Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAH, isinya daging semua!” ucap Kipli setelah membaca artikel di koran yang dipegangnya. Artikel itu bukan soal impor daging atau harga daging yang meroket, melainkan rangkuman berbagai riset mutakhir tentang manfaat sayuran dan buah-buahan bagi ketenangan jiwa manusia yang mengkonsumsinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kenapa kaubilang isinya daging semua, Pli, padahal isi tulisan itu buah dan sayuran semua?” Kipli belum sempat menjawab, Kang Tarjo, yang tidak makan daging karena takut terkena darah tinggi, memberondongnya dengan pertanyaan usil, “Kenapa kausebut daging semua padahal artikel itu isinya huruf semua, Kipli?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ungkapan isinya daging semua hari-hari ini sering sekali kita dengar dalam percakapan sehari-hari atau muncul di media sosial. Ungkapan ini ekspresi kekaguman terhadap apa pun yang dipandang istimewa, penting, dan berharga. Tulisan, video, atau apa saja yang baru dan berbobot bagi pemirsanya akan disambut dengan sanjungan “isinya daging semua”.
Ungkapan itu lahir di tengah masyarakat yang menobatkan daging sebagai makanan elite dan berkelas. Pada setiap perayaan atau berbagai momen spesial, daging jadi sajian utama. Ritual keagamaan atau kesukuan, festival, dan seremoni di berbagai lembaga atau komunitas sosial hampir selalu menyuguhkan olahan daging sebagai santapan utama. Di hari raya kita berjumpa dengan opor ayam, gulai kambing, rendang sapi, soto kerbau, dan berbagai makanan lain berbahan daging. Bagi orang-orang di kampung saya, berlebaran tanpa olahan daging sapi atau kambing terasa bukan Lebaran.
Saya bayangkan betapa jengkelnya para penganjur makanan sehat terhadap ungkapan isinya daging semua. Gigi geligi serta usus dan lambung manusia, kata mereka, sebenarnya bukan tipe pemakan daging, melainkan pemakan tumbuhan. Bagi mereka, ini petunjuk bahwa makanan terbaik bagi manusia pun sebenarnya sayuran dan buah-buahan, bukan daging-dagingan. Meski omnivor, kata mereka lagi, sistem pencernaan dalam tubuh manusia lebih mendukung dirinya sebagai makhluk herbivor. Daging, menurut para penganjur itu, menghambat proses pencernaan dan bahkan merusak alat pencernaan makanan dalam tubuh. Apabila hambatan ini terus terjadi, datanglah penyakit strok, darah tinggi, sembelit, diare, lever, ginjal, dan masalah kesehatan lain.
Pengistimewaan daging dalam masyarakat kita sebenarnya tidak melulu soal makanan. Selain tulang dan air, tubuh manusia memang terdiri atas daging. Tubuh yang daging itu selalu meminta pemenuhan pada ihwal yang berkaitan dengan daging. Memakan atau meminum yang enak dan banyak serta melakukan aktivitas biologis adalah dua contoh pemenuhan unsur daging dalam diri manusia.
Penyair Mustofa Bisri memparodikan masyarakat daging dan kebudayaan mereka yang hanya berujung pada hasrat atau bahkan syahwat pemuasan daging ini ke dalam puisi “Negeri Daging” (2001). Gus Mus—sapaannya—menulis: “di negeri daging/setiap hari banyak orang/rakus memakan daging/setiap hari banyak orang/terus memuja daging//di negeri daging/untuk mendapatkan daging/orang-orang tidak berjalan/tapi berlarian/tidak berdekatan/tapi berdesakan/tidak bersaing/tapi saling menjatuhkan”.
Gus Mus, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, mengunci puisi tersebut dengan bait menohok: “di negeri daging/daging di mana-mana/di negeri daging/tak ada lagi tempat bagi jiwa”.
Ajaibnya, dalam ungkapan yang menggunakan organ tubuh, kita justru menggandengnya dengan kata buah. Ada organ reproduksi yang disimbolkan dengan buah. Kita pun kenal idiom buah tangan sebagai ungkapan lain untuk oleh-oleh, buah bibir untuk orang yang jadi bahan gibah, dan buah hati sebagai sebutan untuk anak.
Kata sayur nasibnya justru merana. Sayur dicitrakan untuk apa dan siapa pun yang lemah tak berdaya. Ayam sayur, contohnya. Ada pula ledekan mental tempe bagi orang yang dianggap tak punya nyali dalam menghadapi seseorang atau melakukan sesuatu. Nutrisi dalam protein nabati yang berasal dari kedelai ini menyehatkan badan, tapi entah mengapa ia bermakna negatif dalam pasar bahasa sindiran.
Bagaimana kaum vegetarian seperti Kang Tarjo menyatakan kekagumannya pada suatu informasi atau narasi yang berisi? Apakah dia, atau mereka, cuma akan berucap “keren!”, “mantap!”, “dahsyat!’, “bernas!”, atau “bergizi!”? Ataukah mereka akan berdecak sambil berkata, “Wah, isinya buah semua!”? Silakan sampean menebak-nebak jawabannya. Saya mau menyantap sate Madura dulu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Isinya Daging Semua"