Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA pun motifnya, ”bom nuklir” yang kembali diledakkan Susno Duadji—kalau ternyata benar—sungguh mencoreng wajah kepolisian. Setelah membongkar ”kasus Gayus”, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian itu dengan terang-benderang menyebut sejumlah nama ”makelar kasus” yang beraksi bak mafioso. Yang mencengangkan, mereka sehari-hari mangkal di markas besar polisi dan punya koneksi erat dengan para pentolan di sana.
Belum ada yang membantah Susno. Apalagi, dengan keyakinan sangat tinggi, jenderal polisi bintang tiga itu mengungkapnya dalam rapat tertutup dengan para wakil rakyat di Senayan. Jenderal Susno pastilah paham betul seluk-beluk ”permainan busuk” di kantornya ini. Kalau info Susno akurat, benarlah rahasia umum yang selama ini cuma jadi gunjingan: kepolisian ternyata tidak steril dari ”makelar kasus” atau ”calo perkara”.
Sjahril Djohan, Haposan Hutagalung, Andi Kosasih, dan entah siapa lagi, baik yang berpakaian preman maupun berbaju dinas, tak boleh lagi dibiarkan berkuasa di kantor penegak hukum itu. Aksi mereka harus dihentikan. Yang mereka kerjakan sangat mencederai hukum. Aturan bisa mereka ”mainkan” sekehendak hati. Perkara perdata, contohnya, berkat lobi dan sogok, bisa mereka sulap menjadi perkara pidana.
Begitu pula sebaliknya. Perkara pidana bisa mereka ”mainkan” menjadi perkara perdata. Kawanan ini bisa mengatur penghentian penyidikan. Jalannya perkara bisa mereka kendalikan agar sesuai dengan arah yang mereka tentukan—tentu asal membayar. Mau segera naik pangkat? Tersedia fasilitas ”jalan tol” yang mereka tawarkan dengan imbalan sejumlah uang. Bahkan mafia itu begitu digdaya memindahkan perwira polisi yang menolak ”bekerja sama”.
Kepolisian mesti diselamatkan. Tingkah polah mafia harus segera dihentikan. Celah yang membuat mereka beraksi harus ditutup rapat. Institusi kepolisian kudu memulainya saat ini. Pimpinan kepolisian harus tegas mengumumkan bahwa mereka sama sekali tak punya kaitan dengan siapa pun yang menjanjikan pengaturan perkara. Mantan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara harus berani berbicara terus terang tentang tindakan Sjahril atau calo lain yang ia ketahui. Sikap Makbul yang menutup diri dan hanya merespons pertanyaan wartawan dengan pesan pendek semogalah bukan pertanda ia terlibat urusan percaloan ini.
Mata rantai makelar perkara harus diputus sedini mungkin. Kepala Polri, misalnya, perlu segera membikin surat perintah yang intinya menghapus peluang para jenderal dan petinggi polisi lainnya menjalin kontak dengan para penjual jasa itu. Kantor polisi, termasuk Markas Besar Kepolisian RI, perlu dijaga agar tak justru menjadi tempat kongko atau ”ruang rapat” para makelar.
Tak ada salahnya cara Komisi Pemberantasan Korupsi ditiru. Komisi tegas mengumumkan bahwa mereka melarang pimpinan dan anggotanya main golf—permainan yang rawan main mata, sogok, dan pemberian fasilitas gratis.
Aturan tutup pintu bagi makelar kasus ini harus terpampang sejak pintu masuk kantor polisi—dari pusat sampai tingkat sektor. Pasang saja stiker besar-besar: jika membutuhkan pengayoman dan perlindungan hukum, masyarakat harus menempuh jalan semestinya. Haramkan calo, makelar, dan para ”markus” atau ”maksus” alias makelar kasus. Tegakkan sistem dan prosedur sejak pemeriksaan, penyelidikan, dan penyidikan perkara secara profesional. Kalaupun ada ketidakpuasan publik ketika beperkara, bukalah pintu lebar-lebar bagi mereka untuk memberikan masukan dan menyatakan keberatan.
Pintu masuk sampai meja sekretaris pimpinan dan pejabat polisi kini sudah saatnya ditata dengan administrasi yang andal. Sediakan log-book atau buku tamu. Para tamu tanpa kecuali harus mengisi buku itu dengan identitas dan maksud kunjungannya. Semua pembicaraan telepon perlu direkam—baik telepon masuk maupun keluar. Dengan cara ini, semua serba tercatat, dan bisa ditelusuri kalau muncul peristiwa yang bersinggungan dengan para pejabat polisi di kemudian hari.
Kantor polisi harus steril dari lalu-lalang para penjaja jasa perkara itu. Tindakan ini hanya bisa dicegah dengan pengamanan sejak dini. Setiap tamu yang datang ke markas mesti jelas apa urusannya, hendak bertemu dengan siapa, dan jelas identitasnya. Kalau ada gelagat mencurigakan dari tamu-tamu tak diundang ini, petugas harus tegas mempersilakan mereka ke luar kantor.
Apa boleh buat, pengaturan ketat itu membuat polisi seakan menyerahkan sebagian kebebasannya untuk diawasi. Hanya dengan cara inilah polisi terhindar dari jangkauan makelar. Yang terpenting, inisiatif melakukan ”bersih-bersih” diri mestilah berasal dari markas besar polisi sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo