Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Gagasan Holistik Hasnan Habib

Membaca berbagai pemikiran Hasnan, membawa kita melihat sosoknya yang selalu berpikir ke depan.

20 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyak yang bisa dikenang dari seorang Hasnan Habib, salah satu jenderal pemikir yang telah meninggalkan kita, Kamis malam pekan lalu, pada usia 79 tahun. Terutama pemikiranpemikiran strategisnya. Dalam satu kalimat, karakteristik khas pemikiran seorang Hasnan Habib bisa dirumuskan: ”pencapaian sejati stabilitas keamanan negara dan perdamaian dunia hanya tercapai melalui kombinasi beragam metode secara komprehensif”.

Pemikirannya yang selalu konsisten mengupayakan perimbangan isuisu nasional dengan dinamika internasional itu terangkum dalam berbagai tulisan Hasnan tentang militer, birokrasi, kebudayaan, perkembangan teknologi, hak asasi manusia, dan demokratisasi.

Sebagai seorang militer, tantangan terbesar Hasnan muncul ketika bertugas di Departemen Pertahanan dan Keamanan (19691978). Sebagai Asisten Perencanaan Umum Dephankam (19691973), Hasnan harus memutar otak menurunkan kebutuhan pertahanan negara. Saat itu, anggaran belanja pertahanan turun drastis. Padahal, pada saat bersamaan, pemerintah harus berupaya mencari sumber pasokan senjata baru yang semula mengandalkan Uni Soviet dan negaranegara Eropa Timur dan harus berpindah ke blok Amerika Serikat.

Cara Hasnan menurunkan kebutuhan pertahanan waktu itu adalah sebuah terobosan strategis yang berani. Perencanaan strategis model Hasnan itu kini bisa dipelajari lagi bagi para perancang RENSTRA Pertahanan Negara.

Pemikiran Hasnan terlihat lebih komprehensif ketika ia menjadi Pembantu Utama Bidang Analisa, Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Wanhankamnas). Hasnan mengintegrasikan analisis ancaman dari perspektif militer dengan pengembangan konsep ketahanan nasional dan pembangunan nasional. Kemampuan memadukan perspektif militer dan nonmiliter semakin terasah ketika ia menjadi duta besar di Thailand. Dan sosoknya sebagai militer pemikir semakin dikenal masyarakat pada tahun 1985, sepulang ia bertugas menjadi Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat.

Sejak itu, gagasan Hasnan menarik dikaji terusmenerus karena ia selalu mengkombinasikan pendekatan interparadigmatik: antara perdamaian, pembangunan, dan peradaban manusia. Dan menurut Hasnan, itu adalah kunci pencapaian keamanan nasional dan perdamaian global.

Salah satunya adalah penolakan Hasnan atas penggunaan ide keunikan budaya (cultural particularism) sebagai benteng menolak demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam satu seminar AD pada September 1996, Hasnan dengan lugas menyatakan hak asasi manusia bukanlah senjata negara Barat menekan Indonesia. HAM adalah ekspresi universal yang berkaitan dengan pengembangan peradaban manusia.

Sikapnya itu terlihat dalam tulisannya ”Posisi dan Fungsi ABRI dalam Sistem Politik Nasional”, yang dipresentasikan di Surabaya pada November 1996. Di situ ia menyerang gagasan cultural particularism dan menggugat strategi paternalistik ABRI yang menempatkan dirinya sebagai penentu laju kecepatan demokratisasi dengan cara mengamankan demokrasi Pancasila. Menurut dia, di era ketergantungan, ABRI tak dapat lagi menjadikan dirinya sebagai pihak pengatur dinamika interaksi antaraktor di sistem politik nasional.

Membaca berbagai pemikiran Hasnan membawa kita melihat sosoknya yang selalu berpikir ke depan. Dua tahun sebelum reformasi digulirkan, misalnya, Hasnan telah mengingatkan, jika Indonesia tak bisa beradaptasi dengan dinamika internasional yang mengandalkan saling ketergantungan, demokrasi, dan HAM, Indonesia tak lagi menjadi pemain utama di Asia, melainkan pasien utama di kawasan itu.

Gagasan Hasnan lainnya yang kini juga menjadi pembicaraan publik adalah soal hak pilih prajurit TNI. Jauh pada 1997, Hasnan telah berbicara soal pencabutan hak pilih prajurit dalam tulisannya ”ABRI dan Demokrasi Politik”. Menurut Hasnan, konsensus nasional untuk mencabut hak pilih prajurit dan pemberian kompensasi kursi di parlemen adalah bentuk diskriminasi yang harus dihilangkan. Kompensasi politik untuk prajurit harus dicabut; hak politik prajurit harus dipulihkan.

Yang menarik, meski seorang jenderal, Hasnan cenderung tak menempatkan militer sebagai faktor determinan dalam pemikirannya. Ia senantiasa mencari titik temu desakan antarkelompok. Bagi Hasnan, keamanan nasional adalah masalah yang terlalu rumit ditangani para jenderal. Sebaliknya, perdamaian adalah masalah yang terlalu kompleks untuk ditangani para politisi.

Andi Widjajanto, Pengamat militer, staf pengajar FISIPUI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus