APAKAH kredit macet bisa diibaratkan beban Sisyphus yang harus dipikul terus-menerus oleh bank-bank pemerintah? Beban itu, diberitakan, semakin berat saja dari hari ke hari. Namun, membenahi neraca bank yang merah -- gara-gara kredit macet -- jelas sangat tidak mudah. Jepang yang kaya raya itu, sampai lima tahun hingga sekarang, belum juga berhasil mengatasi krisis kredit macet yang menggerogoti bank-banknya. Memang, belakangan ada titik cerah. Dua tahun lalu, kredit macet tersebut diperkirakan 50 triliun yen (sekitar US$ 455 miliar), sementara kini menciut menjadi 20-30 triliun yen. Bandingkan dengan kredit bermasalah Eddy Tansil pada Bapindo yang US$ 430 juta itu. Jumlah ini, katakanlah, seribu kali lebih kecil, tapi sempat memicu rasa ingin tahu anggota DPR RI dan menyebabkan Menteri Keuangan tampak asing karena tidak menggubris pertanyaan wakil rakyat dengan alasan "kerahasiaan bank". Ada dua hal yang perlu dicatat dari kasus Eddy Tansil. Pertama, kredit macetnya bukanlah yang terbesar, tapi jadi sangat menggemparkan karena adanya perubahan dari usance L/C ke red clause L/C. Kedua, sejak isu kredit macet bank-bank pemerintah mencuat akhir Juni 1993, sampai kini, belum tampak satu skenario yang terpadu dan menyeluruh untuk menanggulanginya. Memang ada inventarisasi nama debitur penunggak, ada tim supervisi, dan ada pula janji untuk memproses kasus kredit macet di pengadilan dalam waktu hanya enam bulan. Tapi semua upaya itu bukanlah jawaban jitu untuk menghadapi beban kredit bermasalah yang, kabarnya, mencapai jumlah Rp 20 triliun. Di tengah keraguan otoritas moneter untuk memikul beban yang begitu berat, kasus Eddy Tansil menyeruak di forum DPR RI. Mungkin ini satu terapi kejutan, atau entah apa. Yang pasti, kepada Pemerintah dituntut keterbukaan. Mengapa? Karena, dari berbagai sisinya, kasus Eddy Tansil telah memperlihatkan bahwa sikap prudent tidak diutamakan oleh para bankir pemerintah, bahwa diskriminasi tetap ada (keras kepada debitur kecil, lembek terhadap debitur besar), dan bahwa ada kolusi pada kredit-kredit besar. Sementara belum ada debitur penunggak yang ditindak, sang waktu terus meluncur, tunggakan kian membengkak, dan kredibilitas bank-bank semakin merosot. Bila situasi yang serba-tidak menentu ini berjalan terus, tidak syak lagi, kredit macet akan menggerogoti kekuatan ekonomi kita bagaikan satu beban abadi, beban Sisyphus (tokoh dalam mitologi Yunani). Kalau ditilik duduk perkaranya, Pemerintah akan tak mudah terbebas dari beban yang satu ini - hampir sama sulitnya untuk dapat terbebas dari beban utang luar negeri yang sudah di atas US$ 60 miliar itu. Memang, dibandingkan dengan utang debitur kakap lainnya, kredit macet Eddy Tansil masih lebih kecil. Namun, bagaikan kerikil yang dilemparkan ke permukaan telaga, kasus itu membuat lingkaran-lingkaran besar di atas air. Laporan Utama TEMPO seputar gaduh di Bapindo ini disajikan dengan tujuan merekam lingkaran-lingkaran besar itu. Bagian I menurunkan cerita yang menampilkan berbagai aspek dari kegaduhan Bapindo: dengar pendapat di DPR dengan Arnold Baramuli sebagai bintangnya, keterbukaan Sudomo seputar referensinya untuk Eddy Tansil, lalu sikap tertutup direksi Bapindo, dan tak kurang penting peran serta Tommy Soeharto dalam Grup Golden Key. Bagian II menampilkan riwayat bisnis Eddy Tansil -- tentu tak terlalu lengkap karena tokoh ini tak lagi bisa dihubungi. Lalu, ada boks mengenai mitra usahanya, Mayor Jenderal (Purn.) Koesno Achzan Jein, yang seperti Eddy juga terkena cekal. Selanjutnya, bagian III, IV, dan V masing-masing merupakan satu rangkaian cerita mengenai kredit macet di bank-bank pemerintah, berbagai upaya untuk menggaetnya kembali, dan apa dampak kemacetan dan gaduh Bapindo terhadap kredibilitas bank-bank kita di mata masyarakat keuangan internasional.Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini