Therefore, any encroachment upon our ability to fully utilize the oceans must be viewed as a matter of grave national concern in the boardroom and classroom, as well as the wardroom. Rear Admiral Bruce A. Harlow INI bukan "pelajaran" baru buat Libya. Ulasan Assistant Judge Advocate General Angkatan Laut Amerika Serikat itu dikaitkan dengan mobilitas kapal-kapal di selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional. Dalam 15 Ocean Development & International Law 1985, di bawah judul UNCLOS III and Conflict Management in Straits, Harlow menguraikan bahwa Angkatan Laut AS ditugasi melindungi setiap warga negara AS dan harta benda mereka di laut. AL harus senantiasa siaga karena, katanya, tak mungkin menetapkan kepastian di mana kepentingan-kepentingan mereka akan ditantang. Laksamana Harlow mengingatkan, pendapatnya itu bukan pandangan resmi pemerintah AS -- tapi orang agaknya pulang maklum saja. Di mana-mana, negara maritim besar sangat alergis terhadap tindakan negara pantai yang mempunyai dampak terhadap kelancaran lalu lalang armada mereka. Insiden Teluk Sidra yang, untungnya, telah "mereda" itu pun bukan kejadian pertama. Lima tahun lalu, dunia juga menonton pertunjukan semacam itu. Motifnya kurang lebih sama. Libya, seperti sekarang, dengan keras bertahan bahwa Teluk Sidra adalah laut teritorialnya. AS kontan bereaksi dengan garang. Sebetulnya bukan hanya Libya yang pernah mengklaim laut teritorial yang melebihi ukuran 12 mil, atau sekurang-kurangnya hingga ke lebar yang umum diterima. Cili, Ekuador, dan Peru pada 1952, mengklaim landas kontinen (continental-shelf) seluas 200 mil, dan sekaligus nenyatakan perairan yang terletak di landas kontinen itu adalah laut teritorial mereka. Tapi, AS kala itu tidak galak. Bahkan sebaliknya, sempat kapal nelayan AS diciduk oleh Ekuador, karena menangkap ikan di situ. Kini Cili ikut menandatangani Konvensi Hukum Laut (KHL) 1982, yang menetapkan lebar laut teritorial maksimal 12 mil Ekuador dan Peru hanya menandatangani Final Act saja. Lalu Sidra hendak ditaruh di bawah rezim Teluk? Baik KHL 1982 maupun KHL 1958 tak berada di pihak Libya. Tiada kondisi geografi setengah lingkaran air laut, dan tentu saja, tak ada tepi-tepi mulut bangunan alam semacam itu dengan jarak tidak lebih dari 24 mil. Jadi, memang tak bolehlah Libya menutup perairan tersebut untuk dapatkan laut teritorial melebihi angka 12 mil. * * * Sejak Abad Pertengahan sampai ke zaman rudal hari ini, urusan pelayaran tetap menjadi soal utama. Biar hukum laut sekarang tidak semata-mata menata lalu lintas kapal, pelayaran tetap menjadi akar tunjang. Seperti tulis Harlow tentang negerinya: kami adalah bangsa maritim, yang sangat bergantung pada kelancaran alur pelayaran untuk membawa bahan mentah dan energi yang amat esensial bagi indrustri kami. Fungsi laut yang demikian perlu diamankan dan dilindungi. Tapi negara-negara pantai juga perlu mempergunakan laut teritorial sebagai jalur pengaman untuk keseluruhan wilayahnya. Hal inilah yang menjadi salah satu dorongan kuat munculnya konsep laut teritorial (territorial sea) ini. Adalah musykil kalau wilayah negara itu hanya daratan saja, dan begitu ada air laut negara itu tak berkuku sama kali. Negara pantai menginginkan laut teritorial yang luas, sedangkan negara maritim menghendaki laut teritorial sesempit mungkin. Laut teritorial itu tak ubahnya halaman rumah, yang sepenuhnya milik tuan rumah. Cuma untuk laut teritorial, lintas kapal asing tak boleh dilarang, asalkan dalam wujud lintas damai (innocentpassage). Di sini kewenangan pengaturan ada pada negara pantai. Lain halnya dengan laut lepas (high sea) ataupun zone ekonomi eksklusif (ZEE): silakan berlayar dengan bebas. Kalaupun ada batasan, bobotnya ringan sekali. Misalnya, kebebasan berlayar itu harus menenggang kepentingan negara-negara lain. Dan seperti dikatakan dalam KHL 1982, laut lepas harus dicadangkan bagi keperluan perdamaian. Tapi apa arti "peaceful purposes" itu? Di Teluk Sidra, AS merasa terpanggil untuk menghajar Libya dan pemimpinnya yang suka bikin recok itu, termasuk dalam urusan laut. Penyakit ini mesti dicegah, jangan menular ke tempat lain. Jadi supaya dunia ini damai - walaupun baik AS maupun Libya sama-sama tidak menandatangani KHL 1982. Cuma soalnya pemikiran para adidaya tidak selalu sekerangka dengan pandangan negara-negara lain, terutama negara berkembang yang berpantai, lebih-lebih lagi yang memiliki wilayah laut yang luas. Kalau kebebasan pelayaran di laut lepas dan ZEE juga mencakup hak untuk melakukan latihan militer, apakah tidak diperlukan mekanisme yang dapat menampung kepentingan masing-masing: yang berlatih, dan yang laut teritorialnya persis di hadapan ajang latihan itu? Kalau ada zone tambahan (contiguous zone) yang sudah lama dikenal dalam hukum laut, bisakah diadakan zone yang analogis dengan itu, yang tunduk di bawah kontrol negara pantai, agar laut bebas untuk kepentingan perdamaian bisa tercapai? Di udara, AS dan Kanada masing-masing memiliki air defence identification zone. Dalam kawasan sampai ratusan mil ini, setiap pesawat harus mengidentifikasikan dirinya. Di laut juga: tahun 1941 dan 1942, AS pernah menetapkan adanya maritime control areas (MCA), yang sebagian meliputi juga porsi laut lepas. Tapi MCA ini dihentikan beberapa tahun kemudian. Betul laut teritorial sekarang sudah cukup luas, ketimbang jarak tembakan meriam sebagaimana yang menjadi ukuran zaman baheula. Tapi yang 12 mil itu sendiri sudah lama dipraktekkan dan dituntut oleh banyak negara: sejak 1950-an, ketika orang belum mabuk dan dimabukkan rudal serta teknologi pengindria jarak amat jauh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini