Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perang dingin membelah yang berbeda di lima benua.
Setelah invasi Rusia ke Ukraina, akankah dunia kembali terbelah dalam berbagai blok dalam perang dingin?
Zaman sudah berbeda: bukan perang dingin, tapi perang kering.
SIAPA yang lahir setelah 1990 tak akan merasakan getaran malam 9 November 1989: ribuan penduduk Berlin Timur menghancurkan tembok yang hampir 30 tahun lamanya mengungkung mereka—tembok yang melambangkan tegangnya “perang dingin” yang membelah manusia di mana-mana di abad ke-20.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dasar, Berlin sebuah luka: lambang kekalahan Jerman Nazi, kota dengan puing-puing perang yang diduduki dan dibagi-bagi kekuasaan yang menang, yang biasa disebut “Barat” dan “Timur”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
13 Agustus 1961, pembagian “Barat” dan “Timur” itu secara brutal dipertegas: Uni Soviet mendirikan dinding setinggi 4,2 meter sepanjang 43 kilometer yang dijaga pasukan bersenjata dengan teropong pengintai dan anjing-anjing galak. Hubungan sosial dan mobilitas pribadi penduduk Berlin putus, bersama terbelahnya geografi. Stasiun kereta api di Friedrichstraße yang menghubungkan kedua wilayah dengan segera jadi Tränenpalast, Istana Air Mata, di mana sahabat dan saudara dipaksa berpisah dalam ruang hidup yang mungkin tak akan bertaut lagi.
Selama pemaksaan hampir 30 tahun itu, lebih dari 100 ribu warga Jerman Timur mencoba melarikan diri ke Barat. Lebih dari 600 tewas, baik ditembak mati para penjaga maupun karena kecelakaan ketika mencoba menerobos Tembok.
Maka di malam 9 November 1989 itu orang bersukaria, bersama suara martil dan sekop yang bertalu-talu menghancurkan sang Tembok—dan “Republik Demokrasi Jerman” tak berdaya mencegah. Penguasa komunis itu tak lama kemudian roboh. Juga Uni Soviet. “Perang Dingin” usai. Dunia lega.
Dunia—bukan cuma Eropa. Sebab, “Perang Dingin” dialami di lima benua. Perang itu membelah Korea jadi dua bagian yang bermusuhan (sampai sekarang). Juga memecah Vietnam, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin, semua dengan darah dan mesiu. “Perang Dingin” juga yang menggalakkan permusuhan di Indonesia sejak kemerdekaan, antara kaum komunis dan antikomunis—dengan kekerasan yang menakutkan di tahun 1965.
“Perang Dingin”, dengan kata lain, sama sekali tak dingin, meskipun ia bisa dilihat mirip “perang kembang” dalam wayang kulit: bukan perang final Bharatayudha. Bentrokannya bersifat terbatas secara geografis, dengan jumlah musuh yang juga terbatas. Ia hanya semacam “cobaan” dalam perjalanan.
Analogi ini tentu tak memadai. Sebab, berbeda dengan perang antara Cakil dan Arjuna yang hanya seperti selingan, “Perang Dingin” yang terus-menerus berlangsung sejak akhir 1940-an mengandung ketegangan yang mengarah ke sebuah Armagedon—ketika Uni Soviet (Blok “Timur”) dan Amerika-Eropa (Blok “Barat”) menembakkan puluhan senjata nuklir mereka.
“Perang Dingin” menakutkan dalam arti ia bisa jadi prolog dari sebuah pertarungan yang akan menghancurkan siapa saja—perang dengan collateral damage yang tanpa batas. Paradoks “Perang Dingin” adalah justru karena semua pihak tahu akhirnya adalah bunuh diri bersama, ia ada, agar Armagedon tak terjadi.
Tapi, selama “tak terjadi” itu, perang ini melibatkan secara intens hal-hal di luar pertarungan militer. Baik “Barat” maupun “Timur” menganggap konfrontasi yang berlangsung bukan bentrokan dua pasukan, melainkan benturan dua pandangan tentang sejarah, sikap hidup, dan nilai-nilai yang menyebar ke pelbagai bangsa. Yang satu biasa disebut “liberal”, lawannya “sosialis”. Para penganut yang satu menolak yang lain, tanpa niscaya membinasakannya dengan senjata. Yang bising hanya mobilisasi rakyat dan propaganda yang tak habis-habis.
Pertarungan politik itu disertai pertarungan dalam bidang yang dalam perang-perang besar sebelumnya tak dilibatkan: kegiatan artistik dan intelektual. Buku, film, musik, seni rupa ikut dalam “Perang Dingin” ini.
Contoh yang penting adalah berdirinya Congress for Cultural Freedom (CCF) pada 26 Juni 1950 di Berlin Barat. Didukung para cendekiawan dan seniman, CCF meyakini ide bahwa manusia memerlukan kemerdekaan dalam penciptaan seni dan pengembangan ilmu. Organisasi ini, yang kemudian ternyata dibiayai CIA, adalah antitesis terhadap organisasi yang dibentuk Uni Soviet pada Agustus 1948 di Polandia, “Kongres Intelektual untuk Perdamaian”, dengan dukungan Partai Komunis yang digerakkan di mana-mana. Sementara CCF berbicara tentang “kemerdekaan”, Kongres yang berpusat di Polandia berbicara tentang “perdamaian”—tanpa takut digugat apakah suara kedua seteru itu tulus.
Sejarah yang gaduh dan ganas itu alhamdulillah berakhir setelah 9 November 1989....
Akankah ia berulang? Hari-hari ini, setelah Putin menyerbu Ukraina dan dunia seakan-akan terbelah lagi, orang berbicara tentang “Perang Dingin” yang baru.
Tapi tidak. Zaman berbeda. Kini tak ada lagi bentrokan gagasan tentang dunia baru—gagasan yang akan mengubah manusia sepenuhnya, baik dalam pilihan ekonomi maupun kebudayaan. Tak ada persaingan antara “sosialisme” dan “kapitalisme” atau antara kekuatan “demokratis” dan yang “anti-demokratik”. Perbedaan antara “demokrasi” di Rusia yang memusuhi NATO dan Hungaria yang anggota NATO tak jelas: keduanya ditandai kekuasaan otokratis. Perbedaan antara kapitalisme dan sosialisme juga entah di mana dalam hal Rusia dan Eropa Barat. Tak ada juga gerakan politik yang dulu diperjuangkan Partai Komunis dan lawannya.
Walhasil, yang sekarang terjadi bukan “Perang Dingin”. Yang terjadi “Perang Kering”—perang yang alasannya tak perlu menggugah hati orang banyak. Semacam gerak refleks jari di picu bedil.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo