Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN majelis hakim Mahkamah Agung ”memangkas” masa hukuman Artalyta Suryani sungguh membuat kita tersengat. Baru tiga bulan lalu Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum menemukan kemewahan hidup Artalyta alias Ayin di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Dengan status terhukum, dia punya kantor pribadi, kamar tidur berpenyejuk udara, dan pembantu yang siap melayani.
Ayin dipenjara lima tahun karena terbukti menyuap jaksa Urip Tri Gunawan. Hukuman itu kini dikorting jadi 4 tahun 6 bulan: betapa pendek ingatan majelis hakim yang menyidangkan peninjauan kembali perkara ini. Tentu saja majelis yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota Krisna Harahap, Sofyan Martabaya, Imam Haryadi, dan Hatta Ali itu punya ”pertimbangan” sebelum membuat putusan. Kita tidak menggugat otoritas mereka. Kita hanya terganggu mengingat rasa keadilan mereka tatkala memutus pengurangan hukuman Ayin.
Tak diperlukan keahlian hukum yang canggih untuk melihat betapa keputusan ini berpihak pada pelaku tindakan suap. Bukan pada korban-korban mafia hukum. Bukan pada keadilan publik. Dua alasan majelis hakim yang janggal dan tidak masuk akal perlu nian ditelisik dan dipertanyakan.
Pertama, Artalyta tak mendapat keuntungan dari penyuapan itu. Dia hanya perantara penyerahan uang antara Nyonya Itjih Nursalim dan jaksa Urip. Tidak sulit membalik alasan ini: dengan mengambil peran perantara, bukankah Ayin terlibat aktif dalam kejahatan penyuapan? Lalu, ketika dia hidup mewah di penjara—sementara semua narapidana biasa berimpitan di dalam sel—apakah semua itu diperolehnya ”gratis”, tanpa upaya suap? Semestinya fakta ini tercantum di ingatan majelis ketika menimbang pengurangan hukuman Ayin.
Alasan kedua: kemanusiaan. Majelis memandang pengurangan hukuman akan membuat Ayin bisa lebih cepat menangani rangkaian perusahaannya yang menghidupi ratusan karyawan. Alasan ini rada jenaka: Ayin tetap mampu mengendalikan, mengatur usaha dan jaringan korporasinya dari ”kantor”-nya di Pondok Bambu. Perbuatan Ayin justru melanggar aspek kemanusiaan dari segi keadilan.
Ketua Mahkamah Agung seyogianyalah memanggil dan memeriksa anggota majelisnya yang memberi Ayin diskonto hukuman. Komisi Yudisial juga perlu bergegas mempelajari kejanggalan putusan ini dan memberikan rekomendasi tepat untuk langkah selanjutnya di Mahkamah.
Para hakim adalah bagian inheren dari seluruh proses penegakan hukum. Sepatutnyalah mereka menyokong penuh pemberantasan mafia hukum, antara lain dengan menindak tegas dan sepadan setiap pelaku tindakan suap sehingga menimbulkan efek jera. Kita tahu betapa suap menjadi mata rantai penting dalam jaringan mafia hukum.
Perilaku hakim yang sebaliknya akan dapat melorotkan independensi—serta melahirkan efek demoralisasi—para penegak hukum. Contoh ironis itu kita lihat dalam vonis peninjauan kembali hukuman Ayin: pelaku tindakan suap ”dimenangkan”, sedangkan nurani keadilan dikalahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo