Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI halaman akhir Liberalism and Its Discontents (2022), Francis Fukuyama mencatat perlunya sikap moderat dalam liberalisme—sebentuk pengakuan akan batas-batas ideologi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah 30 tahun lalu menerbitkan karya klasiknya, The End of History and the Last Man, Fukuyama kini mencatat bahwa “ujung sejarah” hanya akan kita masuki bersama kalau kita memiliki sikap membatasi diri. Tak perlu ada pihak yang mengaku sebagai pemenang di “ujung sejarah” manusia. Sesungguhnya, bagi Fukuyama, liberalisme adalah ideologi yang bertujuan mengelola kemajemukan, sehingga ia perlu bersikap inklusif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari-hari ini liberalisme telah melahirkan banyak kekecewaan. Dari sisi kiri, sikap bebas dan otonom yang begitu besar melahirkan rasa gamang karena liberalisme seolah-olah mendorong kebebasan individual yang tak berujung. Maka lahir politik identitas yang menyerukan ikatan tradisi bersama. Agama dan kearifan lokal, dalam pandangan ini, merupakan jangkar utama masyarakat, bukan pribadi-pribadi yang mandiri.
Di sisi kanan, karena liberalisme amat melindungi hak milik, pemanfaatan uang dan komodifikasi barang menjadi-jadi. Kita menyaksikan neoliberalisme membuat segelintir orang telah mengakumulasi kekayaan. Dengan skala penguasaan uang yang besar—yang tak bisa ditalangi bank jika terjadi krisis moneter—banyak negara bangkrut karena dipaksa menjamin kerakusan pemain pasar bebas. Rakyat biasa kena getahnya dengan cara menanggung utang pemerintah.
Konservatisme pun menguat. Di Indonesia, selain berarti menolak liberalisme, konservatisme menggugat pluralisme dan sekularisme. Conservative turn ini, menurut Haidar Bagir, merupakan kristalisasi kekecewaan umat dalam mengakomodasi peradaban modern. Mereka berbelok menjaga kemurnian agama dari pencemaran yang mereka anggap akibat modernitas Barat yang membonceng liberalisme.
Yang hendak dijunjung liberalisme ialah “hidup bersama”, bukan “hidup bersama yang baik seturut dengan nilai, tradisi, atau agama tertentu”. Liberalisme membela kesamaan martabat setiap orang, tapi tidak mengusulkan cara pendistribusian kekayaan yang cepat dan tepat.
Fukuyama menyadari ada model kognitif tertentu yang mendasari perbedaan penganut liberalisme dan kelompok konservatif. Sementara liberalisme bertolak dari model berpikir rasional dan saintifik, konservatisme digerakkan oleh intuisi dan motivasi moral.
Jonathan Haidt dalam The Righteous Mind: Mengapa Orang-orang Baik Terpecah karena Politik dan Agama (2020) membantu kita mengerti basis kognitif konservatisme tersebut. Bagi Haidt, konservatisme bukan bentuk kepicikan, melainkan sikap yang menganggap kesetiaan, otoritas, dan kesakralan lebih penting ketimbang kebebasan individu.
Temuan ini disadari Haidt saat ia membantu kampanye kandidat presiden Partai Demokrat Amerika Serikat, John Kerry, yang kemudian kalah dalam pemilihan umum. Semula ia menganggap kemenangan Partai Republik merupakan akibat dari konservatisme yang tumbuh di tengah keluarga Amerika yang membesarkan anak-anaknya dengan moral agama yang hitam-putih seraya mewanti-wanti bahaya kaum imigran.
Anggapan umum tentang bahaya konservatisme justru menohok Partai Demokrat sendiri. Terjebak pada pembicaraan tentang hak-hak sipil dan keserakahan perusahaan besar, Partai Demokrat membela pluralisme dengan menerima imigran. Pesan itu dipompa lewat para pesohor Hollywood yang kosmopolit dan lebih dikenal di mancanegara. Partai Demokrat melupakan masalah kestabilan hidup banyak orang Amerika.
Anomi muncul: kebesaran Amerika dianggap pupus. Maka kampanye Donald Trump “Make American Great Again” telah menghidupkan semangat rakyat Amerika yang mendambakan patriotisme, otoritas kebangsaan di hadapan bangsa-bangsa lain dan kesucian etos kerja keras mereka di hadapan imigran yang dianggap meminta banyak fasilitas gratisan.
Hidup bersama masyarakat majemuk di era serba berubah ternyata tak cukup dengan berpikir rasional berbasis moral liberalisme, yaitu martabat individu, hak asasi, dan kebebasan untuk meraih kebahagiaan. Di luar itu diperlukan nilai sakral yang bagi kelompok konservatif diperlukan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan bangsa.
Pada kuliah umum 2017 di Teater Salihara, Goenawan Mohamad mengurai hal di balik hari lahir Pancasila, 1 Juni 1945. Nada dasar pidato lisan Sukarno yang mencetuskan Pancasila ialah harapan. Tak ada rasa waswas, curiga, atau marah. Seolah-olah benturan antar-ideologi bukan sesuatu yang membentuk Pancasila.
Pancasila adalah suara yang keluar dari jiwa yang spontan, demikian Goenawan Mohamad mengutip kesimpulan Radjiman Wedyodiningrat. Sekalipun pidato itu didengar bala tentara Jepang, seruan jiwa tadi tak garang, doktrinal, dan berumus ketat.
Bagi Goenawan Mohamad, ada sebentuk model kognisi pembentuk ideologi Pancasila, suatu epistemologi yang disebutnya “community based”. Sila-sila Pancasila terbentuk dalam percakapan bersama, prinsip-prinsip yang tak datang dari pikiran sendiri. Ada gotong-royong dalam berpikir, di mana kesukarelaan, kebebasan, dan kemauan mendengar menjadi esensinya.
Penemuan dan perjalanan ideologi Pancasila tampaknya mirip dengan liberalisme yang mesti bersikap moderat. Pengambilan sikap membeda-bedakan atau polarisasi ideologi seperti “kami nasionalis” versus “kamu islamis” sudah lampau saja adanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Liberalisme Moderat"