Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIKAP tertutup pemerintah dalam pembahasan rencana perubahan puluhan undang-undang melalui beberapa undang-undang payung (omnibus law) harus diwaspadai. Tak hanya mengabaikan aspirasi publik, rahasianya proses perumusan rancangan undang-undang sapu jagat itu rawan disusupi kepentingan oligarki politik dan ekonomi.
Sebenarnya gagasan Presiden Joko Widodo untuk mengubah berbagai undang-undang yang tumpang-tindih secara cepat dan sederhana bisa dipahami. Indonesia memang sudah lama dituding mengidap penyakit “hiper-regulasi”. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mencatat, selama periode pertama masa pemerintahan Jokowi saja, telah terbit lebih dari 10 ribu regulasi. Di antaranya berupa 131 undang-undang, 526 peraturan pemerintah, dan 839 peraturan presiden. Dari sekian banyak regulasi itu, tak sedikit yang bertentangan.
Aturan yang bertabrakan tak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tapi juga memperlambat pelayanan publik. Upaya merevisi satu per satu regulasi bermasalah jelas memerlukan waktu panjang. Karena itu, jurus revisi sekali pukul melalui omnibus law boleh jadi merupakan solusi.
Masalahnya ada pada proses pembahasannya. Publik sama sekali tidak mendapat akses untuk mengetahui isi naskah akademik dan rancangan perubahan yang disiapkan. Yang sampai ke telinga kita hanya informasi sepotong-sepotong yang mengkhawatirkan.
Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja—salah satu omnibus law—yang diharapkan menjadi resep bagi seretnya arus investasi, misalnya. Banyak kesimpangsiuran soal perubahan yang sedang disiapkan. Salah satu yang mengemuka adalah rencana pemerintah melenturkan pelbagai aturan yang selama ini dinilai mempersulit pemberhentian karyawan. Jika pembahasan diteruskan tanpa melibatkan perwakilan serikat buruh, aturan itu jelas bakal memicu unjuk rasa besar-besaran.
Ada lagi kabar tentang rencana pemerintah melonggarkan syarat izin mendirikan bangunan (IMB) dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) proyek demi memudahkan para investor. Ini juga bisa menjadi bumerang. Selama ini, ketentuan IMB dan amdal merupakan alat “pengaman” agar sebuah proyek tak merusak lingkungan. Ketika aturan itu dilonggarkan, ekosistem di sekitar proyek berpotensi dirugikan.
Selain itu, beredar kabar bahwa rancangan omnibus law bakal menggelar karpet merah untuk korporasi pemegang izin usaha pertambangan. Luas konsesi lahan tambang tak lagi dibatasi 25 ribu hektare seperti yang berlaku selama ini. Perpanjangan kontrak tambang yang kedaluwarsa pun bakal dilakukan secara langsung tanpa lelang.
Berbagai rumor ini muncul karena pembahasan rancangan regulasi yang tertutup. Jangan menyalahkan publik jika muncul kecurigaan bahwa rancangan undang-undang sapu jagat ini sarat dengan titipan konglomerat dan pemilik perusahaan.
Pembahasan rancangan omnibus law yang meliputi begitu banyak sektor seharusnya dilakukan dengan terbuka. Transparansi penting agar omnibus law tidak menjadi produk hukum yang cacat atau mendatangkan mudarat di kemudian hari. Lebih banyak mata yang memelototi naskah rancangan perubahan justru lebih baik. Pemerintah tak cukup hanya berkonsultasi dengan kelompok terbatas, apalagi yang didominasi pengusaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus belajar dari kesalahan ketika berusaha mengesahkan revisi sejumlah undang-undang pada akhir tahun lalu. Proses pembahasan yang serba kilat dan tertutup memicu aksi massa di seluruh negeri. Arogansi eksekutif dan legislatif kala itu harus dibayar mahal dengan jatuhnya korban tewas di tengah unjuk rasa serta tergerusnya kepercayaan rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo