Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Reformasi sudah mengamanatkan ada pembatasan kekuasaan.
Godaan kekuasaan membuat seorang presiden ingin menambah masa jabatan dengan mengubah konstitusi.
Agar presiden tak sewenang-wenang merusak demokrasi, perlu undang-undang pemerintahan nasional.
PEMIMPIN pemerintahan itu mengayomi, bukan mengkreasi kekacauan atau justru memancing keributan di masyarakat. Seorang pemimpin ibarat “pohon beringin besar di tengah padang”. Ia tempat berlindung orang banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, di negeri ini, dengan demokrasi elektoral berlevel prosedural, setiap menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, para inkumben acap berulah, bikin kebijakan yang aneh-aneh yang menggelisahkan masyarakat. Memakai segala cara pula. Mereka tak lagi peduli halal atau haram. Melanggar aturan main seolah-olah sudah jamak. Mereka seolah-olah lupa cita-cita para pendiri negeri. Tradisi yang dicontohkan pendahulunya pun mereka “kentuti”. Sangat memprihatinkan tentu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para penguasa telah termakan hukum besi “power breeds power”. Penguasa memang selalu suka mempertahankan, memperbesar, dan memperluas kekuasaannya, bahkan di negara demokrasi yang sudah maju sekalipun. Dibantu orang dekat, tim sukses sewaktu pemilu dulu dan para pendukungnya, mereka membajak dan memerkosa demokrasi yang telah mengantarkan mereka ke kekuasaan.
Langka sekali penguasa yang mau memperpendek atau tidak memperpanjang masa jabatannya. Salah satu yang langka ada dalam praktik nyata pemerintahan Indonesia, yaitu kasus Presiden B.J. Habibie pada awal Reformasi. Dengan segala kearifannya, ia mau memperpendek masa jabatannya yang masih tersisa tiga tahun. Jika Anda ingin membaca ceritanya, silakan baca kolom seorang Indonesianis dari Amerika Serikat, R. William Liddle, di Kompas edisi 4 Maret 2022.
Di tingkat pemerintahan daerah, ada kasus Mayor Yoyok Riyo Sudibyo, seorang bupati muda yang merakyat di Batang, Jawa Tengah. Ia seorang tentara. Kendati berpeluang besar memperpanjang masa jabatan yang sah di periode kedua, ia tak mau maju lagi untuk periode 2012-2017, meskipun popularitasnya sangat tinggi di akhir masa jabatan periode pertamanya. Mayor Yoyok memilih setop di puncak kariernya sebagai seorang politikus.
Kata pepatah “tak ada raja yang menolak sembah”, walau sembah itu mereka rekayasa, mereka galang, mereka organisasikan, dan diketahui publik secara terang benderang seperti dalam laporan utama Tempo edisi 4-10 April 2022 bertajuk “Tim Hore Tiga Periode”. Mereka tidak malu-malu, alias tenang-tenang saja. Mereka mungkin memasang jurus untung-untungan, siapa tahu berhasil, toh kalau gagal tidak jadi masalah. Namanya juga usaha. Soalnya Majelis Permusyawaratan Rakyat tak akan memecatnya karena tidak ada hukum konstitusi yang mereka langgar.
Mengapa seorang penguasa bisa keranjingan dengan kekuasaannya? Karena mereka hanya memakai rongga kepala (otak), tidak menggunakan rongga dada (hati). Itulah kenapa mereka hendak mengubah konstitusi yang akan diberlakukan untuk diri sendiri, bukan buat penggantinya nanti berbasiskan big data yang tidak terbukti. Aspirasi masyarakat secara luas dari Sabang sampai Merauke tidak pula ada. Hanya secuil masyarakat yang mendukung, itu pun lewat penggalangan atau ditukangi supaya seolah-olah menyampaikan dukungan.
Kebablasan dalam keinginan berkuasa itu terjadi karena mereka tidak memahami konsep budi dan kekuasaan (Soemarsaid Murtono, 1982). Konsep itu diamalkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, melalui titahnya dalam buku Tahta untuk Rakyat (1982). Ia, misalnya, membuat kebijakan tak menggusur tukang becak dan pedagang kaki lima di kota ini.
Raja yang “benar” di tanah Jawa adalah raja yang berbudi luhur. Tak sewenang-wenang tatkala memegang kuasa. Bagi raja seperti ini, tabu merampas harta dan hak-hak rakyat. Bila rakyat mengadu, sesuai dengan hak pepe, mereka akan duduk bersila berhari-hari di alun-alun depan keraton, lalu raja akan memanggil dan mendengarkan suaranya (Djohan, Etika Pemerintahan, 2015). Itu karena raja memakai rongga dada, hati nurani, “eling lan waspodo” kata orang Jawa. “Lamak dek awak, katuju dek urang,” kata urang Minang. Berkuasa memang enak, tapi tidak lalu “tambuah ciek”, gaya makan di restoran Padang.
Di tanah Melayu juga ada ajaran bagi para pemimpin, yakni jangan sekali-kali menzalimi rakyat. Sebab, raja zalim boleh disanggah. Tapi, kalau dia alim, rakyat wajib menaatinya. Tunjuk ajar itu berbunyi “raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah”. Sebab, akibat kezalimannya, akan terjadi kekacauan dalam pemerintahan yang umumnya berujung kehinaan dan kenestapaan sang paduka, antek-anteknya, serta segenap anak, cucu, dan mantunya.
Dengan menggunakan topeng demokrasi, hak-hak berpendapat rakyat tidak boleh dilarang, termasuk para menteri yang di bawah komandonya sendiri, walau itu akan menimbulkan keributan nasional. Tapi pemimpin yang berkuasa di dalam kamusnya hanya ada “the show must go on”. Itulah kenapa para kepala desa dikumpulkan untuk seolah-olah mendukungnya. Demokrasi yang mengantarkannya ke gerbang kekuasaan tanpa segan-segan ditikamnya.
Kalau operator politiknya rada canggih, semestinya mereka mengumpulkan para gubernur lewat Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, bupati dengan wadah Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia, dan wali kota via Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia. Saya hakulyakin tidak bakal ada kebulatan tekad untuk tiga periode atau menunda pemilu yang sudah disepakati akan digelar 14 Februari 2024. Beraninya cuma kepada kepala desa, yang tentu mudah diiming-imingi, ditransaksikan, dan dibodohi. Dana desa dari pemerintah pusat untuk desa yang memiliki otonomi asli (Rp 1 miliar per desa) hakikinya bukan dari presiden, tapi perintah dari Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 yang dibuat pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Cara presiden bikin kacau pemerintahan seperti ini tidak boleh terjadi lagi ke depan. Saya merekomendasikan agar dibuat undang-undang kepresidenan yang memperjelas dan merinci tugas dan wewenang, larangan-larangan, kewajiban, dan sanksi-sanksi yang bisa dikenakan bila presiden ber-vivere pericoloso, menyerempet-nyerempet bahaya. Akan lebih afdal lagi bila undang-undang itu bernama undang-undang pemerintahan nasional, yang mengatur lembaga kepresidenan serta kementerian/lembaga sekaligus lembaga Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Daerah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Model pengaturan ini sudah diterapkan di dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur kepala daerah sekaligus dewan perwakilan rakyat daerah.
Selain itu, perlu diatur soal suksesi presiden dan wakil presiden bila berhalangan tetap, misalnya karena mereka berdua mundur atau wafat bersamaan akibat suatu insiden. Dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, jika presiden dan wakil presiden berhalangan tetap, pelaksana tugasnya adalah tiga menteri: Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan.
Klausul itu tentu saja tidak tepat karena para menteri tersebut adalah pejabat yang appointed, bukan elected seperti presiden dan wakil presiden yang digantikannya. Jika merujuk pada negara-negara demokratis lain, pengganti presiden dan wakil presiden yang berhalangan tetap adalah Ketua DPR, Ketua DPD, dan Ketua MPR. Ketiganya setara dengan presiden dan wakil presiden karena terpilih dalam sebuah sistem demokratis. Merekalah yang secara kolegial menjalankan pemerintahan sementara serta membuat kebijakan pemilihan presiden dan wakil presiden berikutnya.
Naif sekali pengaturan pemerintahan nasional kita sekarang. Kita punya Undang-Undang Kementerian Negara, tapi tak memiliki undang-undang kepresidenan. Sementara itu, dalam UUD 1945, pengaturan kepresidenan sangat sumir sehingga tidak memadai (not sufficient enough).
Kalau undang-undang pemerintahan nasional bisa dibikin, presiden inkumben bakal tak bisa membuat kekacauan dalam pemerintahan. Dengan dipertajamnya pembatasan kekuasaan, dia bakal jadi negarawan, bukan politikus tanpa hati yang berkuasa semau-maunya. Sistem yang terbangun akan mencegahnya berbuat lancung dengan, misalnya, menggalang dukungan politik dan publik untuk memperpanjang masa jabatannya sendiri.
Libido kekuasaan sangat menggoda manusia. Tapi semangat Reformasi yang ingin membangun demokrasi yang sesungguhnya telah menyepakati bahwa kekuasaan harus terbatas. Kekuasaan tanpa batas akan mendorong seseorang yang dulu baik bisa berubah menjadi makhluk jahanam karena godaan kekuasaan yang menggiurkan dan melenakan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo