelaksanaan kegiatan yayasan. Presiden Abdurrahman Wahid di eranya mengumumkan penyitaan aset dan rekening semua yayasan itu. Di lapangan, instruksi itu hanya jadi macan kertas.
Kali ini, dengan dasar hukum yang kuat, tak ada dalih bagi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk sekadar beretorika. Pemerintah mesti segera melancarkan eksekusi, ambil hak negara atas tujuh yayasan Soeharto.
Sudah waktunya hukum ditegakkan tanpa pilih-pilih bulu. Pemerintah berada pada posisi yang benar. Tak ada alasan takut pendiri yayasan akan melayangkan gugatan. Soehar-to memang masih resmi terdaftar sebagai pendiri, tapi fakta ini tidak perlu membuat pemerintah gentar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo