Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah seharusnya menaikkan harga bahan bakar demi mengurangi beban anggaran.
Harga minyak sudah melesat ke titik tertinggi dan biaya bahan bakar sudah melampaui jatah subsidi.
Konsumsi Pertalite dan solar bersubsidi sudah saatnya dikurangi.
KIAN melambungnya harga minyak dunia seharusnya menyadarkan Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia sedang di ambang krisis. Tak sepatutnya masih ada kebijakan mengorbankan anggaran negara untuk menomboki harga bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah kini hanya punya dua pilihan: membatasi konsumsi bahan bakar atau menaikkan banderolnya agar sesuai dengan harga pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah mempertahankan skema kompensasi, jika tak mau disebut subsidi, pada Pertalite adalah kebijakan yang berisiko tinggi. Terbukti, setelah mematok harga jual sebesar Rp 7.650 per liter, negara harus membayar dana kompensasi yang sangat besar kepada PT Pertamina (Persero) yang selama ini menambal biaya produksi dan distribusi bahan bakar oktan 90 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal konflik Rusia-Ukraina yang tak berkesudahan bakal mengerek harga minyak dunia ke level yang tak terbayangkan. Pada akhirnya biaya produksi bahan bakar pun turut melejit ke tingkat yang mungkin saja tak lagi bisa terbayarkan oleh Pertamina ataupun pemerintah.
Sebagai gambaran, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan harga acuan minyak mentah Indonesia US$ 113,5 per barel untuk Maret. Sedangkan harga Mogas 92, yang menjadi variabel biaya produksi Pertalite, sudah mencapai US$ 117,768 per barel. Dengan patokan itu, semestinya harga pasar Pertalite mencapai Rp 12 ribu per liter. Akibatnya ada selisih Rp 4.350 yang harus ditanggung oleh Pertamina, karena dipaksa menjual ke konsumen seharga Rp 7.650 per liter.
Kondisi serupa terjadi pada solar CN 48 alias bahan bakar diesel bersubsidi. Biaya produksi solar melejit hingga dua kali lipat dari harga jualnya yang dipatok Rp 5.150 per liter. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022, jatah subsidi solar hanya Rp 500 per liter. Selisih biaya produksi dengan harga jual yang mencapai Rp 7.800 per liter sudah pasti akan makin membebani Pertamina, dan pada ujungnya anggaran negara.
Pilihan paling realistis adalah melepas harga bahan bakar sesuai dengan harga pasar. Memang, ini langkah tak mudah dan butuh keberanian besar karena harus membuat kebijakan tidak populer. Namun Jokowi semestinya paham keputusan tersebut diperlukan agar kita semua selamat dari krisis anggaran. Lebih baik dana besar untuk menombok biaya Pertalite dan solar dipakai buat belanja layanan sosial, kesehatan, dan pendidikan.
Pemerintah juga tak bisa lagi memaksa Pertamina yang sudah merugi. Dalam dua bulan pertama tahun ini saja Pertamina sudah merugi Rp 15 triliun, dan arus kasnya minus Rp 28 triliun. Beban perusahaan kian berat karena pemerintah belum membayar kompensasi biaya bahan bakar yang nilainya Rp 100 triliun. Agar bisa bertahan, Pertamina harus terus berutang. Padahal, dalam kondisi seperti ini, tak banyak lembaga keuangan yang mau meminjamkan dana murah. Artinya, beban utang dan bunga bisa membuat Pertamina kolaps.
Agar selamat, tak ada lagi cara selain berkompromi dengan harga pasar. Di satu sisi, masyarakat juga harus sadar jika kini bukan waktunya lagi untuk menikmati BBM murah. Sudah saatnya mengurangi konsumsi bahan bakar, apalagi kita tidak tahu kapan krisis ini bakal berakhir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo