Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBOBROKAN nyata tecermin pada fakta ini: dua perusahaan asuransi pelat merah, dua pembobolan bernilai jumbo, tapi pelakunya sama. Perusahaan pertama, PT Jiwasraya, dijebol hingga Rp 13,7 triliun—setara dengan setidaknya dua kali anggaran belanja Provinsi Yogyakarta. Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan taipan Benny Tjokrosaputro dan empat orang lain sebagai tersangka. Belum jauh penyidikan kasus Jiwasraya, muncul skandal kedua, yakni penggarongan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri. Benny pun kembali disebut-sebut.
Identik dengan perkara korupsi Jiwasraya, pembobolan Asabri berkaitan dengan penempatan dana pada aset-aset busuk. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kejanggalan dalam penempatan dana investasi tahun 2015 dan semester pertama 2016. Ada 15 temuan. Salah satunya pembelian saham PT Harvest Time, perusahaan milik Benny. Asabri tidak pernah mendapat saham yang dijanjikan senilai Rp 802 miliar karena sudah dijual ke pihak lain.
Ombudsman menaksir kerugian akibat pembelian saham-saham buruk oleh Asabri hingga akhir tahun lalu mencapai Rp 10 triliun. Versi lain menyebutkan potensi kerugian Asabri mencapai Rp 16 triliun. Ombudsman juga memberikan catatan mengenai aturan yang ditabrak manajemen Asabri. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 Tahun 2015, disebutkan bahwa perusahaan asuransi yang juga menanggung dana pensiun seperti Asabri hanya boleh mengoleksi aset efek yang memenuhi syarat investment grade atau layak investasi. Artinya, penempatan dana hanya boleh pada saham-saham papan atas (blue chip) yang likuid dan kuat fundamentalnya. Namun saham koleksi Asabri yang memenuhi kriteria itu hanya 12 persen. Selebihnya masuk kategori saham kelas dua dan berpotensi merugikan.
Manajemen perusahaan semestinya paham soal risiko membeli saham-saham kelas dua atau "gorengan". Saham ini nilainya naik-turun akibat aksi spekulasi sebagian pelaku pasar. Terlebih kinerja emiten atau perusahaan penerbit saham itu tidak bagus dan tak memiliki jaminan aset (underlying) yang wajar. Patut diduga bahwa saham-saham ini sengaja dibeli lantaran ada pialang yang menjanjikan komisi kepada pejabat yang berwenang menempatkan dana investasi. Bukan kebetulan, dalam dua tahun terakhir, Asabri tidak mempublikasikan laporan keuangannya.
Sungguh aneh pembobolan itu lolos dari pengawasan komisaris dan pemegang saham—yakni negara, yang diwakili Kementerian Badan Usaha Milik Negara—juga Komisaris Asabri tidak mendeteksi keganjilan di perusahaan yang menampung duit prajurit itu. Tak ada pilihan lain, Kejaksaan Agung perlu segera mengusut pembobolan Asabri ini, paralel dengan penyidikan perkara korupsi di Jiwasraya. Pengusutan dua skandal bernilai jumbo ini perlu dilakukan serentak karena melibatkan pelaku dan kelompok yang banyak irisannya.
Pada saat yang sama, kumpulan keringat tentara itu perlu diselamatkan. Kementerian BUMN juga perlu mereformasi Asabri karena bukan hanya sekali ini perusahaan itu terbelit perkara. Pada 2008, mantan Direktur Utama Asabri, Subarda Midjaja, dan pengusaha Henry Leo dihukum karena menyelewengkan dana asuransi dan perumahan prajurit senilai Rp 410 miliar. Agar dananya tak digarong lagi, Asabri membutuhkan sosok profesional dan bersih untuk memimpinnya. Anggota Tentara Nasional Indonesia semestinya melepas pengelolaan Asabri kepada manajer atau ahli keuangan yang mumpuni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo