FRONT Pembela Islam membekukan diri sejak pekan yang lalu. Lalu apa yang akan dilakukan kelompok berjubah dan bersorban putih ini? Mereka akan berdiaspora dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil? Atau benar mereka akan kembali ke khitah sebagai kelompok pengajian dan dakwah? Tak mudah menebaknya. Yang pasti, pembekuan ini dekat kejadiannya dengan dilepasnya ketua mereka, Habib Rizieq Shihab, dari tahanan polisi Jakarta dan selanjutnya berada dalam status tahanan kota.
FPI, yang dalam bergiat tak segan-segan mengambil tindakan fisik terhadap kafe, bar, dan tempat yang mereka anggap sarang maksiat, memang kerap mengundang urusan dengan polisi. Yang bisa kita catat, selama ini, polisi terkesan lembek terhadap kelompok beratribut Islam semacam ini. Keadaan berubah. Seiring dengan suasana aparat memerangi terorisme setelah ledakan di Bali, polisi seperti mendapat suntikan "berani" dengan menangkap Rizieq, setelah serangkaian aksi oleh FPI.
Tapi berani menangkap Rizieq saja tidak cukup. Polisi harus juga berani melihat mengapa organisasi semacam FPI ini—jika kita berbaik sangka dengan menduga bahwa tujuan FPI memang murni untuk memerangi maksiat—tumbuh subur di negeri kita. Yang sangat mencolok, FPI lahir akibat penegakan hukum kita yang lemah. FPI muncul sebagai perlawanan terhadap perilaku sosial yang menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma Islam yang mereka yakini. Pendapat ini diajukan Saiful Mujani, peneliti dari Universitas Islam Negeri Jakarta, yang pendapatnya banyak dikutip di sini.
Itu sebabnya FPI tak hanya berdemonstrasi ke DPR, tapi langsung menyerang sasaran yang dianggap memfasilitasi perbuatan yang dianggap merugikan komunitas Islam. FPI akhirnya berperilaku seperti polisi syariat, walaupun negeri ini dibangun atas dasar Pancasila dan UUD 1945.
Polisi seharusnya tanggap bahwa ada kelompok masyarakat yang resah dengan maraknya judi, penjualan minuman keras, dan pelacuran, yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum positif di negeri ini. Tapi, jangankan menindak, sudah jamak terdengar bahwa polisi dan aparat lain malah jadi beking semua kemaksiatan itu. Sudah lama diketahui bahwa bisnis hiburan malam alias dugem—istilah anak Jakarta untuk dunia gemerlapan—adalah bisnis dengan perputaran uang yang sangat besar. Judi gelap di Jakarta ditaksir beromzet Rp 300 miliar dalam semalam. Dengan duit segede itu, suap dan sogok untuk para beking jadi santapan nyaman polisi dan aparat yang lancung.
Seharusnya polisilah yang jadi ujung tombak pemberantasan kemaksiatan itu dan, dengan begitu, organisasi semacam FPI jadi kehilangan alasan untuk bertindak dan main hakim sendiri.
Sementara itu, dalam masa bekunya, ada baiknya FPI merenungkan kembali apa yang bisa mereka lakukan. Dalam ajaran Islam, tidak ada secuil ayat pun yang membolehkan orang Islam melakukan kerusakan di muka bumi ini. Yang banyak dijumpai adalah ajaran untuk bahu-membahu menegakkan kebenaran. Jadi, bukankah mereka punya kesempatan membantu polisi menanggulangi kemaksiatan? Jika ada pesta narkoba di suatu tempat, sungguh menarik jika anggota FPI mengajak polisi menggerebeknya—bukan malah tergoda untuk menghajarnya sendiri. Jika ada bar yang tanpa izin menjual minuman keras, sungguh elok jika mereka melapor, bukan menghancurkan habis bar sampai ke gudang-gudangnya seperti yang pernah terjadi.
Bertindak seperti polisi surgawi hanya akan menempatkan organisasi semacam FPI sebagai sasaran kecaman kanan dan kiri. Tapi, dengan tulus menjadi organisasi yang meluaskan ajaran Islam lewat dakwah dan pengajian, organisasi ini akan bebas masalah. Dan yang terpenting, dengan begitu, FPI ikut menunjukkan bahwa Islam—seperti agama lain di negeri ini—adalah agama yang menolak kekerasan dan sangat menganjurkan kedamaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini