HELAT besar sudah berlangsung di Bali, 5 dan 6 November 2002. IBRA Investment Forum 2002, demikian judul program dua hari itu, memayungi seluruh aktivitas yang menampilkan tiga superstar, yakni Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, Ketua BPPN Syafruddin Temenggung, dan petinggi PDIP Taufiq Kiemas. Dalam semangat membangkitkan kepercayaan untuk berinvestasi di negeri ini, helat besar itu mengundang banyak petinggi perusahaan negara, pengusaha swasta, dan bankir papan atas di Indonesia.
Selain tiga mahabintang itu, yang paling menarik adalah rombongan tamu konglomerat. Enam di antara mereka diterima beraudiensi oleh Syafruddin Temenggung. Audiensi ini sedemikian penting karena sesudahnya terlontar ultimatum yang berbunyi bahwa BPPN hanya memberi waktu satu minggu kepada konglomerat untuk menyelesaikan utang mereka yang tersisa. Dan mereka itu di antaranya Anthoni Salim (mewakili Liem Sioe Liong), Leonard Tanubrata (mewakili Bob Hasan), Samadikun Hartono, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono.
Kalau dihitung dari 6 November pekan lalu, berarti pada Rabu 13 November ini sudah harus dicapai penyelesaian sisa utang tersebut. Tapi di Bali Anthoni Salim mengatakan, "Masih mau dirapatkan lagi di Jakarta." Sedangkan Leo Tanubrata dan Samadikun Hartono berjanji akan menutup sisa utang dengan menyerahkan aset-aset tambahan.
Janji-janji konglomerat, nah, siapa yang tak bosan mendengarnya? Yang patut disimak adalah bagaimana BPPN menyikapi janji-janji itu. Tanpa bermaksud menggeneralisasi, kita tahu bahwa hampir semua konglomerat tidak menunjukkan niat baik untuk melunasi utangnya. Mereka selalu berkelit, mengulur-ulur waktu, menghindar, hanya dengan tujuan supaya utangnya bisa dikemplang. Selama empat tahun terakhir, itulah yang banyak diberitakan dan itu juga yang kita anggap benar. Pokoknya, tak ada yang baru dari konglomerat. Ibarat musang, merekalah musang berbulu ayam; ibarat serigala, merekalah serigala berwajah domba.
Masalahnya, BPPN tidak pernah melihat konglomerat sebagai "serigala". Memang BPPN mengultimatum satu minggu, dan sebelumnya menetapkan tenggat waktu tiga bulan. Bahkan sempat dibentuk Tim Bantuan Hukum. Waktu itu tebersit harapan bahwa urusan konglomerat akan bisa dituntaskan dengan cepat, lugas, dan adil. Bahkan, kalau tenggat waktu terlewati, konglomerat mesti diadili untuk kemudian dijebloskan ke penjara.
Tujuh bulan telah berlalu, jangankan menggiring ke meja hijau, BPPN malah mengundang konglomerat ke Bali. BPPN memperlakukan mereka bukan sebagai pengutang besar, melainkan bak calon investor yang diharapkan bisa menggerakkan roda ekonomi negeri ini. Hal itu tersirat dari "strategi'' yang dikemukakan oleh seseorang yang cukup berpengaruh di forum tersebut. Katanya, hanya konglomeratlah yang mampu mengelola berbagai bidang usaha yang sudah lama mereka rintis; bahwa dalam urusan utang, satu-satunya cara yang efektif adalah penyelesaian di luar pengadilan; bahwa untuk itu konglomerat memerlukan semacam perisai yang bisa memberi rasa aman.
Ada dua hal bisa disimpulkan dari wejangan tersebut, yakni BPPN tidak akan menuntut konglomerat ke pengadilan dan mereka bahkan beroleh jaminan bahwa urusan selanjutnya akan beres-beres saja. Mengapa? Karena perisai sudah disiapkan bagi mereka. Masyarakat yang merindukan supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih tentu ngeri memikirkan implikasi dari sebuah "perisai" yang salah-salah bisa membuat ekonomi jadi lebih amburadul.
Lalu akan bermuara di mana teka-teki utang konglomerat ini? Tampaknya, muara itu sudah di depan mata, berupa tiga masalah besar di pundak rakyat Indonesia. Pertama, masalah utang triliunan yang tidak terbayar; kedua, sikap BPPN yang tidak menyelesaikan tapi menjadi sumber masalah; ketiga, masalah gawat yang muncul gara-gara ada pihak yang ingin mengakomodasi konglomerat dan pada saat yang sama menyepelekan penegakan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini