Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAIKNYA Indonesia benar-benar siap melaksanakan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-Cina (CAFTA)—seperti pernyataan Menteri Perdagangan RI di forum pertemuan tingkat tinggi ASEAN di Hanoi pekan lalu. Pernyataan Menteri Mari Pangestu itu mengandung konsekuensi besar, maka semestinya mencerminkan kesiapan seluruh industri dalam negeri Indonesia. Setelah pemberlakuan pasar bebas Cina-ASEAN sejak awal Januari lalu, tak ada lagi proteksi untuk industri dalam negeri. Ratusan tarif bea masuk barang negara lain menjadi nol. Tak ada kata lain, industri Indonesia harus sangat siap bersaing.
Yang perlu dicermati sekarang adalah strategi dan ”senjata” yang disiapkan pemerintah untuk berlaga di arena perdagangan bebas Cina-ASEAN. Ini penting terutama untuk melindungi industri yang paling terpukul kesepakatan itu—tekstil dan produk tekstil, baja, serta alas kaki. Strategi juga perlu untuk memperkuat daya saing komoditas yang memang sudah masuk ke pasar Cina, seperti kakao, sawit, dan batu bara.
Pembenahan komprehensif harus dilakukan segera karena sebagian industri Indonesia tergolong terlambat merespons perdagangan bebas ini. Padahal perdagangan bebas Cina-ASEAN tidak mendadak disepakati, bahkan nota kesepahaman sudah diteken enam tahun lalu oleh Menteri Perdagangan Cina dan ASEAN di Vientiane, Laos. Indonesia perlu memastikan bahwa pemberlakuan perangkat pengamanan (safeguard)—penetapan standar nasional Indonesia, komisi antidumping, pencegahan penyelundupan, pemantauan keamanan produk impor, serta pemantauan dampak CAFTA—sudah berjalan efektif.
Sekarang ini kalangan industri sudah terlambat untuk tidak menerima CAFTA. Ketimbang terus melancarkan protes, lebih baik berbagai asosiasi yang terancam produk Cina menarik manfaat dari terbukanya pasar di negara berpenduduk terbesar di dunia itu, seraya meningkatkan efisiensi produk anggotanya. Daripada mengajukan renegosiasi pos-pos tarif barang kita, lebih baik menuntut kepastian masuknya investasi Cina di Indonesia.
Koordinasi antarlembaga pemerintahan menjadi syarat utama, terutama antara dua ujung tombak: Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Keduanya mesti seiring, termasuk dalam negosiasi dengan pihak Cina. Sangat disayangkan pertemuan Menteri Mari Pangestu dengan Menteri Perdagangan Cina Chen Deming di Yogyakarta pekan lalu tak diikuti Menteri Perindustrian RI. Pertemuan yang akhirnya tidak memasukkan agenda renegosiasi tarif itu sepantasnyalah diputuskan bersama. Kedua menteri itu berada dalam satu tim dan mesti melangkah ke arah yang sama.
Dengan merapikan koordinasi, banyak urusan akan beres. Umpamanya menangani infrastruktur yang buruk, bunga bank yang tertinggi di ASEAN, perizinan, dan ekonomi biaya tinggi. Road map pembenahan yang menyeluruh perlu dibuat. Ini kerja bersama antarinstansi yang perlu lekas digarap. Cina dan negara ASEAN lain tidak akan menunggu Indonesia yang sibuk berbenah.
Diharapkan Tim Koordinasi Penanganan Hambatan Industri dan Perdagangan yang dibentuk pemerintah bisa memperkuat daya saing global industri kita. Itu jika Indonesia tak mau barang negara lain menjadi primadona di sini. Maka, mau tak mau, industri Indonesia mesti siap bersaing di pasar bebas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo