Dalam minggu-minggu belakangan ini, isu tentang pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia menarik perhatian banyak kalangan. Isu itu semula berfokus pada masalah lingkungan hidup, lalu secara cepat merebak menjadi isu bermuatan politis yang mencirikan adanya suatu pertentangan kepentingan pemerintah dan masyarakat. Sebenarnya, pertentangan antara kepentingan pemerintah dan masyarakat tentang suatu proyek pembangunan bukanlah hal baru. Kasus Kedungombo, Nipah, dan proyek-proyek semacam itu, misalnya, menunjukkan bagaimana pertentangan kepentingan itu terjadi. Ada satu hal yang pasti dan selalu berulang, yakni dipakainya pola zero-sum game oleh pemerintah. Dalam pola ini pemerintah melihat: masyarakat sebagai suatu antitesis yang, secara substansial, mempunyai kepentingan dan tujuan berbeda. Soalnya, pemerintah menganggap dirinya berkewajiban mengatasi semua kepentingan dan tujuan yang ada di masyarakat, karena semua kepentingan dan tujuan tersebut harus disubordinasikan di bawah negara. Bagi pemerintah, memberi kesempatan pada masyarakat untuk merumuskan kepentingan dan tujuannya sendiri, apalagi untuk ikut dalam proses pembuatan kebijakan publik, adalah tabu dalam pola zero-sum game. Imbas dari pola ini terasa secara nyata dalam pembuatan kebijakan publik yang mempunyai dampak besar bagi masyarakat (karena di sini masyarakat terbukti sering tidak dilibatkan) kerap mengalami banyak hambatan. Kalau sudah begini, masyarakat lagi yang disalahkan dan dituduh menghambat proses pembangunan. Sering kondisi seperti ini memicu friksi frontal antara negara dan masyarakat yang, penyelesaiannya, sering diakhiri dengan suatu pendekatan keamanan yang lagi-lagi mensubordinasikan posisi masyarakat. Sampai di sini terlihat bahwa pola zero-sum game menimbulkan akibat distortif dan destruktif karena terjadinya ketegangan terus-menerus antara pemerintah dan masyarakat. Dan repotnya, pola zero-sum game ini menjadi suatu pola yang, secara struktural dan institusional, menjadi fundamen hubungan pemerintah dan masyarakat selama 25 tahun ini. Itu terasa sekali ketika suatu kebijakan yang berdampak bagi masyarakat luas akan dilaksanakan oleh negara, misalnya rencana pembangunan PLTN. Perlu dicari suatu pola hubungan yang partisipatoris dan dialogis yang memungkinkan masyarakat memperoleh akses pada proses pembuatan kebijakan publik.JULKIFLI RUSTITAJalan Inkaso 8, Kompleks BRI Cipete Selatan Jakarta 12410
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini